Kamis 09 Nov 2017 12:05 WIB

Adakah Pahlawan tanpa 'Bedil'

Bung Tomo
Foto: Youtube
Bung Tomo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arnaz Firman *)

Jika menjelang tanggal 10 November, maka yang seharusnya muncul pada pikiran seluruh orang Indonesia adalah mengenang kejadian bersejarah di Tanah Air, khususnya di Surabaya, saat begitu banyak orang berusaha mengusir penjajah pada 10 November tahun 1945 di ibu kota Provinsi Jawa Timur itu. Nama Bung Tomo atau Sutomo pada 10 November 1945 itu begitu terkenal karena merupakan salah satu pemuda di sana yang begitu mati-matian mendorong para pemuda setempat untuk mengusir penjajah yang sudah begitu lama bercokol di Tanah Air.

Penjajah Belanda itu, akhirnya bisa diusir setelah melalui perjuangan secara fisik atau bersenjata dan juga lewat perjuangan diplomasi. Melalui perjuangan para pemuda di Surabaya dan juga seluruh generasi muda puluhan tahun yang lalu itu, akhirnya kini sekitar 252 juta orang Indonesia sudah bisa menarik napas lega karena tidak ada lagi penjajahan secara fisik di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Bangsa Indonesia sudah menjadi tuan rumah di wilayah yang terbentang dari Sabang, Provinsi Aceh hingga Merauke, Papua. Jika dahulu selama ratusan tahun orang Indonesia mati-matian berusaha mengusir penjajah mulai dari Belanda, Portugis, Inggris hingga Jepang maka kini kewajiban orang-orang di Tanah Air adalah menghapus atau mengurangi semaksimal mungkin kemiskinan sehingga bisa semakin banyak orang hidup sejahtera dan tak ada lagi kelompok masyarakat prasejahtera.

Apabila selama ratusan tahun, orang-orang di Tanah Air mengangkat bambu runcing, panah, sumpit dan berbagai senjata tradisional lainnya untuk mengusir para penjajah maka seharusnya sekarang tugas bangsa ini adalah bagaimana menghapus kemiskinan sehingga sekarang dan pada masa mendatang bangsa ini bisa dan sanggup benar-benar setara dengan orang Amerika, Inggris, Prancis, Jepang, Cina dan bangsa lain dari manapun juga.

Jadi, tugas orang-orang Indonesia sekarang dan masa mendatang adalah bagaimana membangun bangsa ini menjadi bangsa dan negara yang besar, mandiri dan tidak bergantung kepada orang asing walaupun kerja sama dengan pihak lain atau negara lain merupakan hal yang tak terelakan.

Jika, dahulu begitu banyak pahlawan yang begitu populer dan dihormati mulai dari Imam Bondjol, Pangeran Diponegoro dan Tjut Nyak Meutiah yang secara fisik mengangkat senjata hingga Bung Karno dan Bung Karno yang berjuang secara politik dan diplomasi, maka sekarang pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana cara berjuang masa kini dan masa mendatang?

Masih haruskah kita berjuang dengan bambu runcing, panah lengkap dengan busurnya dan karena sekarang sudah zaman modern dengan panser, tank, peluru kendali, bahkan drone ataukah sudah harus beralih dengan komputer, telepon seluler dan sejenisnya?

Jika dulu, Bangsa Indonesia harus berdarah-darah mengusir para penjajah maka pertanyaan sekarang adalah siapakah musuh bangsa ini?

Masih adakah bangsa asing yang harus diusir dari Tanah Air ataukah musuh bangsa ini sekarang dan pada masa mendatang adalah "oknum-oknum" Bangsa Indonesia sendiri yang tahunya cuma mau memperkaya diri sendiri dan kelompoknya tanpa mempedulikan saudara sebangsa dan setanah airnya?

Tanpa bedil

Ratusan tahun, Bangsa Indonesia mengusir para penjajah terutama orang-orang Belanda yang semula mencari rempah-rempah disini namun kemudian menjajah secara politik, dengan menerapkan politik "devide et impera" atau pecah belah.

Akibatnya, sesama bangsa ini cakar-cakaran dan para penjajahlah yang menarik keuntungan secara material dan politis, karena berhasil atau "sukses" membuat bangsa ini bunuh-bunuhan.

Masa kelam itu tentu sudah berlalu. Akan tetapi pertanyaannya adalah kenapa sampai sekarang bangsa ini acapkali "gontok-gontokan" yang cuma merugikan diri.

Contoh di Daerah Ibu Kota Jakarta adalah ditutupnya sebuah hotel terkenal oleh Gubernur Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno yang disebut-sebut dimiliki atau dicukongi oleh seorang pengusaha kelas kakap. Hotel yang dilengkapi fasilitas mandi sauna atau panti pijat dan sejenisnya "dibela mati matian" oleh segelintir "oknum" dengan dalih fasilitas itu mampu menampung pekerja sekitar 600 orang serta mendatangkan pajak ratusan miliar rupiah tiap tahunnya.

Padahal, pemikiran mendasar Anies dan Sandiaga adalah ingin menghapus citra atau kesan bahwa hotel itu identik dengan kemesuman ataupun hal yang bercitra dosa karena bertentangan dengan agama yang manapun juga. Belum lagi soal dugaan korupsi proyek raksasa pembuatan kartu tanda penduduk elektronik yang korupsinya sangat "aduhai" sekitar Rp2,3 triliun dari nilai total proyeknya sekitar Rp 5,9 triliun. Bagaimana mungkin "penghuni" gedung parlemen di Senayan Jakarta sampai tega-teganya merampok tanpa malu sedikitpun uang rakyat itu bersama segelintir pengusaha?

Belum lagi adanya gubernur, bupati dan wali kota yang harus "menikmati" tempat tidur di sel-sel Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK karena mereka diduga atau bahkan sudah terbukti melakukan korupsi. Oknum anggota DPR saja ada yang terlibat kasus yang nilainya miliaran rupiah padahal anggaran itu disiapkan untuk membuat atau mencetak kitab suci Al Quran.

Dengan melihat atau merenungkan setumpuk tindak korupsi dan penyalahgunaan jabatan itu, maka pertanyaan yang patut muncul dalam benak seluruh orang Indonesia saat ini dan masa mendatang adalah apakah masih layakkah Hari Pahlawan 10 November tetap diperingati?

Pertanyaan ini patut direnungkan karena masih adakah politisi, pejabat pemerintah, tokoh organisasi kemasyarakatan alias ormas, pengusaha yang pantas untuk diangkat sebagai pahlawan masa kini untuk menggantikan Bung Tomo dan rekan- rekannya yang mengorbankan jiwanya pada 10 November 1945?

Bangsa Indonesia sekarang dan pada masa mendatang tentu tidak boleh lagi dijajah secara fisik oleh bangsa dan negara yang manapun juga sehingga tentu bisa dibilang tidak ada lagi pahlawan yang mengorbankan dirinya secara fisik dalam arena pertempuran.

Karena itu, yang mungkin sangat dibutuhkan sekarang adalah para pemuda yang siap atau sudi mengorbankan dirinya untuk berjuang membantu rakyat keluar dari status prasejahtera, kemiskinan atau apapun istilahnya sehingga di Tanah Air praktis tidak ada lagi gelandangan atau orang miskin karena sudah menjadi warga negara yang kehidupannya layak seperti halnya seorang pengusaha yang mapan atau konglomerat.

Adakah pemuda dan pemudi kini yang sudah layak diberi gelar pahlawan bagi Bangsa Indonesia?

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement