Senin 05 Feb 2018 06:03 WIB

Seribu Tahun Al-Azhar dan Menteri Lukman

Moderasi Islam ala al-Azhar sangat dibutuhkan di tengah dunia yang sedang terkoyak.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Apa rahasia lembaga dakwah dan pendidikan al-Azhar, Mesir, bisa eksis hingga seribu tahun lebih, tepatnya 1.038 tahun? Dalam berbagai kesempatan, Grand Sheikh al-Azhar Dr Ahmad Thayyib menyatakan, jiwa atau ruh al-Azhar terletak pada sikap washatiyah-nya. Dengan sikap seperti itu, al-Azhar dipercaya sebagai referensi intelektual dan spiritual umat Islam, dari dulu hingga sekarang.

Prof Dr Abdul Fadhil al-Qoushi menyebut washatiyah atau moderasi Islam telah menjadi benteng kokoh keberadaan al-Azhar. Al-Qoushi merupakan ulama besar al-Azhar. Ia pernah menjabat menteri wakaf Mesir. Ia kini wakil ketua Organisasi Internasional Alumni al-Azhar, sedangkan ketuanya Syekh al-Azhar sendiri.

Menurut al-Qoushi, moderasi Islam sangat dibutuhkan di tengah dunia yang terkoyak oleh berbagai paham, aliran, dan kelompok yang serbaekstrem, baik kanan maupun kiri. Dari liberalisme, antiagama, hingga Islamofobia. Dari takfiri (menganggap orang lain kafir), tadhlili (menganggap orang lain sesat), hingga yang menganggap dirinya paling benar dan orang lain salah.

Oleh karena itu, bisa dipahami bila al-Azhar bersikap keras terhadap kelompok radikalis-ekstremis seperti Alqaidah dan ISIS yang mudah mengafirkan orang lain dan menganggap diri dan kelompoknya paling benar. Kelompok tersebut, sebagaimana dikatakan Syekh al-Azhar, tidak ada hubungannya dengan Islam. Mereka justru memperburuk citra Islam dan umat Islam. Sebaliknya, al-Azhar juga sangat keras terhadap Islamofobia, yaitu mereka yang menjelek-jelekkan Islam dan Muslim.

Dengan sikap seperti itu, al-Azhar pun bisa bekerja sama dengan siapa pun, termasuk dengan kelompok Kristen. Grand Sheikh al-Azhar mempunyai hubungan baik dengan pemimpin tertinggi umat Katolik di Vatikan, Paus Fransiskus. Mereka beberapa kali bertemu.

Mereka sepakat bekerja sama untuk menciptakan perdamaian dunia.

Mereka juga mempunyai kesamaan pandang mengenai teroris, kemiskinan, hingga status Yerusalem (al-Quds al-Syarif) yang kini diduduki secara tidak sah oleh Zionis Israel. Di Mesir sendiri, selama ratusan tahun umat Kristiani merasa terayomi oleh keberadaan al-Azhar.

Di Indonesia, sikap washatiyah atau moderasi Islam al-Azhar bisa dilacak dari jejak langkah ribuan alumninya sejak sebelum kemerdekaan hingga kini. Dari presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid, KH Dr Quraish Shihab, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), hingga Habiburrahman el Shirazy/Kang Abik, Ustaz Abdul Somad, dan Tuan Guru Bajang (TGB) Dr Muhammad Zainul Majdi.

Tiga nama terakhir merupakan generani muda alumni al-Azhar yang sedang menjadi bintang. Kang Abik novelis top, Ustaz Somad seorang dai yang dakwahnya disenangi masyarakat, dan TGB merupakan Gubernur NTB yang kini sedang digadang-gadang menjadi pemimpin nasional.

Penyebutan nama-nama di atas sekadar menyebut contoh. Para alumni al-Azhar lainnya—kini jumlahnya lebih dari 30 ribu orang dan tersebar di berbagai daerah di Indonesia—juga sudah banyak berkiprah di masyarakat. Dari dosen, pegawai negeri, pengurus organisasi, pebisnis, hingga ulama, kiai, ustaz, dan seterusnya.

Yang perlu dicatat, di mana pun alumni al-Azhar mengabdi, mereka telah berhasil menerjemahkan Islam moderat di bumi nusantara. Islam moderat yang berarti jalan tengah, toleran, ramah mengayomi, membawa kedamaian, saling menghormati, dan menerima segala perbedaan. Bukan Islam yang justru mengancam, saling menegasikan, dan menebar ketakutan. Sungguh sebuah sikap keagamaan yang kini dibutuhkan Indonesia dalam bingkai NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945.

Fakta tersebut tampaknya dicermati betul oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Dalam beberapa kesempatan, ia mengatakan, sebagai menteri agama yang berkepentingan untuk menjaga kerukunan umat, ia merasa terbantu dengan moderasi Islam yang dijalankan para alumni al-Azhar.

Karena itu, saat diundang oleh al-Azhar untuk menjadi pembicara dalam Seminar Internasional al-Azhar untuk Membela al-Quds al-Syarif di Kairo beberapa waktu lalu, ia memanfaatkan benar waktunya untuk bertemu dengan berbagai kalangan, terutama para pemimpin al-Azhar. Pertemuan-pertemuan itu dimaksudkan untuk lebih mempererat kerja sama, terutama dalam mempromosikan moderasi Islam.

Pertemuan-pertemuan itu menjadi lebih mudah karena jajaran Kedubes Indonesia di Kairo yang dikomandani Duta Besar Helmy Fauzi sangat aktif melobi dan mempunyai hubungan baik dengan pihak-pihak di Mesir. Apalagi, kehadiran Menteri Lukman yang mewakili sebuah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ternyata juga ditunggu-tunggu pihak al-Azhar. Terbukti, pidato berbahasa Arab menteri lulusan Pondok Modern Gontor ini mendapatkan sambutan meriah para peserta konferensi.

Mewakili Pemerintah Indonesia, Menteri Lukman mengapresiasi sikap al-Azhar sebagai institusi keislaman tertua dan terpengaruh di dunia yang selalu hadir dalam setiap persoalan umat, termasuk ketika al-Azhar menyelenggarakan seminar untuk menanggapi keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengakui al-Quds atau Yerusalem sebagai ibu kota Zionis Israel. Keputusan Trump ia sebut sebagai sangat melukai rasa keadilan umat manusia, merusak keadilan dan tatanan hukum dunia, serta menjauhkan umat manusia dari perdamaian.

‘’Melalui mimbar ini saya tegaskan, Palestina akan selalu ada dalam hati dan bahkan dalam setiap helaan napas bangsa Indonesia,’’ katanya dalam pidato panjang yang disambut tepuk tangan gemuruh peserta konferensi.

Selain menjadi pembicara seminar, Menteri Lukman yang didampingi Dirjen Pendidikan Islam Kamaruddin Amin juga memanfaatkan waktunya untuk memotivasi semangat belajar para mahasiswa Indonesia, bertemu dengan Rektor al-Azhar Dr Ibrahim Hudhud, Grand Mufti Mesir Shawqi Ibrahim Allam, dan Grand Sheikh al-Azhar Dr Ahmad Thayyib. Dalam berbagai pertemuan itu disepakati untuk terus mempromosikan moderasi Islam.

Salah satu bentuknya, Menteri Lukman dan Grand Mufti sepakat mengadakan kerja sama pendidikan di bidang fatwa. Menurut Menag, kerja sama ini untuk memperkuat para ulama pondok pesantren, akademisi, cendekiawan, dan para tokoh ormas Islam guna mendapatkan pelatihan dalam pembuatan fatwa sesuai tradisi keilmuan dan pengalaman Mesir. Pelatihan ini akan dilakukan selama satu hingga dua bulan.

Diharapkan, selain memperkuat kompetensi para peserta, langkah ini juga dapat meningkatkan wawasan dan kearifan dalam menyikapi perbedaan sehingga akan tercipta toleransi dan kedamaian di masyarakat.

Mufti Mesir yang juga ulama besar al-Azhar ini berharap kerja sama ini dapat mengedukasi masyarakat untuk memahami rujukan ajaran Islam yang otoritatif sehingga masyarakat bisa memilih dan selektif terhadap informasi yang berkembang, juga mampu menyaring ajaran Islam yang menyimpang.

Selama ini al-Azhar setiap tahun memberikan 100 beasiswa kepada para pelajar Indonesia. Di luar itu, mereka juga mengusahakan beasiswa bagi para mahasiswa berprestasi dari berbagai lembaga donor dari negara-negara Arab. Jumlah para penuntut ilmu dari Indonesia di Mesir kini sekitar 4.500 orang. Sejumlah 900 di antaranya tinggal di sebuah asrama yang dibangun oleh pihak Indonesia.

Asrama yang mulai digunakan pada 2017 ini dikelola oleh pihak al-Azhar. Selebihnya, para mahasiswa tinggal di asrama al-Azhar dan di apartemen.

Ya, untuk merekalah perhatian Menteri Lukman selama kunjungan di Kairo dicurahkan. Mereka yang ketika pulang ke Indonesia diharapkan akan menjadi agen moderasi Islam yang membawa kedamaian untuk Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement