Sabtu 27 Jan 2018 00:15 WIB

Jalan Tengah Pertarungan Ideologis

Elite politik dari partai-partai politik bisa dikelompokkan ke dalam tiga kategori.

Ketua KPU Arief Budiman bersama Angola Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo dan calon peserta pemilu berfoto bersama seusai menyerahkan hasil penelitian administrasi kepada partai politik calon peserta Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta (Ilustrasi)
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Ketua KPU Arief Budiman bersama Angola Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo dan calon peserta pemilu berfoto bersama seusai menyerahkan hasil penelitian administrasi kepada partai politik calon peserta Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Sunyoto *)

Pertarungan gagasan ideologis yang diam-diam berlangsung di Tanah Air, dalam bingkai perpolitikan mutakhir, terutama di ranah nonformal. Itu terjadi antara kekuatan yang cenderung berpihak pada cita-cita teokrasi melawan kubu yang punya tendensi untuk memperjuangkan sistem politik demokrasi ideal berbasis sekularisme.

Dua kecenderungan ekstrem itu tentu dalam praktiknya tidak berlangsung secara hitam putih. Partai-partai politik berideologi nasionalis seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar, misalnya, secara formal maupun nonformal akan menolak untuk dibilang prosekularisme.

Begitu juga dengan partai-partai politik yang ruh ideologinya diberi landasan nilai-nilai keagamaan, dalam hal ini Islam. Seperti, Partai Keadilan Sejaktera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) akan menampik secara tegas tuduhan bahwa mereka proteokrasi. Namun tendensi ideologis mereka bisa disimak dari wacana-wacana yang mereka kembangkan selama ini, antara lain dalam menyikapi isu politik dan agama.

Politisasi agama, bagi kubu yang memperjuangkan, bukan sesuatu yang buruk karena mereka berkeyakinan bahwa berpolitik adalah untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan tujuan mewujudkan masyarakat berdasarkan nilai-nilai religius eksklusif. Hal itu jelas bertolak belakang dengan kubu yang menolak politisasi agama, yakni kubu yang kurang lebih berlandasan pada paham sekular alias sekularisme, yang memisahkan antara urusan politik duniawi dan urusan agama yang personal dan transendental.

Di luar dua kekuatan politik yang berhadap-hadapan itu, ada kekuatan yang menjadikan lanskap politik Indonesia semakin warna-warni. Yakni kubu partai-partai politik yang mengusung jargon partai politik bernapaskan ideologi nasionalis religius.

Pada dasarnya, elite politik dari partai-partai politik yang ada bisa dikelompokkan ke dalam tiga kategori mengikuti tiga fenomena ideologi yang diusungnya. Kubu pertama yang bisa dianggap punya kecenderungan ke arah proteokrasi adalah kelompok yang tak mengharamkam politisasi agama. Kubu kedua ditandai oleh sikapnya yang secara keras menolak apa pun bentuk politisasi agama. Kubu terakhir adalah elite politik yang bermain di antara dua kelompok yang pertama dan kedua.

Tak pernah diakui

Sejak awal, setidaknya sejak Orde Baru berkuasa, garis tegas antara teokrasi dan sekularisme dalam praksis politik di Tanah Air tak pernah diakui. Para elite politik terkenal dengan semboyan mereka bahwa demokrasi Indonesia yang berlandasan Pancasila bukanlah sistem yang menganut pola demokrasi negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis yang secara tegas memisahkan persoalan agama dari praktik politik.

Demokrasi Pancasila tak membuat Indonesia menjadi negara agama sekaligus juga bukan negara sekular. Pandangan kenegaraan yang demikian ini tampaknya masih berlaku hingga saat ini. Dalam konteks inilah, pada awal-awal reformasi, setelah tumbangnya penguasa yang didukung kekuatan militer, terjadi perbincangan tentang orientasi ideologis yang mengarah ke teokrasi dan sekularisme.

Salah satu partai politik yang elite politiknya rata-rata cenderung proteokrasi, yakni Partai Bulan Bintang, ternyata justru dalam perjalanan waktu semakin kehilangan pendukung untuk memperoleh kursi di parlemen. Barangkali belajar dari fenomena ini, partai-partai yang semula memperlihatkan keberpihakannya pada proteokrasi melakukan evaluasi diri. Namun, di tataran akar rumput, kelompok yang menghendaki tegaknya teokrasi sama sekali tak lenyap.

Pada saat yang sama, partai politik yang nasionalis, yang sedikit banyak boleh dikatakan punya tendensi ke arah sekularisme, menyadari bahwa massa di Tanah Air tak bisa diajak berpikir tentang sistem politik ideal versi Amerika Serikat yang menegaskan pemisahan urusan agama dan kenegaraan.

Itu sebabnya, Partai Golkar membuka diri dengan senang hati ketika tokoh-tokoh atau generasi muda dari ormas keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah masuk ke dalam jajaran kepengurusan strategis mereka. Sementara itu, untuk mengentalkan kesan publik tentang semangat religiusnya, PDIP mendirikan sayap Islam di partai dengan nama Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi).

PDIP juga banyak memberikan ruang berkiprah bagi tokoh Muslim yang dipandang tak punya semangat sektarian alias berjiwa inklusif, propluralisme dan toleran terhadap minoritas. Salah satu di antaranya adalah Jalaluddin Rakhmat, tokoh Muslim yang terkenal karena pembelaannya terhadap kaum syiah yang teraniaya di Indonesia, yang menjadi wakil rakyat dari Fraksi PDIP.

Apakah dengan demikian tidak ada pertarungan gagasan di Tanah Air antara mereka yang proteokrasi dan prosekularisme? Jelas kontes ideologis itu tetap ada, setidaknya di tataran pendukung parpol yang masing-masing berbasis ideologi Islam dan nasionalis.

Di media sosial, pertarungan itu cukup tajam dan seru. Masing-masing kubu tentu dengan jelas memperlihatkan identitas keberpihakannya pada parpol yang ada. Pendukung PKS misalnya secara benderang menginginkan Indonesia yang adil sejahtera dijalankan secara islamis, sementara pendukung PDIP atau Golkar berhasrat menjadikan Indonesia yang maju makmur dan diatur berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi modern yang sekular.

Di tengah-tengah di antara dua kubu yang tegas di mana mereka berdiri itu, ada kubu yang watak dasarnya disemangati nilai-nilai keislaman, yakni pengikut Nahdlatul Ulama, yang menolak teokrasi sekaligus menampik sekularisme. Untuk memperlihatkan jati dirinya, kaum nadliyyin itu memformulasikan jargon yang populer dengan frasa Islam Nusantara.

Artinya, kubu yang berdiri di antara dua kekuatan yang proteokrasi dan sekularisme itu ingin menyatakan bahwa kebenaran selalu ada di tengah dua ekstrem. Sikap ini tentu punya landasan yang kuat, baik landasan yang beraroma filosofis maupun teologis. Filsuf Yunani Kuno Aristoteles maupun teks-teks keislaman sama-sama mengakui bahwa jalan tengah adalah jalan terbaik.

*) Pewarta Antara

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement