Kamis 28 Dec 2017 12:54 WIB
Refleksi Akhir Tahun 2017 Indonesia Halal Watch

Mandatory Sertifikasi Halal dan Keberlansungan Dunia Usaha

 H Ikhsan Abdullah SH MH, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch
Foto: dok. Istimewa
H Ikhsan Abdullah SH MH, Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: H Ikhsan Abdullah SH MH *)

Industri halal Indonesia berjalan di tempat, jauh tertinggal dari negara-negara lain. Pelaku usaha Indonesia belum menganggap industri halal sebagai peluang bisnis penting. Padahal kenyataannya sekarang, industri halal sedang menjadi trend global di dunia.

Di sisi lain, pasar Indonesia pada tahun 2018 mendatang akan dibanjiri oleh produk-produk asing yang telah berlabel halal. Baik yang telah mendapatkan sertifikat halal dari negara asal maupun yang di endorse oleh lembaga otoritas halal di Indonesia saat ini yaitu LPPOM MUI. Hal ini disebabkan karena kurangnya awareness dari pelaku usaha kita terhadap produk halal serta kurangnya orientasi usaha untuk merebut pasar halal dunia.

Tepat 4 tahun sudah Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) di undangkan, tetapi sampai saat ini, masih belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat, serta belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tumbuhnya dunia industri dan percepatan industri halal. Sejak di undangkan UU JPH pada 17 Oktober 2014 diharapkan dapat menjadi umbrella provisions dari semua regulasi halal. Tapi realitanya sangat jauh dari yang diharapkan.

Begitu juga Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) telah diresmikan pada 10 Oktober 2017 yang lalu. BPJPH belum dapat berfungsi sebagamana mestinya yang dimandatkan UUJPH. BPJPH menghadapi tantangan yang berat dalam menjalankan tugas sebagaimana layaknya sebuah lembaga baru yang memerlukan waktu untuk menata organisasi dan konsolidasi. Hingga saat ini BPJPH belum siap untuk menerima dan melayani permohonan sertifikasi halal.

Ironisnya lagi, belum ada satupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang lahir dan mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI, dimana syarat terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki auditor halal yang disertifikasi oleh MUI, sesuai dengan UU JPH Pasal 14 ayat (2) huruf f. Namun pada kenyataannya, BPJPH dan MUI belum merumuskan standar sertifikasi auditor halal dan standar akreditasi LPH.

Inilah yang melahirkan kegamangan bagi Industri dan UKM yang akan mengajukan sertifikasi halal atas produk-produknya. Permohonan diajukan ke LPPOM MUI ataukah ke BPJPH sementara sertifikat halal yang sedang atau sudah jatuh tempo perpanjangan dan mandatory sertifikasi semakin dekat.

Persiapan memasuki masa wajib sertifikasi yang ditandai dengan labelisasi sertifikat halal dan informasi produk tidak halal dimulai Oktober 2019, maka sosialisasi dan edukasi terhadap UU JPH harus benar-benar sampai kepada dunia usaha dan masyarakat. Karena hal ini akan berakibat hukum bagi pelaku usaha bila sampai batas waktunya tiba produk mereka belum bersertifikasi halal, maka Dunia Usaha akan terancam sanksi Pidana dan denda sekaligus.

Ikhtiar yang perlu segera dilakukan adalah:

1. Diperlukan upaya yang serius kordinasi lintas kementerian dalam rangka mempercepat lahirnya Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

2. Membangun hubungan yang harmonis dan bekerja sama yang saling menguatkan antara kedua lembaga yang diberikan mandat oleh UU JPH, yakni BPJPH dan MUI.

3. Mendorong terbentuknya Lembaga Pemeriksa Halal dan sertifikasi auditor halal yang selanjutnya dilakukan sertifikasi dan akreditasi oleh BPJPH dan MUI.

4. Agar dunia usaha tidak dirugikan dan tetap berjalan dengan memperoleh sertifikasi halal atas produk-produknya, maka ketentuan Pasal 59 dan 60 Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal agar tetap menjadi landasan, yaitu LPPOM MUI tetap menjalankan kewenanganya melakukan Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH menyatakan telah siap melakukan Sertifikasi halal, yang ditandai dengan telah siapnya Auditor Halal, LPH dan berbagai Instrumen pembiayaan yang berkaitan dengan Industri dan UKM.

Di sinilah diperlukan kearifan dan kejujuran Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, bahwa BPJPH belum siap menerima permohonan sertifikasi Halal sampai dengan kesiapan Auditor Halal yang disertifikasi, pembentukan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang terakreditasi dan ketentuan tarif serta sistem pendaftaran berbasis online. Terkecuali BPJPH siap bersinergi dengan LPPOM MUI yang saat ini telah memiliki 1.200 auditor halal yang tersebar di 34 provinsi dan di 400 Kabupaten Kota seluruh Indonesia, sehingga tidak menimbulkan kegamangan dan memberikan kepastian bagi dunia usaha yang akan mengajukan permohonan Sertifikasi Halal serta yang akan melakukan perpanjangan bagi yang sudah jatuh tempo masa berlaku sertifikasinya.

5. Menyongsong mandatori sertifikasi halal yang jatuh tempo 2019, maka BPJPH dituntut untuk dapat menjamin ketenangan, kenyamanan, dan kepastian bagi pelaku usaha (produsen) yang akan mengajukan permohonan sertifikasi halal, menjamin pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikasi halal, dan memastikan kemudahan bagi produsen yang akan memperpanjang sertifikasi halalnya yang telah jatuh tempo. Sehingga dunia usaha dapat menjalankan usahanya dengan tentram dan tidak melanggar hukum / terkena sanksi sesuai dengan Pasal 56 dan 57 Undang-Undang Jaminan Produk Halal. Di sisi lain UU JPH ini agar menjadi undang-undang yang tetap berlaku efektif tidak sebagai hukum yang ditidurkan.

6. BPJPH dan MUI harus mulai membangun sistem permohonan setifikasi halal yang berbasis pada prinsip perlindungan, keadilan, akuntabilitas, transparansi, efektivitas, efisiensi, dan profesionalitas dalam memperoleh sertifikat halal.

*) Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement