Jumat 09 Feb 2018 01:00 WIB

Berdamai dengan Inovasi

Digitalisasi berkontribusi pada peningkatan total output dunia hingga 193 miliar USD

 Sejumlah mitra pengemudi Gojek mengikuti seminar (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sejumlah mitra pengemudi Gojek mengikuti seminar (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fithra Faisal Hastiadi *)

Beberapa bulan yang lalu, ketika diundang untuk mengisi sebuah diskusi terbatas di University California San Diego (UCSD), saya menyempatkan diri untuk bertandang ke Silicon valley. Sebagai peneliti tentang inovasi, perjalanan ke “markas” inovasi dunia ini tentu tidak akan saya lewatkan. 

Sepanjang perjalanan 40 menit dari bandara San Francisco ke tempat menginap, saya berbincang ringan dengan supir taksi saya. Usianya sekitar 60-an tahun, tetapi masih sangat energik. Sebagai orang yang tinggal lama di San Francisco, dia melihat bahwa pertumbuhan inovasi, seperti misalnya Uber, malah menggerakkan bisnis taksi konvensional.

Perusahaan taksi memilih berdamai dengan keadaan, berdamai dengan inovasi. Beberapa bulan setelah itu saya berbincang dengan salah satu pengemudi taksi di salah satu kota besar di Indonesia, menariknya supir taksi ini juga punya nada yang serupa, "kita memilih untuk gabung pak, konyol kalau kita melawan," ujar pria paruh baya tersebut. Tunggu dulu, apakah ini artinya kita sudah benar-benar berdamai dengan inovasi?

Jika merujuk pada prinsip Schumpeterian, inovasi bersifat disruptif. Ia akan mengalahkan petahana dan akan menimbulkan ekses negatif di jangka pendek. Hal ini juga diamini oleh Clayton Christensen seorang Profesor dari Harvard Business School dalam ceramahnya di Oxford, merujuk pada bukunya yang fenomenal “The Innovators Dilemma”.

Meski dampak positif inovasi di jangka panjang bisa lebih dari sekedar mengkompensasi kerugian di jangka pendek, namun siapa yang sabar menunggu? Di jangka panjang kita semua mati kata Keynes. Hal ini yang menyebabkan inovasi-khususnya di negara berkembang-menjadi anak tiri, inilah yang menyebabkan inovasi sangat ditakuti. Ia memiliki efek yang menghancurkan. Hal Ini memang fenomena yang umum dan tengah menggejala, akan tetapi efek disruptif ini ternyata tidak sepenuhnya buruk di jangka pendek.

Berdasarkan Booz Company’s Report, digitalisasi berkontribusi pada peningkatan total output dunia hingga 193 miliar USD dan menciptakan lapangan kerja hingga puluhan juta orang. Secara teknis, laporan ini juga menyatakan bahwa meningkatnya setiap terjadi peningkatan 10 poin pada skor inovasi akan mampu menurunkan angka pengangguran global sebanyak 1,02 persen.

 

Menengok Indonesia, peran dari perusahaan berbasis teknologi juga cukup positif. Gojek Grab dan Uber saja telah mampu menyerap lebih dari 1 juta orang, belum lagi jika kita memasukkan efek dari dampak penggandanya. Yang juga menarik, mereka juga berperan terhadap peningkatan kapasitas tenaga kerjanya. Sebagai contoh, supir Go-Jek. Mayoritas mereka berpendidikan SMA ke bawah, dengan beragam profesi sebelumnya yang hanya membutuhkan skill terbatas. Tetapi bisa dibilang, kini mereka menjadi pekerja-pekerja yang melek dengan teknologi.

Contoh lainnya adalah petani-petani yang diberdayakan oleh I-Grow. Apa itu I-Grow? Anda tahu game Farmville? Singkatnya, I-Grow adalah FarmVille didunia nyata. Petani-petani yang bekerja di I-Grow kebanyakan hanya lulusan SD, namun jika melihat keahlian mereka, tentu anda akan berdecak kagum. Petani-petani ini, diajarkan untuk membuat pupuk organik dengan metode eksperimen dan mereka sangat fasih dalam melakukannya. Suatu hal yang mungkin lulusan dari sarjana pertanian di Indonesia tidak mampu melakukannya.

Tapi bagaimana dengan para petahana? Bukankan mereka akan menderita dengan masuknya pemain baru ini? Bukankah nanti akan ada penyesuaian yang menyakitkan di jangka pendek? Di era disrupsi, memang beberapa dari dari start up tersebut mengganggu para petahana. Bahkan peter thiel dalam bukunya zero to one, malah melihat bahwa start ups ini akan menggantikan peran petahana dan berlaku sebagai new monopolist dengan menguasai pasar.

Saya sepakat bahwa para pemain baru ini akan mulai merangsek dari low end market menuju mainstream market dan berpuncak di high end market, namun belum tentu akan menjadi new monopolist. Betul memang ada disrupsi, tetapi disrupters itu belum tentu akan menggantikan pelaku tradisional sepenuhnya.

Dalam model dirac-solow-swan yang kami kembangkan (Hastiadi dan Trisetyarso, 2016), kami melihat bahwa petahana tetap ada dan relevan, meski porsinya akan kalah dominan dengan para pendatang baru. Sebagai contoh, di era ponsel pintar seperti sekarang, line telephones juga masih tersedia. Bahkan supir taksi saya di San Francisco, menganggap uber bukan sebagai saingan, karena masih banyak juga orang yang nyaman menggunakan moda transportasi tradisional.

Tenang saja, beberapa di antara petahana sudah mulai berdamai dengan para pendatang baru yang agresif. Meski awalnyai konflik yang pecah di level akar rumput, mereka kini berkoalisi dan berkolaborasi. Fenomena ini semakin lama semakin besar dan signifikan, telah terjadi uberifikasi. Tengok saja bagaimana Taksi Bluebird bergabung dengan Gojek dan Taksi Ekspres dengan Uber. Alih-alih melawan, mereka kini berfusi, ada uberifikasi.

Sementara itu ada kondisi lain yang membuat para petahana tidak hanya relevan, bahkan bisa mempertahankan level kompetitifnya di jangka panjang. Seperti misalnya revolusi semikonduktor intel yang dibidani andrew grove di medio tahun 70 an. Atau bahkan yang teranyar bagaimana verizon mempertahankan posisinya sebagai salah satu perusahaan telekomunikasi terkemuka dengan RnD nya.

Dari bandara San Francisco Tak terasa taksi saya  saya sudah sampai ke tempat tujuan di Silicon Valley. Di akhir saya memberikan tip kepada supir saya karena telah membuat penumpang taksinya tidak mengantuk dengan obrolan bermutu. Memang itulah yang Anda harapkan ketika supir taksi Anda adalah mantan programer di IBM.

*) Staf Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Peneliti Senior di Next Policy

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement