Kamis 15 Mar 2018 06:02 WIB

Kabul, Afghanistan (2)

Pihak yang terlibat konflik di Afghanistan mengharapkan peran mediasi Indonesia.

Azyumardi Azra
Foto: Republika
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Azyumardi Azra

Masjid as-Salam di Kompleks Indonesia Islamic Centre (IIC) Kabul adalah simbol kehadiran wasathiyah Islam Indonesia di Afghanistan. Masjid wakaf dari Pemerintah Indonesia yang berlantai dua itu kini sepenuhnya dikelola ulama lokal.

Sejak diresmikan 9 Agustus 2016, Masjid as-Salam sudah digunakan untuk shalat berjamaah lima waktu, ibadah Jumatan, dan Tarawihan pada Ramadhan lalu. Selain itu, lantai dasar juga sudah digunakan untuk pendidikan anak-anak belajar mengaji, pengetahuan, dan keterampilan dasar Islam lain.

IIC adalah wujud kehadiran wasathiyah Islam Indonesia yang menekankan perdamaian dan kerukunan; Islam rahmatan lil ‘alamin di Afghanistan. IIC juga dilengkapi klinik, yang peletakan batu pertamanya dilakukan Wakil Presiden Jusuf Kalla (28/2/18) dalam misi mediasi Indonesia untuk menciptakan perdamaian di Afghanistan. Pada waktunya nanti, IIC masih dilengkapi lagi dengan perpustakaan dan wisma tamu.

Menyelami IIC di Kabul adalah momen mengharukan; menyaksikan bocah laki-laki dan perempuan Afghan mengibarkan bendera merah putih kecil menyambut kedatangan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Inilah bocah-bocah masa depan Afghanistan, yang pasti memimpikan masa depan yang damai yang lebih baik, memberikan peluang dan kesempatan bagi mereka untuk "menggapai bintang di langit".

Bocah Afghan yang berkerumun di IIC sedikit banyak mulai tahu tentang Indonesia. IIC memberikan tempat bagi mereka untuk mengalami sekeping Indonesia yang damai dan maju di Kabul. Indonesia sepatutnya tidak mengecewakan bocah-bocah dan warga Afghanistan.

Sebagai negara besar dari sudut wilayah dan demografi dengan wasathiyah Islamnya, Indonesia berada dalam posisi tanggung jawab—sesuai amanat Pembukaan UUD 1945—untuk menciptakan perdamaian yang lestari di muka bumi. Tugas mulia yang kian mendapat banyak tantangan mengingat konflik dan perang yang terus bergejolak di banyak negara Muslim lain.

Lebih jauh, Indonesia memiliki bobot dan daya tekan (leverage) serta kredibilitas untuk memainkan peran sebagai mediator untuk peace making. Negeri ini memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik internal secara damai dan berkelanjutan di Aceh, Ambon, dan Poso.

Tak kurang pentingnya, Indonesia adalah negara yang mampu meningkatkan kemajuan ekonomi, sosial-budaya, dan agama. Kemajuan yang dicapai Indonesia itu tak lain karena kemampuan menjaga stabilitas politik, keamanan, dan kohesi sosial.

Berbagai pihak yang terlibat konflik di Afghanistan sudah lama mengharapkan peran mediasi Indonesia. Pihak-pihak itu mencakup pemerintahan Afghanistan sendiri dan berbagai faksi Taliban yang terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Presiden Afghanistan dalam kunjungannya ke Indonesia (5-6/4/2017) menyampaikan harapan bagi peran Indonesia tersebut. Dia menyatakan kekagumannya pada kedamaian dan harmoni Indonesia yang masyarakatnya yang sangat majemuk; terdiri atas ratusan suku (714 besar dan kecil) dan beragam tradisi sosial-budaya serta agama. Sedangkan, Afghanistan yang terdiri "hanya" dari 17 suku hampir selalu bertikai dan konflik.

Konflik Afghanistan terkait banyak dengan suku-suku (tribes) yang selalu terlibat dalam kontestasi untuk menguasai kekuasaan tanpa keinginan berbagi (power sharing). Terbagi menjadi suku Pashtun (42 persen), Tajik (9 persen), Uzbek dan Hazara (masing-masing 9 persen), dan sejumlah suku kecil lain.

Suku-suku yang umumnya adalah "peasant-tribal society" (masyarakat suku petani) terlibat dalam kontestasi kekuasaan dengan melibatkan negara asing. Dominasi suku Pashtun—menguasai Afghanistan dari waktu ke waktu—enggan berbagi kekuasaan, yang memunculkan perasaan tertindas di kalangan suku-suku lain yang kemudian bangkit melakukan perlawanan bersenjata.

Selain faktor suku, sumber konflik lain adalah sektarianisme agama. Mayoritas Afghan adalah pengikut Suni (sekitar 80 persen), sedangkan pengikut Syi’ah cukup besar (19 persen). Pengikut Syi’ah tidak jarang menjadi korban persekusi kelompok ekstrem Suni, khususnya Taliban.

Afghanistan dengan 34 provinsi berpenduduk sekitar 32 juta jiwa. Pengungsi Afghanistan di berbagai negara Asia dan Eropa berjumlah sekitar 2,6 juta orang (UNHCR 2017). Jumlah ini ditambah lagi dengan "pengungsi internal" (displaced persons) sekitar dua juta orang.

Pengungsi Afghan terbanyak di Pakistan (sekitar 1,5 juta) dan Iran (sekitar 1,3 juta jiwa). Sejak runtuhnya kekuasaan Taliban pada akhir 2001, sekitar lima juta pengungsi Afghan dari berbagai negara kembali (repatriasi) ke tanah airnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement