Selasa 16 Jan 2018 01:00 WIB

Dunia tanpa Sekat

Ilham Bintang
Foto: dok. Republika
Ilham Bintang

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh : Ilham Bintang *)

Mark Zuckerberg belum lahir ketika di Indonesia empat puluh tahun lalu seorang visioner sudah meramalkan bakal lahir  teknologi informasi yang bakal merepotkan umat manusia sedunia. Dunia internet dan turunan-turunannya memang membuat umat manusia menemukan sesuatu yang menakjubkan, namun secara bersamaan manusia juga kehilangan yang lain.

Kita menemukan kemudahan terhubung satu sama lain, tetapi pada saat sama kita kehilangan perasaan tenteram menghadapi sistem nilai yang berjumpalitan serta ancaman punahnya kearifan lokal lantaran tehnologi itu.

Semakin berkurang ketergantungan anak-anak kita, anak-anak didik pada orang tua dan guru justru di usia yang secara teoritis masih harus dibimbing, diajari sopan santun, ewuh pakewuh dan lain sebagainya.

Dunia sudah di dalam genggaman tangan anak-anak kita. Mereka punya Paman Google dan Bibi Wikipedia dan  turunan-turunannya yang baik hati yang senantiasa membimbingnya. Mustahil kita mengelakkan semua itu di 'zaman now'.

Soemarmo

Seorang visioner itu bernama Soemarmo, Ketua Badan Sensor Film di akhir tahun 1970 an.

Masih amat lekat dalam ingatan di tahun 1977, Ketua BSF mengundang wartawan film peserta Karya Latihan Wartawan PWI bertandang ke kantornya. Melihat secara selayang pandang  kerja anggota BSF. Salah satu acara penting : menonton potongan film hasil kerja sensor film.

Satu setengah jam kami disuguhi ratusan potongan film. Masya Allah! Begitu  reaksi  sebagian wartawan ketika di layar bertabur  bintang-bintang film idola masyarakat sedang bergumul di atas ranjang dan di mana saja.

Tenang, kata Pak Marmo. Itu potongan, bukan bagian yang lolos. Pak Marmo menangkap gelagat banyak teman gelisah mengira  adegan itu untuk dipertontonkan ke publik.

Begitu pun, mayoritas teman- teman wartawan tetap mengappeal BSF agar lebih tajam lagi guntingnya. Apalagi di masa itu film Indonesia yang jumlah produksinya tembus seratus judul pertahun didominasi film jenis seksploatasi. Kemarahan  masyarakat terhadap film Indonesia maupun asing sudah sampai ubun-ubun. Kebetulan  ada pula peristiwa pemerkosaan yang dilakukan seorang pelajar. Kejahatan seksual itu katanya dilakukan sehabis menonton film Indonesia  " Akibat Pergaulan Bebas".

BSF memang selalu menghadapi dilema.

Selalu menjadi  sasaran kritik banyak pihak. Dari pers, masyarakat dan sineas. Dari pihak terakhir BSF dianggap terlalu garang sehingga dapat tuduhan serius memasung kreativitas.

"Tenang, " kata Marmo yang memang berpembawaan tenang. Tubuhnya yang ringkih, membuat teman-teman mudah luluh.

Ia menguraikan proses panjang yang harus dilalui  sebuah film sebelum ditonton. " Dari pengajuan izin, lulus sensor, kemudian dipertontonkan di bioskop. " Tidak ada yang menyimpang," ujarnya.

"Pasti gunting  kami tajam. Kami melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan. Tidak mungkin main-main," katanya.

Sebaliknya, dia mengingatkan  wartawan tidak  menggantungkan harapan  terlalu besar kepada BSF.

Ini yang menarik. Pak Marmo secara serius meminta wartawan mulai menyiapkan mental masyarakat agar kuat  menangkal dan membentengi dirinya dari semua hal buruk yang akan dihadapinya nanti. Akan datang sebuah zaman, gambar dan suara akan masuk ke rumah kita tanpa kulonuwun. Tidak pakai permisi masuk ke gubuk-gubuk warga yang berada di kaki gunung.

Tidak ada satu pun instansi yang bisa membendung. Dia akan masuk melalui satelit

 ( dia pakai istilah tersebut waktu itu).

Bukan cuma gambar dan suara tak senonoh yang masuk.  Tetapi juga membawa ideologi yang bisa menciptakan terjadinya perang antarmanusia.

Sampai di sini kami semua terenyak. Tidak bisa membayangkan benda apa itu yang akan mengubah peradaban. Masuk rumah tidak pakai salam.

Semua orang punya dinding

Pak Marmo  sudah tiada ketika Mark Zuckerberg menemukan gagasan membuat Facebook di kamar asramanya saat  bersekolah di Harvard University.

Mahasiswa kelahiran 14 Mei 1984 itu tinggal berempat di dalam satu kamar. Tahun pertama,  menurut tradisi Harvard,  mahasiswa harus boarding di asrama.

Tersedia empat dinding  kamar untuk dipergunakan tiap mahasiswa memamerkan karya atau temuannya. Di situlah lahir ide Mark untuk menciptakan dinding yang bisa dimiliki sendiri setiap orang, dan saling terhubung satu sama lain. Mark kemudian melahirkan Facebook, laman sosial media raksasa, terbesar di dunia saat ini. Laman itulah yang mengantarnya menjadi salah seorang  yang dalam usia 34 tahun terkaya di dunia.

Baru belakangan Mark mulai risau.  Masalah  yang muncul setelah manusia saling terhubung ternyata malah lebih kompleks.

Lihat saja bagaimana mudahnya seseorang membuat opini untuk mendiskreditkan satu pihak di media sosial. Sama mudahnya dengan penyebarannya yang berantai melalui berbagai aplikasi smartphone. Yang menyedihkan, media mainstream sering ikut menari di gendang itu. Sebagian  ikut pula menyebarluaskan tanpa verifikasi. Kalau pun dilakukan verifikasi, tapi konfirmasi yang dilakukan seadanya. Tidak sampai meletakkan duduk perkara secara seutuhnya. Verifikasi hanya terkesan untuk melindungi diri supaya tidak ikut disalahkan sebagai penyebar hoaks.

Belakangan, lebih menyesakkan dada, prakteknya terbalik. Sebagian media mainstream yang  justru  membuat dan meniru semangat pekerja di media sosial. Yang penting menyebarkan berita dengan cepat supaya banyak dapat hits atau like. Padahal, jelas praktik itu  melanggar kode etik karena lebih mendahulukan kecepatan daripada ketepatan. Juga berpotensi memporakporandakan sistem nilai dalam masyarakat. Padahal, itu bagian amanah pers yang harus dijaga. Menjaga masyarakat  tidak terbelah tidak berperang.

Tapi apa daya publik  pun kini terbiasa menyaksikan media mainstream meralat sendiri beritanya. Media mainstream lupa berulangkali meralat berita sendiri,  bisa berakibat menjatuhkan kredibilitas media. Belum lagi kita menghitung kerusakan yang timbul akibat berita pertama, berita yang salah tadi. Bisa dipahami jika sebagian masyarakat yang apatis, memilih melapor ke pihak berwajib. Daripada mengikuti mekanisme hak jawab, atau mengadu ke Dewan Pers, seperti yang dianjurkan petinggi dunia pers sebagai jalan keluar bagi korban suatu pemberitaan.

Tahun 2018 Mark Zuckerberg akhirnya   menemukan solusi kongkrit atas citra negatif Facebook belakangan ini.  Ia menjanjikan  perubahan besar di tahun 2018 pada fitur News Feed. Zuck ingin tampilan News Feed para pengguna lebih bermakna dan menyenangkan. Ia tak mau  media sosialnya selalu dianggap sebagai tempat menyesatkan dan memberi dampak negatif.

"Kami merasa bertanggung jawab untuk memastikan layanan kami tidak hanya menyenangkan untuk digunakan, tapi juga bagus untuk kebaikan orang-orang," tulis Zuck.

Dulu, tanpa media sosial, kehidupan offline mempunyai seleksi alam bagaimana sebuah informasi dan penyebaran informasi menemukan jalan pemilik dan peredarannya masing-masing. Contohnya: seorang berprofesi guru pasti secara alamiah cenderung akan berkumpul dengan orang yg mempunyai pengalaman dan sejarah yang mirip dengannya. Sehingga, hidupnya terlindungi, ia tidak diberatkan oleh adu argumen dengan  pihak lain yang tidak berada di halaman kehidupan yang sama.

Namun, kini setelah  disrupsi internet kemudian sosial media, kita bisa melihat bagaimana seorang yang mempunyai kekuasaan dan penentu kebijakan, bisa salah mengambil sampel pendapat komunitasnya. Contoh: pati kepolisian yang mengamati perbincangan digital antara komunitas Y.  Sebelum zaman internet dan sosial media, komunitas tersebut tidak mungkin didengarkan pendapatnya, karena tidak memiliki kompetensi yang diperlukan. Akibatnya pati tersebut menganggap ide dalam digital konversasi tersebut adalah ide universal dalam komunitasnya.

Seorang teman bertanya bagaimana mengatasi banjir informasi ini supaya tidak merusak tatanan kehidupan manusia. Tidak ada yang yang punya resep yang jitu. Yang pasti perkembangan tehnologi tidak mungkin dicegah. Itu sama dengan perjuangan Sysiphus mengusung batu ke gunung.

Tapi tunggu. Sebenarnya, 14 abad lalu Alquran pun  sudah memprediksi manusia bakal menghadapi kesukaran dalam mengelola informasi. Maka  dalam Surat Al Hujjurat ayat 6 kita diminta tabayyun.  Saya kutipkan  surat Al Hujjarat : " Kalau datang kepadamu seorang fasik menyampaikan suatu informasi maka wajib bagi kamu memeriksa   kebenaran informasi tersebut sebelum menimbulkan kerusakan."

Dengan perangkat Tabayyun paling tidak kita bisa membendung sebagian dampak buruk dari gelombang informasi yang datang bergemuruh. Yang membuat dunia tanpa sekat.

Tapi syukurlah Mark Zuckerberg cepat menyadari itu. Adakah kita, yang di zaman dulu dipuja-puja bangsa, segera menyadari puka kesalahan ini ? Waalahualam Bissawab.

Jakarta , 14 Januari  2018

*) Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement