Ahad 17 Dec 2017 09:05 WIB

Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu

Peserta aksi bela Palestina memadati kawasan monas,Jakarta,ahad(17/12)
Foto: Republika/Prayogi
Peserta aksi bela Palestina memadati kawasan monas,Jakarta,ahad(17/12)

 

JAKARTA — Penyair terkemuka Taufiq Ismail mengatakan Indonesia harus peduli pada nasib Palestina. Apa sebab? Jawabnya, karena  negara Palestina itu adalah negara yang pertama kalinya mengakui kemerdekaan Indoesia bersama Mesir.

‘’Bagaimana kami melupakanmu Palestina. Tanah kami memang jauh letaknya beribu-ribu kilomter dari sana.  Tapi Adzan di Masjidil Aqsa terus terdengar di telinga kami,’’ kata Taufiq Ismail, ketika membacakan puisi ‘Palestina Bagaimana Aku Bisa Melupakanmu’, pada acara aksi ‘Menolak Klaim Amerika yang menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Israel’, di kawasan Monas, Jakarta (17/12).

Taufiq mengatakan, puisi yang dibacakannya di Monas bersama Guru Besar UIN Jakarta, Prof DR Nabila Lubis, itu sudah pula dibacakan  di depan pertemuan para pemimpin negara-negara OKI.

Untuk itu inilah puisi lengkap karya Taufiq Ismail: 'Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu'.


Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer

dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir

dan batu bata dinding kamartidurku bertebaran

di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan

mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan

apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan lalu di

Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor

agraria, serasa kebun kelapa dan pohon mang-

gaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas

mereka.

Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai

kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-

sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening

kita semua, serasa runtuh lantai papan surau

tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al-Qur’an

40 tahun silam, di bawahnya ada kolam ikan

yang air gunungnya bening kebiru-biruan kini

ditetesi airmataku.

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu

Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan

umur mereka, menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma,

lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya,

siapakah yang tak menjerit serasa anak-anak kami

Indonesia jua yang dizalimi mereka –

tapi saksikan tulang muda mereka yang patah

akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya,

pembelit leher lawan mereka, penyeret tubuh

si zalim ke neraka, An Naar.

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al-

Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim

Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang diba-

cakan di Pusat Kesenian Jakarta, jantung kami

semua berdegup dua kali lebih gencar lalu ter-

sayat oleh sembilu bambu deritamu, darah kami

pun memancar ke atas lalu meneteskan guratan

kaligrafi

‘Allahu Akbar!’ dan

‘Bebaskan Palestina!’

Ketika pabrik tak bernama 1000 ton sepekan memproduksi

dusta, menebarkannya ke media cetak dan

elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi

di padang pasir belantara, membangkangit reso-

lusi-resolusi majelis terhormat di dunia, mem-

bantai di Shabra dan Shatila, mengintai Yasser

Arafat dan semua pejuang negeri anda, aku pun

berseru pada khatib dan imam shalat Jum’at

sedunia: doakan kolektif dengan kuat seluruh

dan setiap pejuang yang menapak jalanNya,

yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu

dengan kukuh kita bacalah

‘laquwwatta illa bi-Llah!’

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu

Tanahku jauh, bila diukur kilometer, beribu-ribu

Tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu

Serasa terdengar di telingaku.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement