Kamis 21 Dec 2017 11:43 WIB

Tiang Listrik, Abu Janda, Hingga Argumentasi Kocak LGBT

Ikon Tertawa (ilustrasi)
Ikon Tertawa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Abdullah Sammy

Pernah nonton Film Benyamin Tukang Ngibul? Bagi saya film yang dimainkan oleh aktor lawak legendaris Indonesia, Benyamin Sueb itu merupakan salah satu film paling lucu dalam sejarah perfilman Indonesia.

Inti dari film itu menceritakan kisah Benyamin yang ingin cepat kaya. Bersama sohibnya, Gombloh, Benyamin pun menjual obat palsu. Singkat cerita, datang Yatni Ardi yang ingin membeli obat untuk menyembuhkan penyakit borok yang menimpa suaminya, Hamid Arif.

Bukannya sembuh, borok Hamid Arif malah makin parah akibat obat palsu Benyamin. Benyamin dan Gombloh pun diciduk polisi.

Jujur, saya cukup sulit dalam menyukai sebuah film lawak. Sehingga hanya segelintir adegan komedi layar kaca yang bisa membuat saya tertawa terbahak.

Terlebih di zaman now yang mana kualitas film lawaknya masih kalah jauh bila dibandingkan film yang dimainkan Benyamin Sueb. Tapi kini ada anomali. Kisah jenaka tak lagi kita jumpai di film melainkan dalam tayangan berita atau talkshow sebuah acara televisi. 

Salah satu momen yang sempat memancing tawa banyak orang adalah berita tragedi tiang listrik yang menimpa Setya Novanto. Yang membuat orang tertawa bukan justru adegan dari kecelakaan itu. Sebaliknya kita wajib perihatin jika ada seseorang yang terkena musibah.

Tapi, anda maupun saya pastinya tertawa ketika mendengar statement dari pengacara Novanto saat itu. Kala itu sang pengacara menyatakan kliennya mengalami luka serius di bagian kepala dengan benjolan sebesar bakpao usai menyeruduk tiang listrik.

Saat kisah tiang listrik ini masih membuat orang tertawa, kisah jenaka baru tercipta dari ruang perdebatan. Kali ini sosok bernama Permadi Arya alias Abu Janda yang bikin cerita. Abu Janda bukan menghadirkan kisah jenaka karena kepalanya terbentur tiang. 

Tapi kisah jenaka ini terjadi di layar kaca saat dirinya tampil sebagai salah satu narasumber untuk dalam acara perdebatan terkait pro dan kontra reuni 212. Tema dari acara ini sejatinya serius dan berbobot. 

Tapi oleh Abu Janda, acara itu bisa digiring menjadi lebih bernuansa humor. Dengan gestur dan nada bicara yang meyakinkan tapi salah, ucapan Abu Janda akhirnya membuat orang tertawa lebar. 

Dengan lantang, Abu Janda bersuara, "Saya punya data. Data ini bisa diuji!" Tapi ternyata data yang dibawa dan dipersiapkan itu salah. Data yang harusnya membuat seseorang dalam debat punya senjata untuk menjatuhkan lawan, malah menjadi bahan tertawaan. 

Dalam acara yang sama namun kesempatan berbeda, perdebatan jenaka kembali terjadi. Ini saat jurnalis muda bernama Cania Citta beragumentasi soal LGBT.

Cania awalnya menolak campur tangan negara dalam ruang privat. Namun saat perdebatan masuk pada substansi kaitan negara dan agama yang ditentang oleh si jurnalis zaman now ini, argumentasinya mulai lucu. 

Dia menolak anggapan bahwa sila pertama Pancasila merupakan bukti bahwa Indonesia merupakan bangsa yang bertuhan. "Gak ada hubungannya (Pancasila) dengan kewajiban beragama atau bertuhan," ucap Cania.  

Setelah pandangannya coba diuji oleh panelis acara, Karni Ilyas, pandangan Cania mulai tak konsisten. Sebab faktanya sila ketuhanan itu menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara atheis. Sebaliknya sila pertama Pancasila menegaskan Indonesia sebagai negara beragama yang menjalankan ajaran-ajaran ketuhanan. Yang mana ajaran ketuhanan itu menolak LGBT. 

Setelah diuji Karni Ilyas, pandangan Cania mulai tak konsisten. "Okay. Kalau begitu saya mengakui keragaman nilai ketuhanan," ucap Cania yang mulai berubah. Gak ada hubungannya dengan ketuhanan, tapi semenit kemudian mengakui nilai ketuhanan yang beragam? Piye toh mbak?

Dia kemudian kembali melontarkan argumentasi lucu. "Kalau orang boleh memilih tuhan yang berbeda-beda maka orang boleh memilih ajaran tuhan yang berbeda-beda kan. Berarti itu yang saya bela kalo gitu," ucap Cania. Okeh-lah if begituh

Ucapan Cania ini sejatinya meruntuhkan segala argumentasinya sendiri soal LGBT. Sebab ajaran tuhan mana yang memperbolehkan LGBT?

Sebaliknya, jadi sebuah fakta bahwa seluruh ajaran kepercayaan di Indonesia menolak legalisasi LGBT. Yang membuat logika Cania semakin fatal adalah pengetahuannya yang terbatas soal kaitan agama, konstitusi, dan LGBT di Indonesia. Tapi dia justru mengarahkan pembicaraan ke arah yang tak dia ketahui. 

Pembahasan yang awalnya dia sampaikan akhirnya jadi pepesan kosong. Yang akhirnya ini bukan mendukung logikanya malah membuatnya terlihat seperti Abu Janda.   

Tapi apa pun itu, perdebatan dan berita jenaka memang kita butuhkan saat ini. Ini sebagai sarana untuk memecahkan tensi di masyarakat yang kini semakin serius. Hadirnya pemikiran macam Abu Janda dan Cania mampu membuka mata kita.

Kita jadi tahu mana sebenarnya pemikiran yang rasional dan mana yang mengada-ngada dan lelucon semata. Lagi pula negara kita membebaskan setiap warga negaranya untuk memilih. 

Sebab pendidikan sejatinya memang adalah kewajiban, tapi menjadi pintar adalah pilihan.        

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement