Sabtu 03 Feb 2018 01:02 WIB

Mana Perjuanganmu....

Islam selalu menilai dari seberapa jauh teguhnya sebuah perjuangan.

Harri Ash Shiddiqie
Foto: dokpri
Harri Ash Shiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Harri Ash Shiddiqie *)

Lima tahun yang lalu politikus Belanda Arnoud van Doorn membuat heboh media. Sebagai politikus yang dekat dengan Geert Wilders, pemimpin partai yang membenci Islam, Van Doorn tiba-tiba masuk Islam.

Januari lalu, Arthur Wagner, petinggi politisi Afd yang jelas-jelas tidak menyukai Islam, menyatakan dirinya mualaf. Bukan hanya orang Jerman timur yang terkesima, tapi dunia.

Kabar-kabar demikian semakin meneguhkan para mualaf terdahulu, karena menjadi mualaf di barat tidaklah mudah. Di Middlesbrough, Inggris, seorang wanita telah bertahun-tahun menjadi Muslimah, tapi tidak berani memakai jilbab ke luar rumah. 

Di tempat tinggalnya banyak Muslimah memakai jilbab, mereka berwajah Asia. Melihat seorang berambut pirang dengan mata biru  memakainya, pasti semua mata memandang lalu saling berbisik-bisik. Bahkan, ia sendiri belum berani ke masjid. Ia takut Muslimah dari Asia itu juga saling berbisik.

Melaksanakan ibadah ritual seperti praktik shalat, belajar mengaji, memang banyak di internet. Tapi, jauh lebih mudah diserap dan dihayati bila ada guru. Penyesuaian dengan syariat Islam maupun budaya Islam, seperti menutup aurat, sampai berkomunitas dengan sesama Muslim langkahnya selalu ragu-ragu. Belum termasuk kesulitan menghadapi sikap orang tua, sanak saudara, serta bagaimana dirinya keluar dari budaya barat, tidak bisa dilakukan sekali cabut. 

Meski menghadapi banyak tantangan, ada fenomena aneh. Mualaf itu sebagian besar justru wanita. Data akurat dari penelitian di Inggris enam tahun lalu  menunjukkan perbandingan yang menyolok, dari seluruh orang kulit putih yang masuk islam,  75 persen adalah wanita.

Kenapa?

Menurut analisis, perempuan adalah makhluk yang lebih spiritual dan emosional. Sebagian besar mereka adalah wanita di umur sekitar 27 tahun. Belum menikah, atau belum memiliki anak, tetapi mereka telah melakukan apa saja  sesuai budaya mereka, melewati pendidikan tinggi dan mahal, mendapat pekerjaan, mandiri, berkencan dengan banyak pria, setiap malam bersenang-senang masuk bar, pub, diskotik.

Mereka juga sempat bertanya, apa yang diperoleh? Ada yang berkesimpulan 90 persen laki laki yang datang hanya sekedar bersenang-senang, setelah tiga kali pertemuan mereka mengajak bercinta, titik. Kalaupun hubungan itu bertahan lama, mereka menyebutnya persahatan dengan hiasan seks. Tidak sedikit yang akhirnya hidup serumah.  Dan semua tahu, kumpul kebo sedemikian itu tanpa gairah, tanpa asmara, tanpa misteri saling bergantung dan saling memberi, dan akhirnya : Tanpa apa-apa.

Hidup terasa sia-sia, merasa tersesat, stress, muak, bingung. Lalu dibayangi rasa kosong, takut tak tahu nantinya bagaimana.

Kristiane Backer, seorang presenter MTV Eropa, muda, cerdas, cantik, diidolakan anak muda. Berada di puncak popularitasnya ia masuk islam. Ia berkata pahit tentang pengalamannya, budaya barat adalah “Bila engkau memilikinya, pamerkan dia.” Dan itu dimiliki Kristiane Backer dengan berada di atas panggung dengan 70 ribu orang bersorak untuknya, ia merasakan di atas awan. Tapi ketika itu selesai, ia merasa kesepian. Ia memang berada di puncak karir, tapi gagal mengenal dirinya sendiri. Ada sesuatu yang tak bisa diperoleh dengan ketenaran atau uang.

Tentu tak bisa di generalisir bahwa semua mualaf adalah alumni dari pub, hedonis, permisif, alkohol dan semacamnya. Banyak di antara mereka adalah para pencari kebenaran yang sesungguhnya. Juga tidak sedikit intelektual perguruan tinggi yang tertarik melihat komunitas mahasiswa muslim dengan gaya hidup menakjubkan, bersih, sopan, tanpa alkohol, tanpa rokok, tanpa hura-hura dengan persaudaraan yang hangat, menyejukkan. Semuanya lalu mempelajari Islam.

***

Berbahagialah kita muslim yang berada di Indonesia. Wanita berjilbab tidak perlu risih dipandang. Justru yang tidak memakai jilbab bisa merasa bingung dalam acara pertemuan keluarga saat lebaran, akad nikah atau arisan.

Juga berkah bagi laki-laki, masjid banyak bertebaran, shalat jumat tidak harus pergi jauh berkilo-kilo meter.  Berada di desa terpencil manapun suara adzan berkumandang di langit, mengingatkan shalat.

Tapi…. Harus diingat: Di dunia ini tak ada yang gratis.

Mobil atau TV dibeli dengan menyerahkan uang. Mulut, mata, telinga sampai gigi, pertanggungan jawabnya di akhirat, di padang mashyar, nanti.

Kita bisa membayarnya saat ini dengan angsuran berupa perjuangan menyampaikan dan menegakkan islam.  Sudahkah kita menutup aurat, sudahkah kita shalat? Sudahkah kita meneguhi syariat?

Bisa jadi, mualaf di Inggris sana sudah berjuang dengan susah payah, bacaan Alquran tidak bagus, panjang pendeknya tidak tepat. Dengan guru yang tidak mudah didapat, ia sholat dengan terbata-bata, sedikit yang bisa  ia berikan kepada Allah, andai dinilai: Setara dengan satu dirham. Karena yang ia miliki tidak banyak.

Kita? Fasilitas banyak, masjid dekat, guru tajwid bertebaran.

Lingkungan mendukung untuk berjilbab, bersarung, bersorban. Ritual agama banyak kita lakukan. Shalat banyak  dilakukan, haji dan umrah berkali-kali. Oh… Sangat banyak, andai dinilai setara dengan seratus ribu dirham.

 

Tapi, benarkah kita lebih baik dari mualaf Inggris yang serba mendapat tantangan dan ujian? Ada hadis shahih: "Satu dirham mengalahkan seratus ribu dirham."

Islam selalu menilai dari seberapa jauh teguhnya sebuah perjuangan, karena di sana teruji keyakinan, keikhlasan dan tawakal, cermin penyerahan diri kepada Allah secara total. Tak salah bila orang bijak berkata pada anaknya: “Tidak kutanyakan hasilmu, Allah yang mengaturnya. Yang kutanyakan: Mana perjuanganmu.”

Ada hadis yang menyatakan, surga itu diselubungi kesulitan-kesulitan, penuh onak dan duri. Bisa jadi : Jangan-jangan mualaf di Inggris sana masuk surga, karena perjuangannya,  dan kita yang di Indonesia berkelimpahan kesenangan, lalu tak pernah berjuang, akibatnya......

Ya. Allah tunjukkan kami ke jalan yang lurus, agar kami selalu berjuang menyampaikan dan menegakkan Islam. Amin.

*) Penyuka sastra dan teknologi, di Jember.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement