Ahad 17 Dec 2017 10:37 WIB

Palestina, Yerusalem, dan Komitmen Keislaman

Erdy Nasrul
Foto: Republika
Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Erdy Nasrul, Jurnalis Republika untuk Isu Keagamaan

Sepekan terakhir, masyarakat dari berbagai latar belakang turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi mengecam Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, negeri yang sejak lama membantai masyarakat Palestina.

Kantor Kedutaan Besar AS di Jakarta menjadi sasaran utama aksi protes. Sementara masyarakat turun ke kota besar setempat untuk menyuarakan penolakan dan pengecaman. Mereka membawa bendera Palestina sambil menutup wajah dengan sorban, seperti yang dilakukan warga Palestina yang melawan penjajahan Israel yang selama ini dibiarkan dunia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan menyerukan umat Islam di mana pun untuk turun ke jalan hari ini, bergabung bersama dalam barisan membela Palestina. Selain mengecam Trump, mereka juga menegaskan kedudukan Yerusalem sebagai ibu kota Palestina, bukan Israel. Aksi yang sama juga berlangsung di berbagai negara beberapa pekan terakhir.

Alhamdulillah, keberpihakan AS terhadap Israel telah menunjukkan umat Islam yang sesungguhnya. Mereka merindukan kiblat pertama al-Quds, tanah yang dulu menjadi tempat perjalanan panjang Rasulullah untuk isra dan mi’raj (sekitar 620-621 M), wilayah yang dimasuki Khalifah Umar bin Khatab dengan kesederhanaannya (636 M), kemudian dikuasai Shalahuddin al-Ayyubi (1190 M). Aksi damai ini tidak diwarnai dengan ancaman teror. Yang berdemo adalah orang-orang berpendidikan sekaligus pecinta al-Aqsha.

Patut kita mempertanyakan, kemana Taliban dan berbagai jaringan teroris yang selama ini kerap mengklaim jihad? Kemana Abu Sayyaf yang mengaku Muslim dan dengan gagah berani menyandera saudara seimannya? Mana itu ISIS yang selama ini mengibarkan bendera bertuliskan kalimat tauhid? Mana batang hidung mereka saat tempat Rasulullah melakukan isra-mi’raj diakui Amerika sebagai ibu kota Zionis Israel?

Bagaimana mungkin mereka mengaku beriman, tapi membiarkan ka’bah pertama yang jelas-jelas tertulis dalam Alquran dicaplok Zionis Israel? Jika memang betul-betul mengimani Islam dan menginginkan jihad yang sesungguhnya, maka mereka harus ke al-Quds untuk membela dan mempertahankannya.

Jika diam menghadapi Israel, entah karena tidak berani atau jangan-jangan mereka memang didukung negara zionis tersebut, maka jelaslah sudah jati diri mereka. Artinya, Israel yang selama ini menumpahkan darah masyarakat tak berdosa, bukanlah musuh ISIS ataupun kaum radikal dan teroris yang selama ini getol mengklaim berjihad.

Kalau pun mereka bersyahadat, maka sungguh pengakuan mereka itu adalah omong kosong jika tidak direalisasikan dengan membela al-Aqsha. Keislaman mereka adalah palsu. Mereka mempunyai strategi dan sumber daya untuk melawan musuh Islam, tapi kenapa justru menyerang orang tak bersalah?

Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah perbedaan dakwah. Silakan kelompok Muslim apa pun dengan berbagai latar belakang pengikutnya mendakwahkan pemahaman tentang Islam. Dakwah pemurnian ajaran Islam; membangun pendidikan (//tarbiyah//) diri sendiri, keluarga, dan masyarakat luas; memasukkan unsur Islam dalam tradisi setempat; sangat bagus dan harus didukung. Tapi jangan abaikan sejarah dan perjuangan Rasulullah yang pernah menginjakkan kaki di Yerusalem.

Sejarah mencatat ambisi kaum Yahudi radikal mendirikan negara Israel bukan semata-mata untuk menjadi tempat tinggal. Mereka yang tidak dianggap teroris itu juga berhasrat menguasai Yerusalem untuk kembali membangun kuil suci tempat pengorbanan binatang, meski sudah ditentang sebagian orang, seperti Abraham Isaac Kook (1865-1935). Rabi kepala pertama komunitas Yahudi di Israel ini, pada masa sebelum negara itu terbentuk, mengatakan pengorbanan binatang tidak akan dilakukan lagi, sehingga pembangunan tempat ibadah mereka tidak diperlukan.

Beberapa waktu lalu Republika kedatangan beberapa tokoh al-Aqsha dalam waktu yang berbeda. Mereka adalah intelektual Mesir Dr Amal Khalifa, imam al-Aqsha Syekh Mustafa Muhammad Abdurrahman at-Tawil, dan perwakilan Majelis Ulama Palestina di luar negeri, yaitu Nawaf Takruri, Ziyad Abuzaid, dan Mohamad El-haj. Semuanya sama-sama menyuarakan satu informasi, bahwa setelah menguasai kompleks al-Aqsha, Israel terus menggali area bawah tanah masjid tersebut untuk kembali memugar tempat suci Yahudi yang sudah hancur.

Apakah negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim membiarkan penggalian ini? Kenyataannya begitu. Kalau pun memedulikan persoalan ini, mereka hanya sebatas mengecam. Negara-negara itu tidak mengerahkan kekuatan militernya untuk mempertahankan al-Aqsha.

Ini pertanda kekuatan dan kebersamaan negara-negara Islam lemah, atau bahkan tidak ada. Selain itu, tidak ada tokoh umat Islam yang menonjol, menjadi panutan, dan pemimpin, sehingga mereka bersikap dan berjalan masing-masing. Umat Islam kalah dengan lebah dan belalang yang mempunyai pemimpin (biang).

Bayangkan, apa yang terjadi jika Israel menghancurkan masjid tersebut, kemudian menggantinya dengan tempat ibadah pengorbanan Yahudi. Kelak suatu saat nanti, ketika bercerita kepada anak-cucu tentang al-Aqsha dan tempat Rasulullah melakukan isra-mi’raj, Muslim tak dapat menunjukkan rumah Allah tersebut. Naudzubillah!

Apakah al-Aqsha akan hancur? Sangat mungkin tejadi jika umat Islam tidak berubah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (QS 13 ayat 11).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement