Senin 11 Dec 2017 00:35 WIB

'Bom Waktu' Zionis dan Tantangan Palestina Merdeka

Palestina menanti kemerdekaan
Palestina menanti kemerdekaan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhsin Hamdy Bhr *)

Sejak Donald Trump memutuskan untuk memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem (Al-Quds), maka cita-cita perdamaian antara Palestina-Israel jadi utopia dan berantakan. Harapan terwujudnya perdamaian yang hakiki di tanah suci bagi tiga agama samawi ini bak kata pepatah: ‘Jauh api dari panggang’. Dan yang merusak situasi kondusif ini adalah Trump sendiri. Reaksi atas keputusan ugal-ugalan Presiden Amerika yang eksentrik itu langsung telah menaikkan eskalasi ketegangan di Timur Tengah dalam spektrum yang lebih luas.

Reaksi dunia atas keputusan yang tidak masuk akal itu dimulai dari statemen normatif yang bernada menyesalkan hingga pengutukan. Hampir semua negara besar yang benar-benar peduli dengan Human Rights (HAM) dan menginginkan penjajahan dihapus dari muka bumi ini, berkomentar keras dan mengaku berdiri di belakang Palestina.

Sebenarnya tanda-tanda Donald Trump akan membuat manuver yang ceroboh ini sudah kelihatan dari awal. Pertama, ketegangan akibat perang berkepanjangan di Suriah khususnya, dan di negara Arab umumnya seperti di Irak dan Libya yang sudah mulai mereda.

Kedua, ada kesadaran pentingnya bersatu antara Hamas dan Al-Fatah, yang selama ini bermusuhan. Ketiga, bargaining position antara Trump dan beberapa gelintir penguasa negara Arab dalam jangka pendek, tapi menguntungkan AS dan merugikan negara-negara Arab lainnya jangka panjang.

Begitulah, kemudian aksi kontroversial  Donald Trump ini benar-benar telah mengabaikan kesepakatan-kesepakatan Palestina-Israel yang selama ini berhasil meredam ketegangan, setidaknya konflik fisik yang menelan korban besar, khususnya bagi rakyat Palestina yang menderita itu.

Berikut ini kronologi dari berbagai sumber, kekejaman penjajahan yang dialami rakyat Palestina: Pertama, tahun 1947, Pembantaian Yehida yang menyebabkan 13 warga Palestina tewas, Pembantaian Khisas 10 warga tewas, berikut pembantaian Qazaza yang menelan korban 5 anak tak berdosa.

Kedua, Pada tahun 1948, pembantaian Deir Yassin korban 52 termasuk anak-anak. Pembantaian Hotel Semirami, korban 19 warga. Pembantaian Nasr al-Dien semua warga diberangus kecuali 40 orang yang lolos. Pembantaian Tantura korban 200 jiwa. Pembantaian Dawayma 100 korban. Pembantaian Houla korban 85 dan pembantaian Salha 105 korban.

Ketiga, pada tahun 1953, pembantaian Qibya menelan korban 96 nyawa. Pada tahun 1956, pembantaian Kafr Qasem korban 49, pembantaian Khan Yunis korban 275, dan pembantaian Gaza korban 60 jiwa. Keempat, tahun 1981, pembantaian Fakhani korban 150. Tahun 1982, pembantaian Sabra dan Shatila korban 3.000 jiwa. Kelima, tahun 1990, terjadi pembantaian di al-Quds, 11 syahid dan 800 luka-luka. Tahun 1994, pembantaian di masjid Ibrahimi, 50 gugur dan 300 terluka, tahun 1996, pembantaian Qana 109 syahid termasuk anak-anak dengan cara dipenggal kepalanya.

Keenam, selama tahun 2000 terjadi pembantaian pada anak-anak Palestina, total korban 2069 jiwa. Rabu (22/03 di tahun yang sama), Tentara Israel tumbangkan sejumlah pohon yang ditanam  sehari sebelumnya oleh Otoritas Lingkungan (EQA), sebuah jaringan organisasi lingkungan dan pusat Laji di kamp Aida, Betlehem.

Ketujuh, Jum’at (21/04), Pembantaian Kufr Qaddoum, sembilan warga Palestina termasuk seorang jurnalis salah satu stasiun TV Palestina terluka. Ahad  (18/01/2009), terjadi pengeboman sekolah di Gaza dengan senjata kimia terlarang bom fosfor putih yang menyebabkan sejumlah siswa dan guru terbakar. Kedelapan, sepanjang tahun 2016 sebanyak 35 anak di Palestina tewas dan 350 lainnya ditangkap hingga saat ini masih berada dalam tahanan negara itu. Rabu (15/02/17) Serdadu Israel menculik sedikitnya 20 warga Palestina dari rumah mereka dalam operasi pencarian pelaku kekerasan.

Begitulah, sesungguhnya penjajahan terhadap Palestina dimulai dari Perjanjian Balfour (1917), Perjanjian Britania raya dengan Lord Walter Rothschild seorang pemimpin komunitas Yahudi di Britania Raya yang kemudian mendorong eksodusnya para imigran Yahudi Zionis ke tanah Palestina. Inggris telah menanamkan ranjau dan bom waktu di tanah suci ini hingga secara geopolitik menjadikan kawasan Timur Tengah tidak aman sampai sekarang.

Sementara berdasarkan hal tersebut, tindakan Trump sudah jelas dan nyata melanggar konsensus internasional, dan resolusi DK PBB, karena secara sepihak memutuskan untuk menempatkan Kedubes AS di Al-Quds yang selama ini sebagai zona aman untuk ketiga agama, di bawah pengelolaan orang Palestina.

Pada agenda Commemoration (peringatan) KAA (Konferensi Asia Afrika) di Bandung (2015) silam, secara tegas ditekankan kembali dukungan negara-negara Asia-Afrika atas kemerdekaan bagi rakyat Palestina. Karena satu-satunya negara yang terang-terangan saat ini terjajah dan belum mengenyam kemerdekaannya adalah Palestina. Indonesia sebagai tuan rumah saat itu, bahkan sejak awal mendukung Palestina.

Dukungan yang disampaikan berbagai negara yang simpati, dengan mengatakan menyesalkan dan kecewa atas keputusan Trump, rata-rata masih bersifat normatif, dan tidak yakin dapat memberikan solusi yang memadai. Manuver Trump ini seyogianya harus dibalas dengan ancaman balasan, berupa tindakan yang kongret untuk membebaskan A-Quds (Yerusalem) dari rencana busuk Israel-AS untuk mencengkramnya.

Momentum ini sesungguhnya dapat dikapitalisasi menjadi potensi perlawanan yang insya Allah dapat menggagalkan manuver AS tersebut. Dampak siginifikan dari isu pindahnya Kedubes AS itu antara lain sbb: Pertama, negara-negara Arab yang tadinya terpecah belah dapat segera bersatu. Demonstran Arab di Beirut kemarin berseru: Trump.....terima kasih, kami warga Arab segera bersatu karena aksimu!

Kedua, Karena Al-Quds itu simbol umat Islam se-Dunia, tidak mustahil umat Islam akan bersatu melawan kekejaman ini, bahkan mungkin secara fisik dengan pernyataan perang. Kalau itu terjadi, kuat dugaan Perang Dunia III akan terpecah.

Oleh karena itu, dukungan harus segera diwujudkan dalam bentuk ancaman keras yang disertai tindakan kongkret untuk menghentikan langkap berikutnya, sebab saya kira bangsa Palestina tidak butuh diplomasi basa-basi kecuali harus ada tindakan konkret. Misalnya dengan melakukan boikot internasional kepada Israel dan Amerika.

Ingat Israel adalah Amerika Kecil, sedangkan Amerika adalah Israel Besar. Bersatunya negara-negara Arab dan dukungan negara Islam, maupun negara yang simpati harus dikapitalisasi menjadi sinergi kekuatan untuk melawan Israel dan Amerika, khususnya kepada Donald Trump sebagai sumber masalah.

*) Penulis adalah alumnus Program Hubungan Internasional FISIP Universitas Brawijaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement