Kamis 04 Jan 2018 09:03 WIB

Filantropi dan Kemiskinan

 Rumah Zakat Bina Penerima Manfaat Beasiswa Juara
Rumah Zakat Bina Penerima Manfaat Beasiswa Juara

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bagong Suyanto, Guru Besar Fisip Universitas Airlangga Surabaya

Di Indonesia, kedermawanan sosial (filantropi) yang dilakukan masyarakat mampu, dalam lima tahun terakhir berkembang pesat dan menemukan momentumnya saat krisis dan bencana alam yang secara beruntun melanda negeri ini.

Situasi krisis yang berkepanjangan tampaknya tidak menghalangi orang bederma dan peduli dengan penderitaan sesama. Krisis dan berbagai bencana justru meningkatkan kepekaan dan kepedulian masyarakat.

Survei Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) di 11 kota besar di Indonesia, dengan mewawancarai 2.500 responden menemukan sejumlah informasi menarik mengenai sifat kedermawanan masyarakat Indonesia.

Tingkat bersedekah masyarakat Indonesia (yang disurvei) ternyata terbukti jauh lebih tinggi daripada bangsa Amerika yang dikenal pemurah, apalagi Jerman dan Prancis. Hampir semua responden (96 persen) mengaku memberi sedekah kepada seseorang, sebagian besar (84 persen) memberi ke lembaga keagamaan, ataupun lembaga nonkeagamaan (77 persen). (Zaidi dan Abidin, 2004: 4-6).

Di Indonesia, harus diakui kedermawanan sosial masyarakat, terutama dari golongan menengah ke atas biasanya baru menemukan momentumnya ketika terjadi bencana atau ketika hati mereka tergugah untuk membantu orang cacat.

Ketika ada saudara-saudara kita di berbagai daerah tertimpa bencana tanah longsor, banjir, dan lain sebagainya, hampir seluruh masyarakat di berbagai pelosok nusantara spontan mengulurkan tangan ikut membantu, baik tenaga maupun dana.

Kendati di berbagai daerah masyarakat cenderung berubah makin soliter, kontraktual, dan impersonal, bukan berarti rasa solidaritas dan kepedulian terhadap sesama memudar.

Di berbagai wilayah di Jawa Timur, studi yang dilakukan penulis menemukan, ternyata yang namanya masyarakat mampu tidak selalu dalam posisi sebagai kelompok masyarakat kelas menengah yang eksploitatif dan cenderung hanya melahirkan proses marginalisasi.

Namun, dalam beberapa kasus, mereka ternyata masih memiliki sikap dan peran dalam membantu masyarakat miskin di sekitarnya. Bagi masyarakat adalah fakta bahwa kedermawanan sosial dipraktikkan di berbagai daerah, umat Islam, dan umat lainnya sejak dulu kala. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf adalah istilah yang biasa dikenal dalam ajaran agama dan umat Islam.

Melalui studi ini, 200 keluarga yang secara ekonomis tergolong mampu diwawancara dan terungkap 81 persen responden mengaku, selalu menyisihkan sebagian pendapatan mereka untuk zakat, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal.

Dalam ajaran Islam, seperti diketahui zakat adalah kewajiban bagi umat Islam sehingga wajar jika sebagian besar responden Muslim memenuhi kewajibannya berzakat. Dibandingkan zakat, infak dan sedekah tidak terlalu banyak dilakukan masyarakat mampu.

Dari 200 warga mampu yang diteliti, hanya 42 persen yang mengaku selalu menyisihkan penghasilannya untuk infak dan hanya 28 persen yang selalu bersedekah.

Berbeda dengan zakat yang biasanya dilakukan dan diberikan masyarakat mampu ketika hari raya tiba, infak dan bersedekah umumnya tidak terlalu populer. Dalam ajaran agama Islam, zakat adalah suatu keharusan.

Sedangkan untuk infak dan bersedekah karena hukumnya sunah, wajar jika intensitasnya tidak sekerap ketika orang memberi zakat. Semua responden penelitian umumnya menyadari amal dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja.

Namun dalam kenyataan, momen dilakukan amal umumnya lebih banyak terjadi pada hari-hari baik tertentu. Di antara berbagai hari atau masa, yang paling populer di mata masyarakat mampu untuk beramal adalah pada saat bulan puasa.

Sebanyak 60 persen responden mengaku selalu beramal pada bulan puasa. Hanya dua persen yang mengaku tidak pernah beramal ketika bulan puasa. Di luar bulan puasa, hari baik yang biasanya memancing hasrat masyarakat mampu untuk beramal adalah hari raya.

Penelitian ini menemukan, 37,5 persen responden mengaku selalu beramal pada hari raya dan 28,5 persen mengaku cukup sering.

Model yang ditawarkan

Sesungguhnya, ada banyak hal yang dapat dan telah dilakukan golongan masyarakat mampu untuk membantu masyarakat miskin, mulai dari yang karitatif (sekadar amal atau bersedekah) hingga yang benar-benar berorientasi pemberdayaan.

Selama ini, sebagian besar peran masyarakat mampu harus diakui memang masih lebih banyak penyantunan atau sekadar membantu meringankan beban masyarakat miskin, ketika mereka tertimpa musibah atau sekadar berbagi rezeki pada hari-hari tertentu.

Ke depan, peran masyarakat mampu seperti apakah yang ideal dikembangkan untuk membantu mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan di berbagai daerah di Indonesia? Sudah tentu tidak harus sama antara komunitas satu dan komunitas yang lain.

Namun, dalam jangka panjang, idealnya peran yang dikembangkan bukan hanya //accidental// dan karitatif, melainkan juga pada pemberdayaan yang lebih terorganisasi, mendorong pengembangan mekanisme asuransi sosial, memiliki wadah dan tujuan lebih jelas.

Yang dimaksud peran pemberdayaan di sini pada dasarnya lebih luas daripada memenuhi kebutuhan dasar. Substansi pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat miskin, tanpa harus mematikan potensi mereka untuk menolong dirinya sendiri.

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, melainkan juga pranata-pranatanya. Sedangkan yang dimaksud asuransi sosial adalah bagaimana sejauh mungkin mengurangi bentuk-bentuk bantuan yang hanya bersifat karitatif.

Sebagai gantinya, diupayakan untuk lebih menekankan pada bentuk bantuan yang dapat berfungsi sebagai asuransi sosial bagi kelompok masyarakat yang membutuhkan.

Artinya, program bantuan yang bisa bermanfaat sebagai penyangga kebutuhan masyarakat dalam jangka lebih panjang, dan bukan sekadar program darurat bersifat karitatif dan habis seketika untuk memenuhi kebutuhan sesaat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement