Senin 15 Jan 2018 07:17 WIB

Palestina Butuh Jaminan

Pengunjuk rasa melambaikan bendera Palestina saat terjadi bentrokan di dekat perbatasan dengan Israel di timur Kota Gaza, Jumat (15/12). Demonstran memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Pengunjuk rasa melambaikan bendera Palestina saat terjadi bentrokan di dekat perbatasan dengan Israel di timur Kota Gaza, Jumat (15/12). Demonstran memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.

REPUBLIKA.CO.ID, Palestina mulai mendorong munculnya perundingan damai alternatif. Menyusul masih buntunya perundingan damai dengan Israel sejak 2014 dan pengakuan Presiden AS Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 6 Desember tahun lalu.

Komite Eksekutif Organisasi Perjuangan Palestina (PLO), Sabtu (13/1), mendesak PBB menggelar pertemuan internasional. Dengan pertemuan ini, Palestina menginginkan jaminan komunitas internasional atas terwujudnya negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.

Pada Ahad (14/1) waktu setempat, Dewan Pusat PLO juga melangsungkan pertemuan. Meskipun belum ditetapkan hasilnya, seperti yang pernah disampaikan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, pertemuan membahas langkah lanjutan merespons langkah Trump.

Palestina tampaknya tak hanya puas dengan dukungan internasional di Majelis Umum PBB yang menentang keputusan Trump. Pada 21 Desember 2017, melalui pemungutan suara, sebanyak 128 negara menentang langkah Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Apalagi keputusan di Majelis Umum itu memang tak mengikat seperti keputusan yang diloloskan Dewan Keamanan PBB. Palestina memang membutuhkan peneguhan dari komunitas internasional bahwa perjuangan mereka untuk mencapai kemerdekaan tak pupus.

Setelah mandek sejak 2014, perlu pertemuan internasional kembali untuk mencoba kembali menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Tentu dengan mempertimbangkan secara matang perkembangan-perkembangan mutakhir.

Termasuk tak dikehendakinya lagi AS oleh Palestina sebagai mediator setelah Trump menyatakan Yerusalem milik Israel. Sebab, Trump dinilai telah menjatuhkan keberpihakannya kepada Israel. Padahal, mestinya sebagai mediator AS bersikap adil terhadap kedua belah pihak.

PBB sebaiknya segera merespons sinyal Palestina ini. Paling tidak, negara-negara pemegang hak veto serta negara-negara Muslim mulai bertemu. Berbicara soal kemungkinan perundingan damai dimulai kembali untuk menyudahi konflik selama beberapa dekade ini.

Dalam konteks dorongan Palestina agar diadakan pertemuan internasional, Indonesia yang menempatkan Palestina di jantung politik luar negerinya, juga bisa berinisiatif menjajaki kemungkinan dimulainya kembali pembahasan soal Palestina.

Dampak pernyataan Trump, termasuk ancaman pemangkasan bantuan untuk Palestina harus segera diatasi. Ditambah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mendesak agar badan PBB yang menangani para pengungsi Palestina (UNRWA) dibubarkan.

Di sisi lain, UNRWA menegaskan, tetap mempertahankan diri untuk terus melayani pendidikan dan kesehatan pengungsi Palestina. Mereka juga bertekad konsisten memperjuangkan hak pengungsi Palestina kembali ke tanah kelahirannya.

Saat ini, Trump memang sangat mendukung semua keinginan Israel. Berbeda dengan pemerintahan Barack Obama yang kritis terhadap Israel di antaranya terkait pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat dan Yerusalem.

Indonesia memungkinkan untuk merumuskan rancangan bagaimana pembicaraan kembali dilakukan atau mulai menggandeng negara-negara Arab berpengaruh, untuk membuka kembali kemungkinan membicarakan nasib Palestina di perundingan internasional.

Jika perundingan internasional kembali berjalan, harapan Palestina memiliki sebuah negara yang merdeka dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota hidup lagi.

(Tajuk Koran Republika hari ini).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement