Kamis 14 Dec 2017 04:35 WIB

Kastrol, Liwet, dan Santri

H Taupik Hidayat, Penyusun Bahan Siaran dan Pemberitaan Pada Kemenag Kabupaten Majalengka
Foto: dok. Kemenag.go.id
H Taupik Hidayat, Penyusun Bahan Siaran dan Pemberitaan Pada Kemenag Kabupaten Majalengka

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: H. Taupik Hidayat *)

 

Nama Santri dan Pesantren saat ini sudah sangat populer ditengah tengah masyarakat Indonesia. Kiprahnya dalam merebut, mengawal dan mengisi kemerdekaan bangsa tak perlu diragukan lagi. Semua orang sadar bahwa ditangan merekalah bangsa ini lahir, bangsa ini hebat dan kuat. Kaum santri dikenal dengan penampilannya yang sederhana, kaum sarungan, humanis, sabar dan ikhlas. Namun siapa sangka, dibalik penampilannya yang khas dan sederhana tertanam jiwa yang kuat, agamis dan nasionalis. Lahirnya Keputusan Presiden No. 22 tahun 2015 tentang Hari Santri semakin mempertegas eksistensi dan kiprah santri bagi bumi pertiwi.

 

Santri adalah sosok yang sederhana, ikhlas dan sabar, sehingga sikap itulah menjadi karakteristik santri yang paling menonjol. Berbicara santri, ada satu hal yang sangat melekat erat pada sosok  santri, yakni 'kastrol'. Kastrol dan kaitannya dengan santri, entah kenapa keduanya seperti sesuatu yang tidak bisa dipisahkan. Seperti sepasang kekasih yang berjalan mesra sambil bergandengan tangan.

 

Kemesraan santri dengn kastrol sudah berlangsung lama. Sehingga entah kenapa kastrol seolah sudah menjadi sebuah paradigma dalam kehidupan para santri di pesantren, terutama di pesantren-pesantren salafiyyah (tradisional) yang mengedepankan kesederhanan dalam mendidik para santrinya.

 

Kastrol sebagai salah satu alat masak yang terbuat dari besi menjadi simbol kesederhanaan, ketekunan, dan kesabaran para santri. Sehari-hari, santri memang memasak menggunakan kastrol. Dan ini sudah berlangsung sejak lama. Sehingga kastrol beserta nasi liwetnya sudah sangat identik dengan santri. Keduanya memiliki tempat tersendiri di hati para santri.

Dari masa ke masa, setiap santri pasti punya cerita, tentang kastrol, tentang memasak, dan tentang hari-hari yang dihabiskan bersama teman satu pondok sambil nongkrong di depan tungku sekedar menunggu nasi liwet yang matang untuk dimakan bersama. Tak jarang santri mampu menghafal kitab saat menanak nasi liwet, berdiskusi sambil nunggu nasi liwet matang dan masih banyak cerita lainnya dibalik kastrol. Dari kastrol inilah maka kemudian para santri sering menamakan diri mereka sebagai *"kaum kastrologi"*.

 

Banyak hikmah dari kastrol dan nasi liwet. Lalu apa saja hikmah dari pendidikan yang ditanamkan melalui memasak nasi liwet menggunakan kastrol?

 

Santri yang memasak dengan kastrol sejatinya bukan hanya sekedar urusan perut, melainkan sebagai penanaman kemandirian, kerja keras, dan kebersamaan yang dibangun di antara para santri. Ikatan santri jadi kuat, makan bersama tanpa jijik, duduk bersama tanpa sekat, tidak ada kemunafikan diantara mereka, mereka hidup apa adanya.

 

Ada satu hal yang sangat unik dari kastrol ini, yakni menjadi tolok ukur kemampuan para santri. Kemampuan memasak terkadang menjadi tolak ukur untuk seberapa mapankah seorang santri hidup di pondok. Sebab, jika seorang santri masih gagal dalam memasak, maka ia akan dipertanyakan alur kesantriannya.

Bisa jadi setelah ia keluar dari pondok pun akan disuruh mondok lagi. Apabila ia masih gagal dalam memasak, terkhusus memasak nasi liwet menggunakan kastrol. Karena dalam dunia pesantren tipe tradisional, di samping telah mampu dalam bidang keilmuan, seorang santri sejatinya adalah ia yang telah sempurna mencicipi proses-proses *masaqat*, yakni proses hidup sulit dan sederhana, yang di antaranya adalah mampu memasak dengan mandiri setiap hari.

 

Walau kini, banyak pesantren yang mulai mengubah pola dan aturan makan para santrinya. Beberapa pesantren sudah menerapkan aturan makan yang siap saji. Atau jika pun harus memasak, para santri kini sudah menggunakan magic com atau sebagainya. Sehingga tradisi masak "ngaliwet" menggunakan kastrol sudah mulai ditinggalkan.

 

Sangat sayang bila kemudian kastrol dan nasi liwetnya menjadi bias tergerus perubahan zaman, lantas menghilang dan lenyap dari dunia kesantrian. Oke lah jikalau kastrol dan liwet hilang dengan adanya modernitas, namun nilai filosofinya jangan sampai hilang.

 

Ya, begitulah, kastrol akan senantiasa menjadi bagian dari cerita para santri saat mondok di pesantren. Dan kastrol adalah bagian dari cerita dan sejarah yang mengiringi perjalanan santri dari masa ke masa dan menjadi saksi bisu kesuksesan santri dalam menuntut ilmu.

*) Penyusun Bahan Siaran dan Pemberitaan Pada Kemenag Kabupaten Majalengka

sumber : kemenag.go.id
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement