Senin 08 Jan 2018 06:48 WIB

Apakah Israel Negara Demokratis?

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Pertanyaan di atas menjadi penting karena beberapa alasan. Salah satunya, dukungan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, kepada Israel selama ini lantaran negara Zionis itu dilabeli paling demokratis di kawasan Timur Tengah. Khususnya di lingkungan negara-negara Arab. Hal inilah yang juga dikatakan Presiden AS Donald Trump ketika mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. "(Israel) salah satu negara demokrasi yang paling sukses di dunia," ujar Trump.

Klaim Trump tentu sebuah kebohongan besar seperti beberapa hal yang sering ia katakan selama ini. Pun kebohongan itu sengaja diulang-ulang oleh para pemimpin Israel agar menjadi ‘kebenaran’. Sayangnya ‘kebenaran yang bohong’ itu sudah memengaruhi para politisi Barat, termasuk sebagian dari kita.

"Juga telah memengaruhi beberapa orang Arab," tulis Abdul Fatah Madhi, akademisi, peneliti, dan penulis Arab di sebuah kolomnya di media Aljazeera.net.

Baca Juga: Trump Mempersatukan Dunia untuk Melawannya

Sekarang mari kita sepakati apa yang dimaksud dengan demokrasi. Dalam demokrasi modern, rakyat merupakan sumber kekuasaan. Mereka yang memilih, mengawasi, dan menghukum para penguasa. Hak politik dijamin. Kebebasan untuk semua tanpa perkecualian.

Di Israel, hanya orang-orang Yahudi yang menjadi sumber kekuasaan. Mereka membedakan warga atas dasar agama. Warga selain (beragama) Yahudi adalah warga kelas dua atau bahkan tiga. Termasuk ketika mereka mendirikan negara Israel.

Bahkan pembentukan negara mereka di tanah Palestina tidak mungkin terjadi tanpa membawa-bawa nama agama. Atas nama agama, mereka menarik orang-orang Yahudi dari seluruh dunia untuk berhijrah ke Palestina. Dengan memanfaatkan simbol-simbol, nilai, dan ajaran agama, mereka lalu menciptakan bangsa Yahudi di negara Israel.

Diskriminasi atas nama agama (Yahudi) ini dituangkan dalam undang-undang atau konstitusi negara. Ada dua undang-undang yang sangat rasis yang mungkin tak tertandingi di dunia. Yaitu Undang-Undang Tahun 1950 tentang Kembali dan Undang-Undang Tahun 1951 tentang Kewarganegaraan.

Kedua undang-undang itu memperbolehkan kepada setiap orang Yahudi di seluruh dunia untuk pergi dan menetap di Israel kapan saja dan bisa langsung mendapatkan kewarganegaraan Israel.

Sementara itu, orang-orang Palestina sang empunya tanah air dilarang untuk kembali, apalagi mendapatkan kewarganegaraan. Mereka yang menetap sejak lama bahkan diusir dan diteror. Selain kedua undang-undang tadi, masih ada berbagai undang-undang lain yang sangat rasis berdasarkan agama terhadap orang-orang Palestina.

Dalam sebuah negara demokrasi, hukum adalah panglima. Semua orang atau warga sama di depan hukum tanpa membedakan etnis, golongan, dan agama. Namun, hal ini tidak berlaku bagi orang Yahudi. Israel lebih mengedepankan rasisme eksklusif Yahudi. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Setiap warga harus hidup bersama dan berdampingan dengan orang lain yang didasarkan pada persamaan di depan hukum.

Negara Israel juga tidak memiliki batas geografis yang jelas untuk menjalankan kekuasaan. Ini tentu berlawanan dengan apa yang para ahli hukum dan politik sepakati bahwa kedaulatan negara terkait dengan wilayah tertentu.

Demokrasi membutuhkan partisipasi politik semua warga tanpa diskriminasi atau pengecualian. Namun, di Israel semua itu tidak berlaku. Banyak pembatasan yang ditetapkan oleh hukum maupun dalam praktik sehari-hari.

Sebagai contoh, banyak orang Arab yang sejak 1948 telah menjadi warga negara Israel, tapi hanya memiliki sedikit hak. Mereka tetap saja merupakan warga kelas dua. Mereka menghadapi berbagai penderitaan akibat diskriminasi. Ada pembatasan kebebasan berekspresi, berorganisasi, pembatasan hak-hak politik dalam pemilu, dan juga pembentukan partai dan asosiasi.

Ada undang-undang yang mengaitkan pengakuan yahudisasi negara dengan pencalonan dalam pemilu, dukungan dana pemerintah, dan mendapatkan hak-hak warga negara. Mahkamah Agung Israel bahkan telah menetapkan keabsahan Yahudisasi negara sebagai konstitusi utama yang tidak boleh dilanggar oleh undang-undang lain atau undang-undang di bawahnya.

Kontradiksi lain terjadi di Knesset. Di Lembaga parlemen Israel ini terdapat beberapa hal yang melanggar asas demokrasi. Salah satunya undang-undang yang secara efektif mencegah perwakilan dari partai Arab untuk dapat terlibat dalam komite-komite penting, seperti komite keuangan, luar negeri, dan keamanan.

Partai-patai utama Israel sekarang ini sudah terbentuk sebelum berdirinya Israel. Mereka telah sepakat dengan apa yang disebut sebagai ‘Konsensus Zionis’. Intinya, keamanan dan kesejahteraan negara harus didasarkan pada Zionisme. Ciri-ciri partai ini kepemimpinan harus dikuasai oleh kelompok Yahudi yang berasal dari negara-negara Barat. Mereka mendapatkan dukungan finansial yang tak terbatas dari gerakan Zionisme internasional.

Di kelompok Yahudi pun masih ada penggolongan. Mereka yang berasal dari Eropa, disebut Yahudi Ashkenazi, merupakan kelompok elite di Israel. Sedangkan mereka yang berasal dari Amerika Latin, Afrika, dan wilayah lain disebut Yahudi Falasha. Yang terakhir ini dianggap sebagai Yahudi rendahan.

Dari awal berdiri, Israel memang digagas sebagai negara Yahudi. Ini berarti penghapusan terhadap hak-hak orang Palestina dan Arab sejak 1948. Mereka semua, baik Arab Muslim maupun Kristen, secara perlahan dilucuti dari semua identitasnya, termasuk penggunaan bahasa Arab dan lainnya.

Yang lebih menderita lagi adalah orang-orang Arab yang tinggal di wilayah yang diduduki Israel sejak 1967. Mereka setiap hari menghadapi penindasan kekuasaan militer dan mengalami keterbasan akses ekonomi, terutama pekerjaan. Para penguasa Israel bahkan tidak memedulikan lagi Konvensi Jenewa dan puluhan resolusi PBB serta organisasi internasional lainnya.

Lalu, bagaimana sebuah negara bisa dikatakan demokratis dengan semua kontradiksi ini? Bagaimana Israel--satu-satunya negara di dunia yang masih menjajah negara lain--bisa disebut demokratis? Demokrasi untuk dirinya (orang-orang Yahudi) dan tidak untuk orang lain (Arab/Palestina)?

Di sinilah, terkait dengan Israel, kita tidak mungkin menyebut apakah sebuah negara demokratis dan melupakan bagaimana ia terbentuk. Gerakan Zionisme--yang mendirikan Israel--adalah sebuah proyek kolonial yang dibentuk dan dibiayai oleh penjajah Eropa dan didukung Barat.

Karena itu, menjadi wajar bila wilayah geografis negara bentukan gerakan Zionis merupakah hasil dari mengambil paksa dari penduduk asli dengan cara teror dan pembunuhan. Pun, dengan warganya yang merupakan para imigran Yahudi dari Eropa dan belahan dunia lainnya dengan sejarah dan bahasa yang berbeda-beda. Kesamaannya hanya satu; mereka adalah orang Yahudi.

Dengan pembentukan negara seperti ini, menjadi tidak aneh bila ideologi Isreal adalah Zionisme. Sebuah ideologi rasis bin ekspansionis bin apartheid yang didasarkan pada pengingkaran terhadap hak warga lain (bangsa Palestina), dengan cara apa pun. Termasuk pembantaian, penghancuran, perang, teror, hasutan, dan kampanye kebohongan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement