Kamis 15 Mar 2018 05:18 WIB

Bahan Bakar Perang Timur Tengah

Senjata menjadi komoditas utama dalam perang Timur Tengah.

Seniman Suriah Moustafa Jano mengedit foto Pikachu yang menangisi perang di Suriah.
Foto: Moustafa Jano/BBC
Seniman Suriah Moustafa Jano mengedit foto Pikachu yang menangisi perang di Suriah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nuraini*

Sebagian wilayah Timur Tengah saat ini menjadi medan peperangan. Sejarah panjang konflik melanda Palestina dan Israel. Konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda surut setelah tujuh tahun terjadi di Suriah. Serangan terhadap ISIS juga terus gencar di Suriah dan Irak. Sejak 2015, perang pun tersulut di Yaman.

Serangan bom dan senjata menghantui warga sipil yang terperangkap di medan perang merebut kekuasaan. Pertarungan merebut kekuasaan tersebut seolah terus terbakar oleh berbagai kepentingan. Salah satu bahan bakar perang di Timur Tengah itu adalah kepentingan bisnis persenjataan.

Senjata menjadi komoditas utama dalam perang Timur Tengah. Temuan dari lembaga riset studi perdamaian, The Stockholm International Peace Research Institute (Sipri) menyatakan perdagangan senjata global meningkat pesat dalam kurun waktu 2013-2017. Lima tahun dalam rentang eskalasi konflik di Timur Tengah. Dalam perdagangan tersebut, Timur Tengah menjadi pasar utama bagi produksi senjata Amerika Serikat dan Eropa.

Riset tersebut juga menemukan pengiriman senjata AS mencapai tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir dibandingkan pada periode akhir 1990an. Penjualan senjata AS meningkat hingga 25 persen yang mengkonfirmasi sebagai salah satu eksportir senjata terbesar di dunia. Kontrak penjualan pada 2017 pun masih berlanjut yang diperkirakan ekspor senjata AS dalam jumlah besar di tahun-tahun mendatang. Senjata AS telah dikirim ke 98 negara dengan pasokan terbesar dikirim ke Timur Tengah. Bahkan, Timur Tengah menyumbang 32 persen impor senjata secara global.

Impor senjata Timur Tengah berasal dari berbagai negara. Selain AS, pemasok senjata ke Timur Tengah berasal dari Inggris dan Prancis. Impor senjata Timur Tengah pun naik berlipat ganda dalam kurun waktu 2013-2017. Negara pengimpor senjata tersebut termasuk Arab Saudi dan Israel.

Senjata seakan terus menjadi bahan bakar bagi eskalasi konflik di Timur Tengah. Bahkan, gencatan senjata dan jalan perundingan kerap gagal karena tingginya konflik di kawasan. Kondisi tersebut terlihat dari kegagalan PBB dalam mendorong implementasi gencatan senjata di Ghouta Timur, Suriah. Konflik Suriah yang telah menewaskan setengah juta jiwa tersebut juga belum berhasil menuju meja perundingan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa bisa jadi akan terus menemui kegagalan tanpa pengendalian bisnis persenjataan global. Meski tidak menjamin terciptanya perdamaian dan bisnis ilegal terus berlangsung, setidaknya pembatasan ekspor dan impor senjata global berpeluang menurunkan intensitas konflik. Jika meja perundingan tidak memungkinkan, tindakan ekonomi barangkali bisa menyumbang solusi.

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement