Senin 13 Nov 2017 19:14 WIB

Dari 'Radikalis' Felix Siauw Hingga 'Kriminalis' OPM

Santi Sophia, Jurnalis Republika.
Foto: Republika
Santi Sophia, Jurnalis Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Santi Sopia, Jurnalis Republika untuk Isu-Isu Pertahanan dan Keamanan

Penolakan-penolakan ceramah tokoh Muslim tertentu di sejumlah daerah menjadi salah satu dampak digulirkannya Perppu Nomor 2/2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) oleh Menko Polhukam Wiranto, 19 Juli lalu. Sebut saja penolakan terhadap Ustaz Felix Siauw di Bangil, Pasuruan; Bachtiar Nasir di Tabligh Akbar Garut hingga Khalid Basalamah di Sidoarjo, Jawa Timur.

Salah satu di antaranya, Ustaz Felix, merupakan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), ormas yang dibubarkan pemerintah melalui Perppu Ormas. HTI dianggap anti-Pancasila karena ingin mendirikan negara Islam dengan mengusung konsep khilafah.

Efeknya, anggota-anggota HTI pun dilabeli "radikalis" pun tidak pancasilais. Peristiwa pengadangan tokoh-tokoh di sejumlah daerah itu pun seketika menjadi buah bibir dan mendapat komentar dari berbagai sisi. Satu sisi, komentar diplomatis pernah dilontarkan Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid.

Menurutnya, silaturahmi harus tetap senantiasa dikedepankan dan persoalan pengadangan ustaz-ustaz sebetulnya tidak perlu terjadi main hakim sendiri. Biarkanlah itu menjadi wilayahnya pihak berwenang seperti kepolisian. Ini mengingat telah disahkannya UU Ormas.

"Ada yang nyusup, ustaz tidak boleh ceramah, ada pengadangan-pengadangan," ujar HNW di sela acara sosialisasi 5 Pilar di Ma'had An-Nuaimy, Jakarta Selatan, 10 November lalu.

Dalam rentan waktu yang tak begitu lama pascapembubaran HTI, gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) kembali terjadi. Yang paling menyita perhatian, dikarenakan gerilya kelompok bersenjata tersebut cukup membuat aparat kesulitan, termasuk telah membuat anggota Brimob, Briptu Berry gugur tertembak di Tembagapura, Papua, 22 Oktober.

Menko Polhukam Wiranto saat ditanya tanggapannya, mengatakan gerakan OPM jelas tindakan kriminal. Tetapi, untuk menanganinya, kata Wiranto, diperlukan kehati-hatian yang besar. Kelompok bersenjata yang kini menyandra 1.300 warga Indonesia itu pun dianggap sebagai "kriminalis".

Terlepas itu, aparat kepolisian maupun TNI tidak menyangkal sulitnya menghadapi OPM. Terlebih, mereka juga disebut turut berbaur dengan masyarakat. Maka menjadi sulit memisahkan antara OPM dengan masyarakat. Belum lagi medan tempur yang tidak mudah.

Di sisi lain, ada fakta, sebagian publik tiba-tiba menarik benang merah antara dua kejadian ini, dampak Perppu Ormas dan gerakan bersenjata di Papua. Tak sedikit yang membandingkan, Muslim yang santun dicap "radikalis" dan diusir, sementara kelompok bersenjata di Papua hanya dianggap "kriminalis".

Ustaz Haikal Hassan cukup kencang mengkritik pengusiran sejumlah tokoh Muslim. Melalui akun media twitter-nya dia banyak menyinggung soal pancasila maupun kebhinekaan. "Katanya ente melindungi minoritas ya? Cina muslim spt @felixsiauw itu amat sangat minoritas lho...Mustinya ente lindungi..." tulisnya, 4 November.

Hidayat Nur Wahid masih saat berpidato di Ma'had An-Nuaimy juga seakan membandingkan dampak Perppu Ormas ini dengan gerakan separatis di Papua. Dia mengamini bahwa gerakan di Papua perlu menjadi perhatian serius. Tidak hanya bagi aparat, tetapi juga kembali menjadi catatan pemerintah soal kesejahteraan rakyat Papua.

Sehingga, tidak ada lagi alasan bagi mereka berkoar memisahkan diri dengan NKRI. Ini terlepas dari motif politis yang juga terendus Kapolda Papu Irjen Pol Boy Rafli Amar.

Menurut Hidayat, itu menjadi tindakan separatis terbuka dan telah nyata-nyata menantang TNI-Polri, Indonesia. Hidayat berpendapat, gerakan di Papua itulah yang justru makar, bertentangan dengan Pancasila.

Bagaimana pun kedua kejadian dalam waktu berdekatan ini boleh jadi tidak saling bertaut. Tetapi kalau sudah meyangkut masalah pancasilais dan tidak pancasilais, banyak yang beropini soal "mengadili pikiran".

Paling tidak, alasan mengadili pikiran ini juga menjadi dalil pengajuan peninjauan kembali (judicial review) gugatan Perppu Ormas sebelumnya ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang salah satunya dipelopori Pakar Hukum Tata Negara sekaligus mantan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan, Yusril Ihza Mahendra.

Kebijakan UU Ormas pun hingga kini masih menjadi kontroversi. Tak terkecuali di Gedung Kura-Kura, Parlemen Senayan, tiga fraksi: PAN, Gerindra dan PKS tegas menolak. Sementara Demokrat menuntut revisi dan meminta pemerintah jangan "bertangan besi". Waketum Demokrat Roy Suryo bahkan menyinggung para menteri yang berasal dari partai politik.

Apapun itu, berkali-kali Menko Polhukam Wiranto, Menkum HAM Yasonna H Laoly, maupun Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan pemerintah tidak semena-mena melalui UU Ormas. Dan tentu saja, alat Undang-Undang ini juga diklaim bukan khusus ditujukan bagi Ormas Islam.

Menko Polhukam Wiranto beserta jajaran kementerian di bawahnya kompak menegaskan pembubaran ormas melalui Perppu tentu telah melewati pengamatan yang panjang. Mendagri juga menjamin tidak akan ada lagi pembubaran Ormas.

Lantas, bagaimana selanjutnya peran maupun efek domino dari UU Ormas ini? Benarkah janji-janji tersebut? Atau bagaimana pula operasi yang dilakukan untuk mengatasi gerilya di Papua? Mari kita tunggu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement