Rabu 14 Mar 2018 14:47 WIB

Dari Pep, Mou, Conte, Teka-teki Sepak Bola Modern Terkuak

Jalannya permainan kini kian berada dalam kekuasaan penuh sang juru taktik.

Pelatih Manchester City Pep Guardiola dan pelatih Manchester United Jose Mourinho.
Foto: Reuters
Pelatih Manchester City Pep Guardiola dan pelatih Manchester United Jose Mourinho.

Oleh Frederikus Bata *)

REPUBLIKA.CO.ID, Perkataan pengamat sepak bola Inggris Ian Wright menyentil pemikiran saya seputar pemandangan olahraga ini. Wright berpendapat Manchester United bisa bermain layaknya Manchester City jika dilatih Josep Guardiola.

Saya memahami subyektivitas pernyataan mantan penggawa Arsenal itu. Hal itu seolah membuka teka-teki jagad si kulit bundar di era kini.

Saya bisa saja tidak sependapat dengan Wright. Mentang-mentang dilatih Guardiola, semua klub belum tentu tampil dominan jika tak didukung individu mumpuni.

Namun, di sini, sang pundit mengelaborasi argumentasinya. Ia menilai kecenderungan Iblis Merah bermain bertahan adalah hasil strategi Jose Mourinho. Sebelum lawan Sevilla, United diserang habis-habisan Liverpool pada ajang Liga Primer Inggris. Meski pada akhirnya pemilik Stadion Old Trafford menang 2-1 dalam partai klasik itu.

Wright menilai individu para jugador Manchester United sama bagusnya dengan City. Sehingga, jika diminta memainkan pressing game ala Barcelona atau yang kini ditiru City tak jadi masalah.

Di sini saya bisa saja sependapat dengannya. Kata kunci di era sepak bola modern, sebuah permainan sangat teksbook.

Bagi para awam, yang baru mengikuti olahraga ini, bisa saja penalaran mereka masih terpaku pada kualitas. Sederhananya, jika sebuah tim ditekan maka memang ia kalah kelas. Atau sebaliknya.

Namun, jangan salah, klub seperti Juventus dengan kekuatan merata di setiap lini bahkan tak banyak memainkan bola ketika menghadapi Tottenham Hotspur. Atau Chelsea yang berputar-putar di pertahanan sendiri saat bentrok melawan City. Padahal, kelas Chelsea tak jauh berbeda.

Jika kita melihat pertandingan Barcelona kontra Atletico Madrid pada ajang La Liga, terjadi pemandangan langka. Barca yang saat itu menang 1-0 diserang habis-habisan oleh Atletico pada babak kedua. Arsitek Barca Ernesto Valverde seperti ingin mengamankan hasil, meski sedikit melenceng dari kebiasaan klub.

Dari semua dinamika tersebut, sepak bola modern penuh teka-teki. Secara kasat mata tidak bisa menggambarkan keseluruhan kualitas tim. Jalannya permainan berada dalam kekuasaan penuh sang juru taktik.

Tim seperti Juve, Chelsea, dan United adalah contoh pelaku pragmatisme. Mau beli pemain sehebat apa pun, jika strategi mereka cenderung mengamankan hasil maka klub-klub tersebut lebih banyak mengalami tekanan sepanjang permainan.

Sungguh ironis jika berkaca pada individu mentereng dalam tim-tim itu. Tengok saja sosok seperti Miralem Pjanic, Paulo Dybala, Juan Cuadrado (Juve), atau Marcus Rashford, Paul Pogba, atau Alexis Sanchez (United). Serta Willian, Eden Hazard, hingga Cesc Fabregas (Chelsea). Mereka bisa memainkan sepak bola yang sama dengan rekan-rekannya di Barca, Tottenham, atau City.

Akan tetapi, pemikiran pelatih membuat pergerakan para indivudu tersebut dibatasi. Beruntung pada era sepak bola modern, masih ada tim yang konsisten menyerang. Selain raksasa Katalan yang dipengaruhi budaya La Masia, masih ada Bayern Muenchen.

Kekuatan baru seperti City, Spurs, Paris-Saint Germain, dan Napoli turut menyemarakkan suasana. Sebuah penutup singkat, dalam dua dekade terkini, para jawara Liga Champions didominasi tim yang memainkan sepak bola menyerang, seperti Barca, Muenchen, dan Real Madrid.

*) Jurnalis Republika

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement