Senin 20 Nov 2017 16:27 WIB
Suara Mahasiswa

Pahlawan, Mahasiswa, dan Intelektual Organik

Tri Muryani
Foto: dokpri
Tri Muryani

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Tri Muryani*

Pahlawan sering dimaknai dengan seseorang yang berhasil meraih sesuatu melalui perjuangannya. Misalnya, generasi terdahulu yang berhasil meraih kemerdekaan bangsa Indonesia dan  membebaskan bangsa dari tangan penjajah. Selayaknya, perjuangan itu patut diapresiasi minimal dengan memberi gelar kepada mereka sebagai seorang pahlawan.

Dalam makna yang lebih luas, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Yudian Wahyudi, memaknai pahlawan dengan ciri khas seperti memerdekakan, mempersatukan, dan yang terakhir: membebaskan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang bersatu karena perbedaan, menjadi pahlawan berarti ia mampu memberi kontribusi untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Tanpa memecah-belah serta mempertahankan bangsa tetap berdaulat diiringi oleh keadilan dan kedamaian tanpa diskriminasi. 

Tentu jiwa kepahlawanan seperti ini semestinya dimiliki juga oleh pemuda, khususnya dari kalangan mahasiswa hari ini. Generasi yang sering disebut-sebut sebagai generasi yang dekat dengan teknologi. Khususnya mahasiswa, yang memiliki dua tanggung jawab sekaligus yakni sebagai pemuda dan sebagai kaum intelektual. Tanggung jawab utamanya tentu mengaktualisasikan keilmuannya untuk kesejahteraan masyarakat. 

Memang bukan mudah menjadi generasi teknologi dengan segala kemudahannya. Karena informasi yang masuk tanpa batas ruang dan waktu, mahasiswa sebagai generasi teknologi seringkali terbawa arus, bukan malah menciptakan arus. Apabila tidak mampu memanfaatkan teknologi informasi dengan baik, generasi hari ini cenderung akan menjadi objek informasi hoaks (berita palsu). Inilah yang seringkali menjadi pemicu lahirnya pemecah-belah bagi persatuan bangsa. 

Tantangan lain bagi generasi teknologi ialah sebutannya sebagai generasi menunduk. Minimnya kepekaan sosial generasi hari ini akibat dari terlalu banyaknya fokus yang diberikan kepada teknologi informasi berbasis internet. Sekali lagi, dunia maya yang membuat generasi hari ini menjadi generasi menunduk memang tidak selamanya memiliki nilai negatif. Akan menjadi positif apabila kita mampu memanfaatkan teknologi yang ada. 

Perlu adanya pemanfaatan kecanggihan teknologi oleh mahasiswa sebagai agen perubahan sekaligus agen kontrol sosial. Meminjam istilahnya Antonio Gramsci, seorang filsuf asal Italia, tentang intelektual organik. Bahwa kewajiban kaum terdidik dalam hal ini tidak hanya dalam ranah akademiknya, namun juga aktualisasinya kepada masyarakat sekitar.

 Bagi Gramsci, intelektual organik adalah para intelektual yang tidak sekedar menjelaskan kehidupan sosial dari luar berdasarkan kaidah-kaidah saintifik, tapi juga memakai bahasa kebudayaan untuk mengekspresikan perasaan dan pengalaman riil yang tidak bisa diekspresikan oleh masyarakat sendiri (Leszek Kolakowski, 1978: 240). Sehingga terlihat jelas bahwa kaum intelektual dalam hal ini mahasiswa menjadi bagian di dalamnya sangat berperan dalam menciptakan dan ikut andil untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Banyak cara bisa dilakukan, misalnya memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk membangun ekonomi masyarakat di sekitar pemukiman yang tingkat kesenjangan ekonominya sangat tinggi. Atau menciptakan ide kreatif untuk mempermudah jaringan bagi industri ekonomi kreatif melalui aplikasi. 

Apapun bisa dilakukan untuk mengaktualisasikan keilmuannya untuk kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya untuk diri sendiri atau menjadi objek teknologi, mahasiswa hari ini juga bisa menjadi pahlawan bangsa dengan menjadi intelektual organik sebagai bentuk aktualisasi dari keilmuannya. Menjadi pelopor persatuan, kesatuan, serta kedaulatan bangsa dalam segala bidang, baik ekonomi, politik, maupun budaya. 

 

*Mahasiswa Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement