Kamis 01 Feb 2018 04:00 WIB

Harapan RUU Kewirausahaan

Keberadaan sebuah UU kewirausahaan dirasa penting.

William Henley
Foto: dok. Pribadi
William Henley

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley *)

Tahun 2018 yang dinobatkan banyak kalangan sebagai tahun politik, tidak kemudian mengendurkan kerja-kerja legislasi di parlemen, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terdapat sejumlah rancangan undang-undang (RUU) dibahas. Selain RUU Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang jadi sorotan publik seiring rencana pemidanaan perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), RUU Kewirausahaan Nasional juga memasuki tahapan pembahasan.

Di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (24/1), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) selaku leading sector RUU Kewirausahaan Nasional mengadakan rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) Kewirausahaan Nasional. Kemenkop dan UKM dipimpin langsung Menteri Koperasi dan UKM AAGN Puspayoga. Sedangkan Pansus Kewirausahaan Nasional diketuai Andreas Eddy Susetyo.

Rapat kerja tersebut merupakan sebuah kemajuan karena RUU Kewirausahaan Nasional telah diajukan sejak 2015. Namun, sejumlah kendala mengakibatkan pengesahaan RUU ini menjadi UU terus molor.

Pemerintah memastikan telah melakukan perubahan di dalam pasal-pasal RUU. Sehingga jumlah pasal pun berkurang dari 55 pasal menjadi 35 pasal.  

Pansus Kewirausahaan Nasional menyambut baik usaha pemerintah. DPR mengharapkan setelah melewati dua kali masa sidang, yaitu 15 Februari dan 27 Februari, RUU ini bisa selesai dan disahkan menjadi UU.

Apabila UU Kewirausahaan Nasional resmi disahkan dan ditandatangani Presiden Joko Widodo, apakah tujuannya, yaitu mendorong kemajuan kewirausahaan Indonesia yang berdaya saing bisa tercapai?

Tingkat kewirausahaan

Kewirausahaan secara sederhana berarti hal-hal terkait wirausaha. Wira bermakna berani, sedangkan usaha berarti kegiatan bisnis. Dengan begitu, kewirausahaan bisa didefinisikan sebagai keberanian seseorang untuk melaksanakan suatu kegiatan bisnis.

Belakangan, istilah kewirausahaan lebih dikenal masyarakat luas dengan sebutan entrepreneur. Entrepreneur pertama kali diperkenalkan Richard Cantillon, ekonom asal Prancis. Setelah itu, muncul pelbagai pengertian seputar entrepreneur.

Salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kewirausahaan adalah rasio wirausaha. Menurut Kemenkop dan UKM, rasio wirausaha sampai dengan akhir 2016 mencapai 3,1 persen dari jumlah penduduk. Jumlah ini meningkat dibandingkan 2014, yaitu 1,67 persen.

Kemenkop dan UKM menyatakan, dengan jumlah penduduk 252 juta jiwa, maka jumlah wirausaha nonpertanian yang menetap mencapai 7,8 juta orang atau 3,1 persen. Tingkat kewirausahaan Indonesia diklaim telah melampaui dua persen dari populasi penduduk sebagai syarat minimal masyarakat suatu negara akan sejahtera.

Terlepas dari kenaikan rasio wirausaha, ternyata masih ada pekerjaan rumah. Apabila dibandingkan negara-negara tetangga, rasio wirausaha Indonesia masih lebih rendah. Negara-negara lain memiliki tingkat kewirausahaan yang tinggi seperti Malaysia (lima persen), Singapura (tujuh persen), Cina (10 persen), Jepang (11 persen), dan Amerika Serikat (12 persen).

Pola pikir

Mengapa ini bisa terjadi? Semua tidak lepas dari pola pikir (mindset). Masih banyak masyarakat Indonesia yang berkeinginan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Bukti konkret dapat dilihat dari pelamar CPNS 2017 yang mencapai 2,433.656 orang dengan memperebutkan 37.138 formasi. Berarti, kalau dirata-ratakan, satu formasi/jabatan diperebutkan oleh 65,5 pelamar.

Semua pihak pun memahami. Menjadi PNS masih menjadi pilihan utama karena sejumlah faktor. Mulai dari faktor gengsi, dorongan keluarga, hingga tunjangan pensiun sebagai jaminan masa tua. Komponen-komponen ini belum tentu didapat dengan menjadi seorang wirausaha.

Sementara karakteristik wirausaha identik dengan risiko tinggi. Ini wajar mengingat berusaha tidak selalu menghadirkan kenyamanan yang didapat PNS. Kadang kala kerugian yang didapat. Belum lagi berbagai risiko lain seperti kritikan dari keluarga dan lain sebagainya.

Pemerintah tentu bukan tanpa upaya dalam mendorong pertumbuhan wirausaha. Salah satunya melalui Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN). Sejak masa pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, wirausaha terus bertumbuh.

Tidak sekadar gerakan. GKN juga ditopang dengan beragam fasilitas pembiayaan. Faktor pembatas utama pertumbuhan wirausaha ini coba diatasi via berbagai program. Seperti misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dikucurkan kepada pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Belum cukup

Namun, semua ini belumlah cukup. Keberadaan sebuah UU kewirausahaan dirasa penting. Sebab, tanpa UU, usaha menumbuhkan kewirausahaan secara nasional sulit untuk fokus. Tidak hanya UU, aturan turunan seperti peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen) juga perlu disiapkan matang-matang.

Setelah UU lahir, hal lain yang tak kalah penting adalah sosialisasi. Sinkronisasi dengan pemangku kepentingan lain seperti kementerian/lembaga di luar Kemenkop dan UKM serta pemerintah daerah (tingkat provinsi, kabupaten, dan kota), juga merupakan sebuah keharusan.

Dengan sinergi semua pihak, maka peningkatan rasio wirausaha dapat dicapai. Rasio wirausaha yang meningkat pun tidak akan berarti apa-apa apabila kesejahteraan masyarakat luas tak meningkat.

*) Founder IndoSterling Capital

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement