Senin 19 Mar 2018 04:33 WIB

Cadar di IAIN Buktinggi: Nasib Masa Depan Islamofobia

Tidak semestinya pihak kampus mengatur keyakinan dalam menggunakan cadar.

Para peserta unjuk rasa antipelarangan cadar di muka umum. (ilustrasi)
Foto: AP
Para peserta unjuk rasa antipelarangan cadar di muka umum. (ilustrasi)

Oleh: Muhammad Subarkah*

Sekitar dua pekan silam, umat Islam bersyukur kasus pelarangan cadar dihentikan. Namun terkejutnya, kasus yang sama kembali datang. Instusinya yakni perguruan tinggi negri Islam(IAIN)  Buktinggi. Terbaca dari banyak berita di media alasan pelarangan itu mengacu kepada aturan institusi pendidikan setempat. Cadar menghambat proses belajar mengajar. Apalagi si pemakai cadar kali ini bukan mahasiswa, melainkan seorang dosen bahasa Inggris.

Kisruh ini makin ramai ketika sang dosen yang bercadar itu melaporkan pada komisi ombusand setempat. Dia tak terima atas pelarangan itu. Apalagi sebelum mengajar ia pun telah bertanya kepada mahasiswa mengenai posisi pakaian yang dikenakannya. Katanya, ketika ditanya mahasiswa menjawab tidak ada masalah bila mata kuliah diberikan dengan cara mengenakan cadar.

Menyadari masalah itu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi segera bertnidak. Mereka segera membentuk tim kajian untuk mendalami kebijakan kampus soal pembatasan penggunaan cadar di lingkungan akademik.

photo
Dosen IAIN Bukittinggi Hayati Syafri yang terpaksa libur mengajar karena keputusannya bercadar. Hayati saat mengikuti wisuda doktor di Universitas Negeri Padang (UNP), Jumat (16/3). Wisuda juga dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

Ketua BEM IAIN Bukittinggi, Beni Hari Mulia, menjelaskan, bahwa kajian yang dilakukan akan mendalami esensi dari kebijakan rektorat yang mengimbau dosen dan mahasiswi agar tidak mengenakan cadar di dalam kampus. "Jadi kajiannya bukan spesifik tentang cadarnya, namun pembahasan mengenai kondisi saat ini dan langkah penyelesaian polemik," ujar Beni, Ahad (18/3).

BEM IAIN Bukittinggi, lanjut Beni, berharap agar polemik cadar bisa dirampungkan dengan baik tanpa mencederai aturan yang ada. Yang terpenting baginya, agar iklim pembelajaran kembali kondusif.

                                                          ******

Tak hanya BEM yang segera bereaksi, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih ikut meresponsnya. Pasalnya, meskipun kebijakan berbusana menjadi kewenangan kampus, namun seharusnya kampus tetap mengacu pada Undang-undang dalam menghormati keyakinan seseorang.

"Kalau memang ini (cadar atau berbusana) menjadi otonomi kampus, ya dalam kebijakan apapun harus tetap mengacu pada Undang-undang," kata Fikri.

Fikri mengatakan, paham radikalisme yang sering dilekatkan pada pengguna cadar, berjanggut, celana cingkrang dan lain-lain, semestinya tidak lagi dijadikan acuan pelarangan cadar di kampus. Perguruan tinggi sebagai sarana pengkajian ilmiah dan keilmuan, seharusnya berpijak pada kajian ilmiah dalam merancang kebijakan, juga dalam pelarangan bercadar.

"Alasan pelarangan cadar yang hanya karena asumsi-asumsi (dekat dengan paham radikal, eksklusifitas, dan lainnya; red) jangan lagi dijadikan alasan kampus. Tidak elok karena kampus itu tempat kajian ilmiah," tegas Fikri.

Memang pada sisi yang lain, kasus pelarangan cadar mengingatkan kembali pada periode 1980-an, ketika segala yang ‘bernuansa Islam’ dianggap fundamentalis sehingga perlu dilarang. Kala itu juga terdapat berbagai kasus kekerasan seperti 'Petrus', kasus pengeboman, bantrokan warga, hingga pengawasan teterhadap apa yang disebut gerakan ‘Islam Jamaah’. Tak hanya dilarang, kala itu banyak orang yang menjadi korban hingga masuk ke dalam penjara.

Tapi kala itu secara perlahan mulai 'iklim' berubah. Mereka yang berjilbab tetap muncul di mana-mana. Bahkan, muncul dalam bentuk pertunjukan teater ‘akibat’ yang digawangi oleh Budayawan Emha Ainun Najib: Lautan Jilbab. Atau pada sebuah lagu --Aisyah Adinda Kita -- ciptaan penyair Taufiq Ismail yang dinyanyikan grup musik kugiran Bandung: Trio Bimbo.

photo
Album Aisyah Adinda Kita, Bimbo.

Namun zaman ternyata tak pernah berhenti bergerak alias terus berubah, Malahan kemudian terjadi pembalikan suasana di mana nuansa zaman berubah menjadi memberi angin kepada gerakan Islam, baik dalam bentuk peradilan agama, bank muamalat, hingga pembentukan ormas seperti ICMI. Dan diantara pihak yang tak suka atas gerakan itu muncul sebutan melalui pernyataan orang yang kala itu sangat dikenal sebagai: Usaha gerilya untuk kembali kepada semangat Piagam Jakarta (negara beradasar pada syariat Islam).

Pengenaan Jilbab berubah menjadi fenomena masal. Tak hanya kalangan tua, kalangan muda juga ikut mengenakannya bahkan hingga menjadi arus mode berbusana, yakni ‘hijaber’. Bukan hanya itu pemakaian jilbab atau ‘kerudung yang lebih tertutup menjadi fenomena perubahan sosial. Di pedalaman Jawa misalnya para para ibu ketika pergi resepsi di kampungnya hampir semuanya mengenakan jilbab. Nahkan mereka mengaku ‘malu’ bila membarkan tubuhnya terbuka atau tidak ditutup dengan mengenakan jibab.

Bagi para pegiat sosial fenomena jilbab jelas menarik untuk diamati.  Masyarakat ternyata berubah dan harus diakui pula tingkat keberagamannya semakin dalam. Bahkan ada imuwan asing berani mengatakan: Indonesia sudah  begitu ‘Islami’ dan tidak ada waktu lagi atau kesempatan untuk berbalik kembali ke zaman dahulu lagi.

Dan ini juga bersesuaian dengan apa yang disebutkan oleh seorang tokoh agama bahwa kini warga Indonesia semakin familiar terhadap Islam. Katanya dengan menyebut sebuah pengandaian keras dan lirihnya suara kumandang adzan:”Bila di zaman sebelum merdeka azan tidak kedengaran, ketika datangnya kemerdekaan suara azan makin terdengar, dan kini (lama setelah kemerdekaan) suara azan terdengar di segala penjuru. Masjid berdiri di mana-mana."

Tentu saja, sama halnya dengan zaman penjajahan, zaman kemerdekaan, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru, hingga zaman Orde Reformasi, nuansa tarik menarik itu terus terjadi. Suasana kini makin seru dengan munculnya imbas Islamofobia setelah tumbangbya ‘Menara Kembar’ di New York sekitar dua dekade silam. Zaman makin seru ketika muncul seruan perang melawan teror, perang lawan ISIS, hingga fenomena ‘Arab Spring’. Banyak negara yang menjadi hancur dan rakyatnya lari menjadi pengungsi di negara lain, hingga Eropa,

Di dalam negeri Indonesia, juga ada terasa yang berubah. Seiring datangnya fenomena teknologi informasi (IT)  dengan munculnya media sosial dan internet, kini muncul juga dakwah melalui internet. Model dakwah konvensional ala Buya Hamka maupun Zainuddin MZ melalui jaringan toko buku, pengajian di radio dan televisi, kini beralih ke media Youtube dan Facebook atau media sosial kainnya. Banyak bintang dakwah baru yang muncul. Dan sosok pendakwah baru itu pun mendapat dukungan serta sambutan yang luar bisa.

Di sisi lain, adanya keleluasan pergi ke luar negeri juga merubah nuansa umat Islam. Tiba-tiba minat beribadah haji dam umrah membludak. Tak haya itu paket wisata ke negeri-negeri muslim pun membludak. Banyak negara yang minim budanya Islamnya tiba-tiba ikut membuka diri. Mereka juga ikut-ikutan menggelar paket wisata muslim. Itu dilakukan dengan cara membuka sarana dan destinasi Islam, tapi kini juga terkait dengan potensi makanan halal.

Bahkan ada negara yang bersiap menyelenggarakan pesta olimpiade pada 2020 ssemenjak sekarang sudah memasarkan paket wisata halal. Yang paling dekat ada juga negara yang bersiap menjadi penyelenggara final sepakbola dunia, sudah mempersiapkan berbagai sarana untuk beribadah kaum Muslim. Sebutan ’stan’ (atau negara Islam), layaknya Pakistan, Uzbeksitan, Kazahstan dan negara sejenis lainnya, kini muncul diberbagai belahan kota utama di Eropa.

photo
Para Muslimah di London, Inggris.

                                                           ******

Semula fenomena itu memang tak terbayangkan akan terjadi pada hari ini. Perlakuan keras kepada umat dan ajaran Islam terbukti tak bisa menyurutkan gairah dunia akan Islam. Seiring dengan datangnya masa keterbukaan dan demokrasi semua pihak jadi merasa punya hak menunjukan jati dirinya. Dan ini tak bisa dihalangi karena ada ancaman melanggar universialisme atas nama Hak Asasi Manusia (HAM).

Jadi bila kita runut, kontroversi atau polemik mengenai perasaan atas perubahan zaman itu. Ada yang menganggap sebagai wujud kegairahan rasa keagamaan, namun di sisi lain ada juga yang menganggap sebagai dengan rasa ‘islamofobia’ dengan mengaitkannya dengan gerakan fundamentalisme Islam.

Alhasil, mau tak mau semua pihak perli berpikir bijak seperti dikatakan anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat, Irsyad Safar. Dia menyayangkan kebijakan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang membatasi penggunaan cadar di dalam kampus. Menurutnya, alasan di balik munculnya aturan pembatasan cadar oleh rektorat tidak cukup kuat.

Irsyad mengatakan penggunaan cadar merupakan bentuk keyakinan seorang Muslimah dalam menjalankan agamanya. Artinya, tidak semestinya pihak kampus mengatur keyakinan yang dijalankan dalam menggunakan cadar.

"Sepemahaman saya, ulama memandang cadar ini ada yang wajib, ada yang sunah. Jadi ketika jatuhnya malah dilarang, oleh kampus Islam pula, itu tidak bijaksana," ujar Irsyad.

*Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement