Senin 26 Mar 2018 16:15 WIB

SMRC: Elektabilitas Jokowi Tergantung Kinerja Bukan Cawapres

Nama-nama cawapres yang belakangan sering disebut, elektabilitasnya masih sama.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri Haul ke-13 ulama karismatik asal Martapura, Kyai Haji Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani atau biasa masyarakat sekitar memanggil Abah Guru Sekumpul di Kelurahan Sekumpul, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Foto: Biro Pers Istana
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri Haul ke-13 ulama karismatik asal Martapura, Kyai Haji Muhammad Zaini Bin Abdul Ghani atau biasa masyarakat sekitar memanggil Abah Guru Sekumpul di Kelurahan Sekumpul, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif di Saiful Mujani Research & Cunsulting (SMRC), Djayadi Hanan, menuturkan, nama-nama yang akan dipasangkan dengan Jokowi tidak memiliki pengaruh besar keelektabilitasnya. Termasuk, di antaranya, sosok Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang tengah menjadi perbincangan setelah bertemu Jokowi di Bogor, Sabtu (24/3).

Sampai saat ini, elektabilitas Jokowi masih bergantung pada kinerjanya sebagai presiden. Oleh karena itu, semua nama yang saat ini digadang-gadang sebagai pasangan Jokowi memiliki tingkat elektabilitas kurang lebih sama. "Dengan kata lain, peluang tiap orang dalam daftar urut itu masih sama," tutur Djayadi ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (26/3).

Sejauh ini, menurut Djayadi, ada tiga kelompok yang berpotensi besar menjadi pasangan Jokowi. Mereka adalah dari kalangan partai politik, Airlangga masuk dalam kategori ini. Kedua, kalangan profesional, seperti Sri Mulyani dan Susi Pudjiastuti.

Terakhir, mereka yang masuk dalam kategori muda, seperti AHY dan Anies Baswedan. Kelompok terakhir ini memiliki potensi besar. Sebab, jumlah pemilih muda atau mereka yang berusia 38 tahun ke bawah menjadi kelompok dominan dalam pilpres 2019. "Penduduk Indonesia juga mengalami regenerasi, di mana pada 2030 juga akan ada bonus demografi," ujar Djayadi.

Masalahnya, mempertimbangkan untuk menjadi cawapres tidak hanya melihat satu poin. Djayadi mengatakan, Jokowi dan partai pendukung harus melihat apakah secara politik, cawapresnya akan menjamin stabilitas dan tidak menimbulkan efek negatif ke presiden. Pertimbangan ini tentunya harus dikaji terleih dahulu, termasuk terhadap Airlangga.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement