Ahad 12 Nov 2017 05:00 WIB

Kepahlawanan dan Tantangan Bangsa

KH. Didin Hafidhuddin
KH. Didin Hafidhuddin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Bangsa Indonesia baru saja memperingati Hari Pahlawan 10 November 2017 pada hari Jum’at dua hari yang lalu. Sebagaimana diketahui, bahwa sejarah peringatan Hari Pahlawan tak dapat dipisahkan dari peristiwa perlawanan serentak rakyat Indonesia di kota Surabaya dalam membela kemerdekaan yang mencapai puncaknya tanggal 10 November 1945. “Kehormatan Republik Indonesia dipertaruhkan di Surabaya.” ungkap almarhum Bung Tomo selaku pimpinan pemberontak rakyat Indonesia dan Arek-Arek Suroboyo yang menggelorakan semangat melawan penjajah dengan kalimat takbir Allahu Akbar dalam pidato bersejarah melalui siaran radio. Peristiwa 10 November 1945 tak dapat dipisahkan dari pengaruh Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh hadratusy syaikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. 

Generasi sekarang patut mengenang dan meneladani kepahlawanan Bung Tomo sebagai  bagian dari pembudayaan sikap bela negara. Pahlawan nasional Bung Tomo yang wafat saat wukuf di Padang Arafah ketika menunaikan ibadah haji tahun 1981 itu adalah pejuang sejati. Ia telah memberikan pengorbanan dan jasa-jasa yang luar biasa kepada bangsa dan negara. Bung Tomo dikenang sebagai tokoh yang iqtiqamah dalam membela kebenaran, keadilan, kejujuran, membela kepentingan rakyat kecil, sesuai panggilan nurani dan ajaran Islam yang diyakininya. 

Kepahlawanan sebagaimana praktik yang dicontohkan oleh para pejuang bangsa dan agama di masa lampau, tidak hanya sekadar semboyan, melainkan perbuatan. Dalam konteks pembangunan karakter bangsa yang belakangan ini menjadi fokus perhatian dalam pengembangan kurikulum pendidikan nasional, kita prihatin menyimak hasil berbagai survei yang mensinyalir buruknya pemahaman dan wawasan “generasi milenial” yaitu mereka yang berusia antara 17 sampai 38 tahun tentang pahlawan bangsa. Pemahaman seputar perjuangan kemerderkaan bangsa dan kepahlawanan sangat erat kaitannya dengan pemahaman terhadap jati diri bangsa dan cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI melalui perjuangan para syuhada, pahlawan dan pejuang Tanah Air.

Di samping itu, makna kepahlawanan tentu perlu diaktualisasikan dalam konteks menghadapi tantangan masa kini dan mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa saat ini. Seorang yang berjiwa pahlawan tidak akan rela menggadaikan masa depan negara dan bangsa dengan kepentingan pragmatis bersifat jangka pandek. Dalam kenyataan, tidak jarang ada orang yang dalam ucapan dan pengakuannya membela NKRI, mengabdi kepada negara dan membela kepentingan rakyat, namun berbeda antara ucapan, hati dan perbuatannya. 

Dalam hubugan ini, Islam mengajarkan tentang nilai keikhlasan bahwa setiap manusia ketika melakukan perbuatan baik, apakah sebagai pemimpin, penyelenggara negara, pelayan masyarakat dan di bidang profesi apapun seyogyanya ingat pada firman Allah Swt yang dinyatakan dalam Al Quran, “Janganlah kamu memberi (sesuatu) karena hendak memperoleh balasan yang lebih banyak (QS Al Muddatstsir [74]: 6). Seorang mukmin dan muslim melakukan perbuatan baik dengan lurus ikhlas mengharap balasan dari Allah.

 Kehidupan bangsa dan negara kita saat ini dan ke depan nanti penuh dengan ujian dan tantangan, di samping adanya peluang untuk meraih kemajuan dan perkembangan ke arah yang lebih baik. Untuk itu jiwa kepahlawanan wajib  dimiliki oleh semua pemimpin dan lapisan masyarakat. Nilai-nilai kepahlawanan akan lenyap jika suatu generasi hanya memikirkan apa yang bisa diperoleh dari negara, bukan memikirkan  apa yang mesti dberikan kepada negara dan rakyat.

Nilai-nilai kepahlawanan dalam makna yang sederhana tapi mendasar, dilukiskan oleh ulama dan ahli tafsir ash-syahid Sayyid Quthub dalam sebuah ungkapannya, “Orang yang hidup untuk dirinya sendiri, ia akan hidup kecil dan mati sebagai orang kecil. Sedangkan orang yang hidup untuk umatnya, ia akan hidup mulia dan besar serta tidak akan pernah mati kebaikannya.”

Idealisme sebagai manusia yang hidup bukan hanya untuk diri sendiri atau membela kepentingan keluarga dan kelompok sendiri tidak tumbuh seketika. Hal itu memerlukan sentuhan pendidikan sebagai penanaman sikap, kesadaran, rasa tanggungjawab serta kepedulian terhadap persoalan sosial di sekeliling kita. Menjadi manusia atau warga negara, yang berjasa dengan reputasi amal shaleh, sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat tidak hanya dapat dilakukan oleh orang-orang besar dan berkedudukan terpandang, tapi bisa dicapai oleh semua orang yang memiliki niat dan kesadaran baik. Rasulullah Saw bersabda , “Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesama manusia.” (HR Tabrani).

Sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi ajaran agama, seyogyanya kita menolak berkembangnya sikap hidup materialistis, individualistis, hedonis, maupun juga merebaknya budaya kekerasan dan fanatisme kelompok hingga menciderai ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah yang hanya fasih diucapkan di mulut. Nilai-nilai kepahlawanan yang diperingati tanggal 10 November setiap tahun tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja tanpa memberi dampak kepada generasi penerus.

Sementara itu kita perlu mencermati belakangan ini berkembangnya beragam isu yang dapat merugikan persatuan bangsa dan mengusik ketenangan hidup beragama. Cukup banyak dewasa ini yang memanfaatkan isu Hak Asasi Manusia (HAM), pluralisme, multikulturalisme, kebudayaaan dan kearifan lokal, dan sebagainya secara berlebihan dan tidak proporsional, apalagi mengaitkan dengan konstitusi dalam penafsiran yang dangkal.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang dibacakan dalam sidang pada 7 November 2017 kemarin mengabulkan permohonan dari pemohon warga Penghayat Kepercayaan untuk diakui dan bisa mencantumkan di kolom agama yang terdapat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Petikan putusan MK berbunyi, “Menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 24/2013 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 232 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5475) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'."

Baiknya kita ingat bahwa putusan MK yang menyamakan status para penghayat aliran kepercayaan yang diakui sama hak dan kedudukannya dengan pemeluk agama di dalam administrasi kependudukan, dimana hal ini dikhawatirkan  berdampak lebih jauh ke dalam aspek yang lain, berbeda sekali dengan pandangan dan pemikiran para founding fathers negara yang merumuskan bunyi Undang-Undang Dasar 1945. Haji Agus Salim dalam buku Ketuhanan Y.M.E dan Lahirnya Pancasila (1977) mengemukakan ketika membuat Rancangan Pernyataan Kemerdekaan dan Preambule UUD 1945 di masa itu tidak ada di antara kita seorang pun yang ragu-ragu bahwa dengan pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu kita maksudkan ‘aqidah, kepercayaan agama.

Begitu pula pengertian negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (2), proklamator kemerdekaan Dr. H. Mohammad Hatta (Bung Hatta) semasa hidupnya menegaskan bahwa kata “kepercayaannya”, jelas ditujukan kepada kata agama, maksudnya kepercayaan daripada agama itu, bukan kepercayaan di luar agama.

Dampak dan implikasi “aliran kepercayaan” disamakan dan disetarakan dengan “agama” akan sangat besar sekiranya disikapi secara gegabah. Bahkan bisa melebihi kebijakan pemerintahan Orde Baru yang memasukkan aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara). Dalam masalah ini, dapat dibaca kembali bagaimana tanggapan dan pendirian MUI (Majelis Ulama Indonesia), sikap organisasi-organisasi Islam, organisasi mahasiswa seperti HMI, partai politik Islam (saat itu PPP) yang menolak politik Orde Baru menyangkut Aliran Kepercayaan menjelang Sidang Umum MPR tahun 1978. Fraksi PPP sampai melakukan walk out dalam Sidang Umum MPR 1978 karena menentang dimasukkannya Aliran Kepercayaan ke dalam GBHN dan menyejajarkannya dengan agama. 

Kegigihan Ketua Umum MUI saat itu almarhum Buya Prof Dr Hamka menyampaikan suara hati ulama kepada Presiden Soeharto berkenaan dengan isu Aliran Kepercayaan yang menimbulkan pro-kontra saat itu. Kaum penghayat Kepercayaan dari dulu tidak mau diakui sebagai agama, tetapi menuntut hak-hak yang sama dengan umat beragama. Mereka meminta pengakuan negara atas perkawinan di luar hukum agama, tata cara melakukan sumpah jabatan sendiri, tata cara penguburan, dan sebagainya.

Umat Islam di masa itu merasa sedikit “lega” dan diperhatikan aspirasinya setelah Menteri Agama Letjen TNI (Purn) H Alamsjah Ratuperwiranegara mengambil kebijakan bahwa Departemen Agama hanya mengurus agama, tidak mengurus Aliran Kepercayaan yang merupakan kebudayaan itu. Aliran Kepercayaan akhirnya berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sikap yang diambil Menteri Agama itu merupakan penjabaran dari petunjuk Presiden Soeharto bahwa Aliran Kepercayaan bukan agama dan tidak disamakan dengan agama. Kita berharap sikap semacam itu diperlihatkan oleh para pejabat muslim di masa kini yang diberi amanah dan kepercayaan menjaga kepentingan umat dan bangsa. Setiap jabatan adalah amanah dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt di Mahkamah Yaumil Akhir.      

Semoga makna dan nilai-nilai kepahlawanan serta  kepekaan terhadap aspirasi umat senantiasa tertanam dalam kehidupan bangsa Indonesia. Lebih dari itu, diharapkan mewarnai kebijakan para pemimpin dan penyelenggara negara, demi kemaslahatan kita bersama. Kemerdekaan bangsa dan negara telah diraih dan dipertahankan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, dalam mengisi kemerdekaan, pengakuan terhadap kedudukan agama yang fundamental bagi kelangsungan kehidupan bangsa dan negara adalah sangat penting dan mutlak sebagai sandaran dan solusi dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan bangsa dewasa ini. Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement