Jumat 16 Mar 2018 11:22 WIB

Kebangsaan dan Keislaman Menurut KH Wahid Hasyim

Mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim yang perlu didengar aspirasinya.

KH. Wahid Hasyim
Foto: wikipedia
KH. Wahid Hasyim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Kholili Hasib *)

KH Wahid Hasyim (1914- 1953), putra pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari, merupakan salah satu ulama NU yang aktif di medan politik pada masa pra dan awal kemerdekaan. Bahkan, ia salah satu tokoh nasional yang mengukir sejarah negeri ini dengan peranan langsung membidani berdirinya Negara Indonesia beserta dasar-dasarnya.

Ia pernah menduduki sejumlah jabatan keagamaan dan kenegaraan. Pada 24 Oktober 1943 atas petunjuk KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim ditunjuk sebagai ketua Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Organisasi ini memayungi berbagai ormas Islam di Indonesia. Di saat memimpin Masyumi, ia membentuk laskar Hizbullah. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat ketua MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), sebuah organisasi yang terdiri atas ormas Islam dan partai Islam. Dalam wadah ini, umat Islam disatukan oleh MIAI yang ia pim pin. Kecuali itu, tentu saja sebagai putra pendiri NU, ia pernah menjadi ketua umum PBNU.

Di bidang politik, menjelang kemerdekaan tahun 1945, Kiai Wahid Hasyim menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Kecakapan, kepiawaian dalam berorganisasi serta kemampuan intelektualnya menghantarkan Wahid Hasyim menjadi menteri Agama sampai tiga kabinet, yaitu masa kabinet M Hatta, M Natsir, dan kabinet Sukiman.

Ide-ide KH Wahid Hasyim tentang keislaman dan posisi kenegaraan tampak menonjol ketika ia menjadi anggota BPUPKI dan anggota Panitia Sembilan yang menyusun Piagam Jakarta. Muham mad Hatta, mantan Wakil Presiden RI, pernah mengungkapkan, KH Wahid Hasyim menginginkan Islam menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurutnya, tujuh kata dalam sila pertama, "Dengan kewajiban menja lankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", merupakan ide putra pendiri NU itu.

Pemikiran KH Wahid Hasyim yang menginginkan Islam sebagai dasar dalam menjalankan negara itulah kemudian didukung oleh 15 anggota BPUPKI lainnya. Meskipun pada akhirnya tujuh kata itu dihapus, sila pertama berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa" tetap tidak berubah. Hal ini menunjukkan, ide dan gagasan keislaman KH Wahid Hasyim pada saat itu cukup berpengaruh.

Tujuh kata tersebut memang ide KH Wahid Hasyim. Tetapi, ia kemudian menyetujui dihapuskannya tujuh kata tersebut. Bagaimana sebenarnya pandangannya tentang hal ini? Dalam salah satu tulisannya ia menerangkan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu sebagai dasar Pancasila dapat menjadi saluran aspirasi rakyat Muslimin Indonesia yang menginginkan syariat Islam.

Jalan kompromi pihak Islam dengan menerima Pancasila tanpa tujuh kata dalam sila pertamanya, bukanlah kekalahan atau kerugian golongan yang memiliki semangat Islam. Sebaliknya, jika tujuh kata itu dicantumkan, juga tidak berarti kekalahan minoritas. KH Wahid Hasyim berusaha meyakinkan dua kelompok tersebut tentang ide dan gagasannya. Bahwa apa pun keputusannya, Islam tetap berdasarkan prinsip tasamuh (toleransi). Ia menulis:

"Keinginan kaum Muslimin sebagai golongan terbesar daripada bangsa kita akan menghidupkan syari'at Islam agamanya diberi jalan dan saluran yang baik, tetapi dari lain pihak dipertahankan prinsip demokrasi, agar keinginan tadi tidak mendesak pada golongan lain dan merugikannya. Kalau di sini diterangkan tentang adanya kompromi dengan demokrasi, tidaklah itu berarti bahwa jikalau tidak ada kompromi tadi tentu akan timbul hal-hal yang mendesak dan merugikan golongan bersemangat agama yang kecil jumlahnya." (KH A Wahid Hasyim, Tugas Pemerintah Terhadap Negara, hlm. 87 naskah pidato yang disampaikan pada Konferensi Antara Kementerian Agama dan Pengurus Besar Organisasi Islam Non-Politik pada 4-6 November 1951 di Jakarta).

Aspirasi mayoritas

KH Wahid Hasyim memiliki pandangan, mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim yang perlu didengar aspirasinya. Sebagai perwakilan NU, ia membawa aspirasi mayoritas dalam sidang Panitia Sembilan. Ia berpendapat, aspirasi rakyat yang menginginkan syariat Islam sebagai dasar hukum Negara itu dapat disalurkan melalui Pancasila sila pertama.

Ia menyatakan: "Di Indonesia, sebagian besar daripada rakyatnya keras sekali keinginannya akan menghidupkan syari'at agamanya, walaupun mereka belum tahu dengan sempurna cara bagaimana akan menghidupkannya. Hal itu ternyata dari pada tercantumnya Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu dasar Pancasila kita" (KH A Wahid Hasyim, Tugas Pemerintah Terhadap Negara, hlm. 87).

Tampaknya memang, KH Wahid Hasyim, berupaya menjelaskan jalan komporomi itu agar tidak salah paham bahwa syariat Islam tidak bisa berjalan tanpa tujuh kata tersebut. Ia juga memberi pemahaman aspirasi kaum Muslim yang menginginkan syariat Islam itu juga bukan berarti mereka tidak toleran terhadap minoritas.

Dalam proses persidangan ia berusaha meyakinkan bahwa butir sila pertama itu bukan narasi arogansi Muslim dan bukan kalimat yang tajam. Islam merupakan sistem yang melingkupi semua aspek hidup. Ia pernah menjelaskan konsep Islam itu: "Islam ibarat bibit yang sangat kuat. Bibit Islam ini jika ditanam pada masya rakat yang kurus, akan dapat tumbuh dengan subur. Ini adalah bukti Islam adalah bibit yang sangat kuat, yang dapat tumbuh subur di tempat yang kering. Semuanya karena Islam itu berdasarkan kepada wahyu Ilahi yang selaras dengan akal manusia. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: 'tidak terdapat agama bagi orang-orang yang tidak berakal'. Islam dalam hal ini tidak hanya menghargai akal yang sehat, tetapi juga menganjurkan orang agar menyelidiki, memikir, dan mengupas segala ajaran Islam. Dan, bibit Islam yang kuat ini disebutkan dalam surah ali-Imran: 159; 'Jika engkau telah mengambil kepastian, tawakallah kepada Allah'."

Pada konferensi Kementerian Agama di Bandung tanggal 21-22 Januari 1951 ia menegaskan, kepercayaan atau iman dan agama adalah salah satu pokok sikap bangsa yang penting yang tidak dapat ditutup dengan sikap pura-pura. Akan tetapi, diperlukan sikap berlapang dada dan tasamuh dalam menjalankannya.

Pandangan KH Wahid Hasyim sangatlah jelas bahwa Islam sebagai faktor politik di Indonesia. Dalam salah satu risalahnya, ia mengatakan, sejak bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda, semangat kebangsaan dijalani dengan semangat menentang kekafiran kolonial.

Ia membuat peta strategi kolonial Belanda untuk melemahkan kekuatan Islam. Untuk mencegah jangan sampai kemurnian ajaran Islam dapat dimiliki tiap-tiap Muslim Indonesia dan mengusahakan supaya Islam dalam gambaran Belanda itu jelek dan jauh dari kebenaran dapat tetap melekat pada umat Islam, diusahakan dua macam jalan: ke dalam dan ke luar.

 

Ke dalam; Menyokong pikir an-pikiran kolot atau sekurang-kurangnya memberinya kesempatan yang penuh, dan menghalangi pikiran-pikiran modern. Ke luar; Mengenalkan dunia terpelajar akan gambar-gambaran jelek dari pada Islam itu, untuk menimbulkan perasaan segan pada Islam (Ahmad Fauzan (ed.), Men jaga Martabat Islam Oleh Kiai Tebuireng, hlm. 69).

Maka, untuk menghadapi itu, KH Wahid Hasyim memiliki pandangan lebih terbuka dan modern. Barang kali strateginya ada sedikit perbedaan dengan kaum tradisional pesantren. Ia lahir dari pe santren, bahkan putra pendiri NU. Tetapi, dalam strategi perjuangan, ia banyak berpandangan terbuka. Ia bergaul dengan para kaum modernis di Indonesia. Sikap ini melahirkan pandangan-pandangan yang lebih maju dalam melakukan strategi menghadapi penjajah.

 

Mislanya, ia menyusun dua strategi gerakan mela wan pengaruh pemikiran kolonial Belanda dengan dua lapis tingkatan. Pertama, tingkatan tenaga mobil, yaitu para pemimpin. Kedua, lapis tenaga massa. Untuk lapis pertama, disalurkan melalui gerakan MIAI. Organisasi ini semacam thin thank-nya. Penyusun strategi, dan yang mengamalkannya adalah tenaga lapis kedua. Di sini, Wahid Hasyim berhasil menyatukan berbagai ormas Islam yang menjadi kekuatan yang ditakuti Belanda.

Dengan demikian, pandangannya tidak dikotomis, juga tidak sekularis. Berdirinya sebuah negara merupakan tujuan agama. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan sikap bijaksana, tasamuh, dan menggunakan soft-power tanpa terjadi konflik. Karena itu, dalam beberapa pandangan ia mengutamakan persatuan, baik persatuan antar-Muslimin maupun persatuan bangsa (Muslim dan non-Muslim).

 

Persatuan dan kesatuan sebuah negara yang akan lahir adalah hal yang tak dapat ditawar-tawar demi tercapainya kemerdekaan yang merupakan tujuan (maqashid) dari umat Islam. Karena itulah, bisa dipahami, jika KH Wahid Hasyim dan para ulama di segenap Nusantara, telah mempertaruhkan jiwa raga dan apa pun juga untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wallahu A'lam bish-shawab.

*) Dosen Institut Agama Islam Darullughah Wadda'wah, Bangil, Jatim

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement