Senin 13 Nov 2017 06:33 WIB

2018 Krisis Ekonomi Lagi?

Iman Sugema
Foto: Republika/Da'an Yahya
Iman Sugema

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema

Beberapa kalangan ekonom meramalkan akan adanya kemungkinan krisis ekonomi yang akan melanda Indonesia. Logikanya teramat sederhana, ada siklus krisis 10 tahunan. Pada 1998, Indonesia mengalami krisis moneter yang dimulai dengan merosotnya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

Krisis ini begitu hebatnya sehingga membangkrutkan swasta besar dan pada akhirnya, pemerintah dipaksa untuk bertekuk lutut di bawah IMF. Sepuluh tahun kemudian, 2008, kita juga terkena imbas sub-prime mortgage crisis. Kali ini, kita tidak terlalu terjerembap. Pertanyaannya, apakah di 2018 akan ada krisis lagi. Berikut adalah jawabannya.

Krisis biasanya tidak terjadi begitu saja, selalu ada sebab musababnya. Kalau ada ritual 10 tahun, itu hanya kebetulan. Beberapa kelemahan struktural yang umumnya menjadi penyebab krisis adalah kerentanan di sektor keuangan seperti terlalu tingginya utang, baik pemerintah maupun swasta, melemahnya harga komoditas ekspor utama, pelarian modal secara besar-besaran dan serentak, dan ringkihnya sektor perbankan. Semua hal di atas terjadi pada 1998.

Pada 2008, sektor perbankan di Amerika dan Eropa kolaps, sementara di Indonesia cukup baik kecuali dua bank, yakni Bank Century dan Bank IFI. Pelarian modal pun hanya terjadi sebentar dan dalam skala yang relatif kecil. Melihat pengalaman seperti itu, saya yakin tidak ada masalah domestik yang perlu menimbulkan kekhawatiran luar biasa.

Sektor perbankan relatif berkinerja baik, kecuali satu dua bank kecil yang kinerja keuangannya agak mengkhawatirkan. LPS masih sanggup menangani bank tersebut. Harga komoditas saat ini mulai merangkak naik secara perlahan. Memang ada sedikit kekhawatiran dari sisi utang pemerintah, tapi itu pun dapat dikendalikan secara pre-emptive.

Utang pemerintah memang meningkat tajam dari sisi nominal dan rasio cicilan bunga serta pokok mendekati tidak sehat. Lebih dari seperempat penerimaan negara dipakai untuk mencicil utang. Jadi risiko terbesar adalah refinancing risk.

Pemerintah akan kesulitan membayar kembali utang bila tiba-tiba pasar surat berharga mengalami penciutan besar-besaran. Itu bisa terjadi kalau ada pelarian modal secara besar-besaran. Tapi itu pun ada jalan keluarnya, yakni konsolidasi fiskal secara realistis.

Sampai saat ini, Kementerian Keuangan selalu kedodoran dalam memenuhi target pajak. Akibatnya, utang dijadikan andalan untuk menutupi kekurangan pemasukan negara. Untuk mengatasi hal seperti ini perlu tiga langkah yang secara gradual dilakukan.

Pertama adalah mengendalikan defisit selalu di bawah 1,9 persen dari PDB selama lima tahun berturut-turut dalam situasi sesulit apa pun. Ini berfungsi untuk mengendalikan pembayaran utang pemerintah tetap berada di ambang yang sehat dan berkesinambungan. Target jangka panjangnya adalah menurunkan rasio cicilan berada di bawah 20 persen dari penerimaan negara.

Kedua, melakukan reformasi perpajakan yang lebih komprehensif, terutama di beberapa area yang sangat memungkinkan bagi negara untuk melakukan perluasan. Salah satu ciri negara modern adalah efektivitas penarikan pajak pendapatan pribadi. Tentu ini tidak bisa dilakukan secara sekonyong-konyong dalam waktu yang singkat. Basis pajak secara akurat perlu diperluas, terutama di pekerja sektor formal.

Secara perlahan, melalui digitalisasi perekonomian akan terjadi formalisasi sektor informal. Sejalan dengan berkembangnya e-commerce, penarikan pajak penjualan, dan nilai tambah akan menjadi lebih mudah. Setiap transaksi akan meninggalkan digital footprint.

Dari situ kita dapat melacak setiap transaksi keuangan secara transparan, mulai dari payroll, perkembangan penjualan, dan transaksi penambahan nilai dari setiap aktivitas perekonomian. Inti dari reformasi pajak adalah interkoneksi digital antartransaksi.

Ketiga, tampaknya perlu dilakukan pengendalian terhadap pengeluaran pemerintah pusat terutama di dua sisi, yakni rasionalisasi subsidi dan pengalihan beban pembangunan infrastruktur. Subsidi energi tampaknya perlu ditekan lebih rendah lagi sampai ambang berada di bawah setengah persen dari PDB.

Mumpung harga minyak belum melesat tajam, kita harus secara dini melepas sebagian subsidi terutama yang salah sasaran. Pembangunan infrastruktur tentunya tidak boleh berkurang bahkan harus senantiasa ditingkatkan. Salah satu caranya adalah melalui penugasan kepada BUMN untuk mencari pendanaan secara mandiri.

Infrastruktur kelistrikan, jalan tol, pelabuhan, dan bandara dapat sepenuhnya dibiayai BUMN melalui sekuritisasi asset. Bahkan, penguatan modal tidak harus dari pemerintah karena BUMN yang sehat dapat menerbitkan sub-debt.

Tampaknya kalau langkah-langkah tersebut dapat ditempuh secara konsisten, kerentanan keuangan pemerintah dapat dikurangi secara gradual. Maka dari itu, hampir tak ada yang harus dikhawatirkan tentang krisis 2018.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement