Ahad 25 Feb 2018 05:11 WIB

Libur Hari Minggu, Idenburg, dan Sarekat Islam

Di masa Edienburg awal kebangkitan nasionalisme yang menjelma menjadi SI.

Pengurus Sarekat Islam cabang Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, tahun 1921
Foto: Troppen museum
Pengurus Sarekat Islam cabang Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah, tahun 1921

Kalau pengin tahu apakah dalam sejarah Hindia Belanda (Indonesia sekarang) pernah makmur? Jawabnya tentu saja pernah. Orang Jawa menyebutnya sebagai zaman normal.

Periode ini berlangsung singkat hanya sekitar 20 tahunan (sampai tahun 1930) atau  hingga sebelum datangnya masa ‘Meleset’ (krisis ekonomi Melesie), di mana ekonomi Amerika saat itu ambruk. Mata uang dolar yang saat itu tak lagi dipatok dengan emas, tapi dibiarkan kursnya naik turun dengan dipatok pada ‘persepsi’ saja. Di tahun ini komoditi hasil bumi  Hindia Belaanda tak laku di pasar Amerika Serikat sebagai pusat ekonomi dunia saat itu karena negara itu lagi 'kagak gablek' duit. Bangkrutnya ekinomi Amerika Serikatt berimbas pada bangkrutnya ekonomi dunia, termasuk Hindia Belanda.

Memang saat itu Hindia Belanda atau kinii disebut Indonesia, di sebagian orang, terutama antek Belanda hidup makmur. Sedangkan rakyat biasa dan khususnya kaum santri yang tak mau ikut (uzlah) hidip  terlunta dan tetap miskin. Jumlah jamaah haji yang pada pertengahan akhir tahun 1800-an, hanya puluhan kala itu melonjak menjadi ribuan dan pada tahun 1920-an sempat mencapai jumah 20 ribu.

Lalu pada siapa kekuasaan saat itu dijabat? Tentu saja ada di bawah kaki tangan Ratu Belanda. Saat lumayan makmur di sebagaian orang itu adalah pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Idenburg. Nama lengkanya Alexander Willem Frederik (1861-1935).  Kisah ini ada di salah satu naskah arsip Troppen Musemum, di Belanda. Beginilah kisahnya:

photo
Idenburg. (foto: tropen musemum)

Setelah menyelesaikan masa   sekolah dasar dan HBS di Utrecht dPada usia enam belas tahun dia dikirim ke Akademi Militer Kerajaan di Breda.Dia kemudian mengawali  karir militer India yang berakhir pada 1901 ketika dia kembali ke Belanda karena cuti sakit. Lalau dia menjadi pasukan  Divisi Borneo Barat (1884) dan Aceh (1889-1890) di mana dia terlibat dalam operasi tempur.

Pada latar belakangnya, Idenburg berasal dari lingkungan Protestan ortodoks. Dan dia segera setelah kedatangannya di Hindia Belanda bergabung dengan Gereja Reformed. Filosofi kehidupan Kristennya yang keras memunculkan beberapa sensasi di masyarakat Hindia Belada pada masa itu.

Misalnya, sebagai perwira muda, Edinburg menolak menghadiri resepsi atasan hari Minggu. Di Batavia dia adalah seorang orang yang dituakan dalam pengetahuan agama, Bahkan, karena tidak adanya pengkhotbah pada tahun 1899, dia pergi selama beberapa bulan untuk melakukan latihan keagamaan di gereja Kwitang.

Selama melakukan cuti ke Eropa pada tahun 1894 dan 1895, Idenburg bertemu dengan Kuyper. Perkenalan ini, yang merupakan awal persahabatan pribadi dan politik yang langgeng, sangat berpengaruh pada karir Idenburg selanjutnya. Setelah kematian L.W.C. Keuchenius pada tahun 1893, partai anti-revolusioner tidak memiliki spesialisasi kolonial yang otoritatif. Kuyper yang memberikan kontribusi besar pada keputusan bahwa Idenburg, yang hampir tidak dikenal di Belanda, terpilih parlemen Belanda dalam pemilihan tahun 1901.

Dan, setelah kematian Menteri Koloni anti-revolusioner, Mr. T.A.J. van Asch van Wijck pada tanggal 9 September 1902 membawa Kuyper Idenburg dalam pelayanannya. Sudah dalam pidato pertamanya, pada tanggal 21 November 1901, Idenburg telah menyatakan bahwa tujuan politik kolonial seharusnya menjadi 'penghapusan' penduduk asli. Egoisme tidak lagi diizinkan untuk menentukan kebijakan itu. Dia mengatakan, perkembangan material penduduk asli,  bagaimanapun tidak dapat berdiri sendiri.

Dalam pidatonya Idenburg kala itu  kemudian berkata seperti ini.”Di ketinggian spiritual,  adalah kuman untuk setiap kemajuan di bidang fisik. Ketinggian rohani itu hanya bisa berhasil sepenuhnya dalam penyebaran kekristenan di kepulauan India (Indonesia, red)”.

Apa yang dikatalan Idenburg sejalan dengan kebijakan ‘etis Kristen’ yang telah dinyatakan dalam program Kuypers tahun 1878 dan dalam pidato takhta tahun 1901 dengan mengatakan, “Belanda berpendapat bahwa mereka harus ‘memenuhi panggilan moral kepada orang-orang Hindia.”

Di sini tampaknya Idenburg sudah mulai bersentuhan dengan kebijakan Belanda kepada tanah jajahannya.  Dia juga berhasil mewujudkan cita-cita pendahulu menjadi kenyataan. Salah satunya adalah Ketika dia berhasil mengedit bahwa menurut undang-undang 40 juta gulden dibuat tersedia pada tahun 1905 untuk kepentingan pembangunan ekonomi Hindia

Posisi dia makin naik, setelah pengunduran diri kementerian Kuyper, karena Idenburg kemudian diangkat sebagai Gubernur Suriname pada tanggal 14 September 1905. Selama masa pemerintahannya, Idenburg mempromosikan pertanian tropis di daerah ini antara lain kopi dan pisang. Sebagai penganut agama yang taat, penggunaan opium dan penyalahgunaan minuman keras telah berhasil di atasu olehnya. Tak cukup dengan itu,  dia kemudian mengadopsi peraturan tentang hari istirahat mingguan (peraturan hari Minggu).

Jabatan dia naik kembali, ketika sebuah telegram pribadi datang dari Ratu Wilhelmina yang mengataka meminta kerjasamanya yang  sangat menentukan itu. Selama masa jabatan keduanya sebagai Menteri Koloni (20 Mei 1908-16 Agustus 1909), kebijakan pengamanan yang diterapkan di Aceh dan konflik antara gubernur Aceh, Mayor Jenderal G.C.E. van Daalen, dan gubernur jenderal J.B. Van Heutsz tengah menjadi sorotan.

Idenburg adalah pendukung otoritas Belanda yang berkuasa di wilayah luar, karena ia melihat kondisi yang diperlukan untuk memperbaiki nasib penduduk. Pada tahun 1904, dia kemudian mempromosikan penunjukan Van Heutsz sebagai gubernur jenderal, walaupun jenderal yang populer itu bukan anggota utama kementerian yang saat itu dia jabat. Akibatnya dia mendapat kritikan keras.

 

                                                     *****

Akhrnya karena ada kritikan bahwa jabatan gubernur jendral lebih cocok di sandang olenya, pada tanggal 18 Desember 1909, dia mengambil alih pengelolaan Van Heutsz. Dia melaksanakan ini sampai 21 Maret 1916, lebih lama dari masa jabatan biasa untuk Gubernur Jenderal (lima tahun) sehubungan dengan adanya kondisi perang. Idenburg adalah gubernur jenderal pertama yang menangani gerakan nasionalis yang sedang berkembang di Indonesia.

photo
Kartu anggota Sarekat Islam.

Ini misalnya, pada tahun 1912, Sarekat Islam (SI) didirikan, yang segera memperoleh dukungan besar-besaran di antara penduduk asli. Meski SI pada  awalnya berusaha melawan cengkeramanan orang Cina yang mengasao perdagangan antar pulau dan ritel, SI juga memiliki arus nasionalis yang kuat. Akibatnya, bagi orang Belandaj uga berarti bahwa mereka telah  sedikit keraguan di kalangan orang Eropa.

Tapi Idenburg tak bergeming. Dia tetap tidak menghiraukan berita yang muncul di media Eropa di Jawa untuk menekan gerakan ini. Bahkan tak cuma menekan, media Eropa di Jawa kala itu menyatakan: bila perlu dengan kekerasan. Namun, dia menolak karena SI sadalah  badan hukum yang mana telah mengajukan persetujuan atas berbagai aturan  undang-undang yang diperlukan. Eidenburg tetap pula membiarkan kemungkinan cabang SI lokal yang memenuhi syarat untuk mendapatkan pengakuan semacam itu dalam keadaan tertentu.

Akhirnya, pada tahun 1916, beberapa saat sebelum masa jabatannya berakhir, dia mengenali SI  ketika dia kehilangan sebagian besar kekuatan melalui kalangan lingkar dalam kekuasaan internalnya. Kala itu, terjadi kasus pengusiran dari Hindia jurnalis Indo-Eropa EFE Douwes Dekker dan orang Indonesia Tjipto Mangunkusomo, dan Suwardi Surianingrat. Mereka diasingkan ke Belanda yang melalui putusan Idenburg pada tahun 1913. Alasannya mereka diusir karena juga ingin mendirikan partaidi mana Douwes Dekker ingin mempersatukan orang Indo-Eropa dan Indonesia untuk mengejar kemerdekaan Hindia (indonesia).’’

Dan sebagai gubernur jenderal, Idenburg tetap pula mengambil langkah lebih lanjut untuk mempromosikan istirahat hari Minggu (termasuk 'pasar-melingkar' yang bertujuan untuk mencegah diadakannya pasar pada hari Minggu). Dia juga berusaha untuk ekspansi dan subsidi yang lebih baik untuk pendidikan Kristen, termasuk melalui peraturan Sumba dan Flores, di mana pendidikan di pulau-pulau ini disediakan untuk misi kristen lainnya.

Kebijakan ini menimbulkan perlawanan kuat di kalangan non-konfesional, karena melihat usaha berisiko untuk menegakkan Kristenisasi penduduk asli. Bahkan, Idenburg dikecam 'orang bodoh' di tahta Buitenzorg (diIstana Bogor, Salah satu tempat Istana Gubernur Jendral Hindia Belanda).

Berbagai jabatan terus digamit Idenburg, Namun, setelah dia melakukan cuti dia malah dipecat pada tanggal 11 November 1919 karena alasan kesehatan. Setelah tahun ini, Idenburg secara permanen mengundurkan diri dari politik aktif.  Namun, pada tahun 1923, pada ulang tahun ke 25 pemerintahan Ratu Wilhelmina, Edinburg diangkat menjadi Menteri Luar Negeri dan tahun berikutnya sebagai anggota Dewan Negara. Dia akan tetap menjadi bagian dari perguruan tinggi pemerintah sampai kematiannya di tahun 1935.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement