Kamis 07 Dec 2017 04:00 WIB

Membangun Kesuksesan Kolektif (2)

Imam Besar Islamic Culture Center of New York, asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, Shamsi Ali
Foto: ROL/Fakhtar Khairon Lubis
Imam Besar Islamic Culture Center of New York, asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, Shamsi Ali

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)

Pada seri awal disebutkan bahwa Islam itu semuanya mengarah kepada kesuksesan paripurna. Yaitu kesuksesan dalam kehidupan material sekaligus spiritual, dan juga intelektual. Kesuksesan dalam hidup duniawi tapi berorientasi ukhrawi. Dan juga kesuksesan yang bersifat individu, namun mengarah kepada pembangunan kesuksesan jama’i (kolektif).

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apa saja pilar-pilar yang diperlukan sehingga kesuksesan jama’i terbangun? Tentu jawabannya tidak sesederhana membalik telapak tangan. Hal pertama yang rumit adalah karena kesuksesan jama’i (kolektif) melibatkan banyak orang, dengan pemikiran, ide, bahkan kepentingan yang berbeda-beda. Apalagi jika kepentingan itu dikuasai oleh tendensi egoistik dari masing-masing pelaku, akan semakin pelik untuk membangun kebersamaan untuk membangun kesuksesan kolektif itu.

Kata kuncinya memang ada pada kebersamaan atau persatuan. Dalam bahasa Inggris kebersamaan (togetherness) juga disebut “unity” (kesatuan) dan bukan “uniformity” (penyeragaman). Dalam bahasa agama Islam juga justeru lebih dikenal dengan “wihdah” (kesatuan) dan bukan “menyamakan”. Tapi mungkin bahasa yang lebih dikenal adalah membangun “shoff” (barisan) atau juga membangun jamaah (kolektivitas).

Semua kata yang menggambarkan kebersamaan maupun kesatuan di atas tidak sama sekali mengingkari atau menghilangkan kemungkinan adanya keragaman di dalamnya. Makanya wajar saja jika di dalam Islam perintahnya bukan menyamakan atau menyeragamkan, tapi mempersatukan (tauhiid). Bahkan ketika Allah SWT menggambarkan kedekatan hubungan hati antar anggota umat ini Allah SWT tidak menyebutkan “wahhada” (menyatukan), apalagi menyamakan. Tapi justeru yang dipakai adalah “allafa baena quluubikum” (menjinakkan di antara hati-hati kalian).

Semua di atas menggambarkan bahwa kebersamaan, persatuan dan kesatuan sangat bisa terwujud dengan segala keragaman dan perbedaan yang ada. Motto “Bhinneka Tunggal Ika” (bersatu dalam keragaman) itu adalah esensi keimanan dalam Islam. Karena Islam menggariskan bahwa dalam iman sekalipun Allah SWT tidak pernah menjadikan semua manusia sama. Akan ada perbedaan-perbedaan itu hingga akhir zaman.

Lalu apa saja pilar-pilar dari terbangunnya kesuksesan kolektif itu? Berikut ada beberapa hal yang menjadi pilarnya.

Satu, visi benar dan sama.

Dalam hidup orang beriman, sejatinya memang hanya ada satu visi benar. Segala sesuatu yang lain dari itu adalah visi yang salah. Visi itulah yang akan mewarnai prilaku hidupnya. Benar tidaknya prilaku manusia ditentukan kemudian oleh benar salahnya visi yang dibangun.

Inilah yang disimpulkan dalam hadits nabi: “semua amal itu berdasarkan niatnya”.

Visi itu dalam bahasa agama adalah niat. Maka ketika berbicara tentang visi hidup seorang Mukmin, sejatinya adalah “lillahi ta’ala”. Yaitu hidup dengan pengabdian semata kepada Allah (ibadah lillah). Segala sesuatu yang terjadi di antaranya adalah proses ibadah. Makan, minum, usaha, kerja, pejabat, guru, bahkan tidur dan hubungan suami dan isteri …

 

*) Presiden Nusantara Foundation

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement