Jumat 23 Mar 2018 04:30 WIB
Belajar dari Minneapolis

Hoaks dan Gerakan Masyarakat Membaca

Lemahnya minat baca ini mempermudah pintu masuk Hoaks.

Hoax. Ilustrasi
Foto: Indianatimes
Hoax. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wendi Wijarwadi *)

 

Kenapa berita hoaks merajarela? Menurut penelitian dari Standford University tahun 2016, setidaknya karena hal ini: arus informasi yang  terlalu melimpah, dan disaat bersamaan, kemampuan berpikir kritis dan budaya membaca yang rendah. Hasilnya, penerima informasi sulit membedakan mana berita yang benar, mana berita yang palsu. 

Kecenderungan menerima informasi hanya yang sesuai dengan pendapatnya juga memperbesar potensi seseorang percaya berita hoaks. Daya kritis menjadi tumpul, dan logika dikalahkan emosi. Barrack Obama menyebut fenomena ini sebagai ‘Information Bubble’, seseorang yang hanya membuka diri terhadap informasi yang sesuai dengan kehendaknya. 

Sudah banyak contoh hoaks untuk jenis ini. Hal ini terutama terkait dengan preferensi politik dan polarisasi masyarakat yang makin parah terutama pasca Pilpres 2014 dan Pilkada tahun 2017 silam. Hoaks begitu mudah tersebar hanya karena sejalan dengan aspirasi politik dan pendapat yang membacanya. Tidak ada kroscek, apalagi verifikasi dan tabayyun. Hanya emosi dan minim logika.

 

Gerakan literasi sebagai solusi Satu dari banyak solusi yang ditawarkan untuk melawan hoaks adalah gerakan literasi masyarakat. Untuk kalangan pelajar, gerakan literasi ini menjadi sangat penting dan urgent. 

Penelitian yang melibatkan 7,800 siswa yang dilakukan oleh Standford University menyebut pelajar sebagai ‘the most vulnerable group to fake news’, paling rentan terkena hoaks karena daya kritis yang belum terbangun dan kemampuan mencerna limpahan informasi yang terbatas. Selain itu, gerakan literasi ini memang sangat kita butuhkan mengingat masyarakat kita yang memang ‘malas’ membaca, termasuk para pelajarnya.

Peneltian dari Central Connecticut State University tahun 2015 tentang tingkat literasi masyarakat dunia menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara. Sementara itu, kemampuan membaca siswa Indonesia berada di peringkat 66 dari 72 negara menurut hasil penilaian dari Program for Internasional Student Assesment (PISA) pada tahun yang sama.  

 

Lemahnya minat baca ini mempermudah pintu masuk Hoaks. Masih segar dalam ingatan kita betapa masyarakat kita begitu mudah terjerat hoaks, bahkan untuk hal-hal yang sederhana. Contohnya berita dan foto-foto hoaks gempa Banten beberapa waktu lalu. Kita begitu saja mempercayai kebenaran berita yang masuk melalui Whatsapp dan menyebarkannya ke orang lain. Saking seriusnya dampak hoax gempa ini, Gubernur Banten sampai mengancam untuk mempidanakan si pembuat hoaks tersebut.

 

Jika kita tidak ingin semakin terjerumus oleh berita hoaks yang semakin menggurita, membudayakan masyarakat membaca ini menjadi sangat urgent. Sebagai Negara muslim terbesar di dunia, gerakan membaca ini seharusnya tidak sulit. Bukankah ayat pertama yang diturunkan adalah tentang anjuran membaca?

 

Belajar dari Minneapolis Minneapolis bisa menjadi gambaran bagaimana sebuah kota membangun budaya membaca warganya. Kota ini adalah ibu kota bisnis negara bagian Minnesota, sebuah tempat yang tersohor dengan cuaca dinginnya.  

Tahun 2015 silam, Minneapolis dinobatkan sebagai ‘The Most Literate City in The USA’, kota yang penduduknya paling gemar membaca, berdasarkan penelitian dari Central Connecticut State University, sebuah Universitas yang penelitiannya juga menempatkan Indonesia dalam jajaran dua negara terbawah dalam minat membaca di dunia. Cara Minneapolis menjadikan kotanya sebagai kota paling gemar membaca seAmerika tidak dibangun dalam satu malam. Salah satunya, mereka serius membangun budaya membaca warganya sejak usia dini melalui pendidikan dasar dan pembangunan perpustakaan yang memadai, termasuk di dalamnya fasilitas membaca untuk anak-anak. 

 

 

Pendidikan adalah kunci pembiasaan sejak dini dilakukan melalui jalur pendidikan. Membaca adalah aktivitas andalan siswa taman kanak-kanak Minneapolis. Membaca dibuat semenarik mungkin sehingga menjadi bagian penting dari aktivitas harian anak-anak. Setiap kelas dilengkapi dengan buku-buku bacaan yang beraneka ragam.

Seorang guru TK yang saya temui bercerita tentang proses penanaman minat membaca ini. Setiap harinya, siswa diwajibkan untuk membaca selama dua jam. Setiap pekan, sekolah menyediakan buku-buku baru. Anak-anak lalu akan memilih buku sesuai minatnya dan dibawa pulang.

Pembiasaan membaca juga terus dilakukan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Membaca adalah kegiatan inti yang sangat diutamakan oleh sekolah. Ruangan kelas dilengkapi dengan beragam buku bacaan. Buku-buku juga ditempatkan di berbagai titik di sekolah untuk mendorong minat baca siswa. 

 

Read-A-Thon; Marathon Membaca Selama Satu Bulan Dari sekian banyak program, ada satu program unik yang bernama Read-AThon, modifikasi dari kata Marathon. Ini adalah program tahunan setiap bulan Oktober di Minneapolis.  Melalui Read-A-Thon, siswa didorong untuk membaca banyak buku dalam jangka waktu satu bulan.

Setiap siswa akan melaporkan menit membaca dalam kurun waktu tersebut, dan sekolah mengumpulkan total menit membaca seluruh siswa di akhir program melalui sebuah prosesi yang istimewa. Total menit membaca seluruh siswa juga digunakan sebagai sarana untuk penggalangan dana dimana setiap satu menit akan berharga sekian dolar. 

Tahun 2016 silam, saya berkesempatan hadir pada puncak acara ‘Read-A-Thon’ di Burroughs Community School, sebuah sekolah negeri di Minneapolis. Atmosfernya sangat luar biasa. Siswa saling berlomba untuk menjadi yang paling banyak membaca, untuk menjadi yang terbaik. Dewan guru, orang tua siswa, dan tokoh masyarakat tumpah ruah menghadiri kegiatan tersebut.

Dampaknya memang istimewa. Anak-anak jadi hobi membaca, dan menjadikan membaca sebagai bagian penting dari aktivitas harian mereka.  Perpustakaan dan Partisipasi Publik Pemerintah kota Minneapolis juga sangat memperhatikan sarana dan prasarana membaca. Dengan jumlah penduduk hanya 400 ribuan, jumlah perpustakaannya mencapai 41. Artinya, 1 perpustakaan untuk 10 ribu orang, jauh diatas ratio jumlah perpustakaan di Amerika sebanyak 1 perpustakaan untuk 18 ribu orang atau di jepang sebanyak 1 perpustakaan untuk 40 ribu orang. 

Yang tak kalah penting dari pembangunan budaya membaca adalah partisipasi publik. Perpustakaan-perpustakaan kecil yang dikelola masyarakat juga menjamur di seantero kota. Warga biasanya memasang rumah-rumahan kecil berisi buku siap baca. Buku itu diperuntukkan buat siapa saja yang lewat dan ingin membaca buku. Mereka bisa bebas membaca buku yang mereka inginkan. 

 

Lantas, kita bagaimana? Minneapolis adalah satu dari ribuan contoh bagaimana sebuah kota membangun kultur masyarakat membaca yang mengakar. Pendidikan memegang peran penting dalam menghidupkan budaya yang tinggi. Kita, Indonesia, juga bisa memulai gerakan serupa. Kurikulum kita harus didesain untuk menumbuhkan semangat membaca siswa, keberadaan perpustakaan public diperbanyak, dan yang tak kalah penting adalah peran serta masyarakat untuk membudayakan ‘kebiasaan’ membaca. 

Jika Amerika yang tingkat literasi masyarakatnya tinggi masih juga rentan percaya hoaks, lalu bagaimana dengan Indonesia, Negara dengan minat membaca yang ‘kurang menggembirakan’?  Saya sepakat dengan sebuah pendapat bahwa distribusi hoaks akan dengan sendirinya berkurang dan hilang jika masyarakat kita melek literasi dan gemar membaca.  Bukankah membaca membuka dunia dan pikiran manusia?

Selamat membaca...

 

*) Co-Founder the QulturA Institute Penggiat Komunitas Teacher for Change Indonesia. Alumni Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement