Selasa 31 Oct 2017 01:00 WIB

Refleksi 3 Tahun Pembangunan Infrastruktur Maritim

Tol Laut. ilustrasi
Tol Laut. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh : Robin Bahari *)

Sudah tiga tahun berlalu masa kepemimpinan Presiden Jokowi, namun misi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia belum jelas kemana arahnya. Di tengah klaim pemerintah mengenai alokasi anggaran pembangunan infrastruktur secara besar-besaran justru tidak berbanding lurus dengan realisasinya di lapangan, paling tidak hal itu terlihat dari data tahun 2016 peringkat infrastrukur Indonesia cenderung tidak mengalami banyak perubahan sejak 2014 yakni stagnan pada peringkat 56. Lalu bagaimana dengan pembangunan infrastruktur maritim yang sejak lama sudah digaungkan oleh presiden jokowi?

Menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia adalah salah satu “tagline” utama pada masa kampaye pilpres tiga tahun lalu, secara tidak langsung telah kembali menggugah kesadaran akan potensi maritim yang dimiliki oleh bangsa indonesia yang sudah sejak lama terabaikan akibat kebijakan yang “memunggungi lautan”. Kondisi tersebut membuat belum maksimalnya pemanfaatan beberapa sektor strategis nasional seperti kelautan dan perikanan yang alih-alih menjadikan Indonesia maju dan berkembang berbasis maritim justru membawa bonus geografi ini menjadi seperti sebuah kutukan.

 

Ternyata, pada 2016 yang lalu, kita dihebohkan dengan impor ikan yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan atas rekomendasi dari Kementrian kelautan dan perikanan terkait langkanya stok ikan untuk industri pengalengan. Padahal, dengan luas laut mencapai 5,7 juta km per segi serta klaim menteri KKP akan stok ikan nasional yang meningkat drastis dari 6,5 juta ton per tahun menjadi 9,9 juta ton per tahun, tentunya tidak akan sulit untuk memenuhi kebutuhan ikan secara nasional. Namun faktanya, kegiatan importasi ikan tidak dapat dihindari.

Jika melihat secara seksama permasalahan akut mengenai distribusi bahan baku perikanan seperti penyakit kronis yang susah untuk dihindari yaitu rendahnya konektivitas. Secara sederhana konektivitas logistik perikanan akan menjadi sangat penting ketika stok perikanan yang tinggi di wilayah timur Indonesia (lumbung ikan nasional) menjadi tidak bermanfaat karena keterbatasan pasar. Namun, di sisi lain untuk mengangkut ikan hasil produksi dari wilayah timur Indonesia juga terkendala sarana dan prasarana logistik yang terbatas sehingga biaya operasional akan jauh lebih mahal ketimbang dengan mendatangkan ikan secara import.

Contoh lain misalnya, harga jeruk lokal lebih mahal 140 persen dibandingkan jeruk Tiongkok, atau harga gula lokal yang lebih tinggi hingga 95 persen dari gula impor. Secara rata-rata perbedaan mencapai 23 persen. Perbedaan tersebut semakin tinggi pada kota-kota yang lebih jauh ke timur, seperti di Ambon, Maluku, satu kilogram tepung yang dikirim dari Surabaya harganya dapat mencapai Rp 10 ribu per kilogram (Jurnal Maritim).

Permasalahan ini juga tergambar jelas dari data Kementerian Keuangan 2016 mengenai distribusi PDB antar wilayah, dimana kontribusi Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia bagian barat mencapai 81,24 persen dengan rincian pulau jawa 57,86 persen dan pulau Sumatera 23,88 persen. Sedangkan kontribusi PDB untuk Indonesia bagian timur hanya mencapai 18,76 persen dengan rincian Kalimantan 8,93 persen, Sulawesi 4,61 persen, Nusa tenggara 2,55 persen,  dan Papua 2,33 persen.

Data tersebut menunjukan perputaran ekonomi masih terjadi sebagian besar di wilayah Jawa dan Sumatera. Salah satu alasan terjadinya disparitas ekonomi antar wilayah di Indonesia adalah konektivitas yang ditandai dengan tingginya biaya logistik yang menimbulkan praktik ekonomi biaya tinggi. Biaya logistik Indonesia masih mencapai 24,6 persen dari PDB. Artinya, dari nilai akhir produk yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di Indonesia dalam waktu satu tahun, 24,6 persen darinya merupakan komponen biaya logistik. Angka tersebut sangat tinggi jika dibandingkan rata-rata negara ASEAN yang hanya mencapai 18 persen.

Pembangunan setengah hati

Untuk menjawab persoalan di atas pembangunan infrastruktur maritim menjadi jalan keluar yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab moril dan kampanye kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pembangunan maritim harus didukung oleh perencanaan dan regulasi yang konprehensif, anggaran yang cukup dan berkelanjutan serta pencapaian atau realisasi yang terukur.

Konektivitas antar wilayah di Indonesia merupakan tulang punggung dari pembangunan maritim sebab dengan menjaga konektivitas akan memudahkan proses distribusi barang dan jasa secara lebih luas dan tepat waktu. Seperti halnya kebijakan Presiden SBY ketika menyusun cetak biru sistem logistik nasional melalui Perpres 26/2012 kemudian berkembang dan diadopsi secara sektoral. Seperti Sistem Logistik Ikan nasional (SLIN) oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan serta gagasan pendulum nusantara oleh Kementrian perhubungan.

Setali tiga uang dengan Presiden Jokowi juga mengeluarkan kebijakan dengan membentuk Kementerian Kordinasi Bidang Maritim dan Sumberdaya yang membawahi empat kementrian teknis yaitu Kementrian Kelautan dan Perikanan, Kementrian Pariwisata, Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN. Dari beberpa program unggulan yang cukup menyita perhatian adalah gagasan mengenai tol laut yang ditandai dengan terbitnya Perpres no 106/2015 tentang penyelenggaraan kewajiban pelayanan publik untuk angkutan barang di laut fungsinya adalah sebagai payung hukum pelaksanaan tol laut.

Implikasi dari program tol laut tersebut muncul beberapa program utama seperti pengadaan kapal ternak, kapal penghubung Jetliner milik Pelni dan program pembangunan pelabuhan yang akan dilewati tol laut. Namun, dari pengamatan penulis kebijakan tersebut ternyata belum menjadi obat mujarab dalam mengatasi ketimpangan harga komoditas antar wilayah (khususnya wilayah timur Indonesia) secara konsisten, dimana selama periode 2015-2016 harga-harga bahan makanan pokok seperti beras, daging sapi, telur dan minyak goreng masih terdapat perbedaan harga yang cukup tinggi antar wilayah, terlihat dari data kementrian perdagangan 2016 harga beras, minyak goreng dan daging sapi masih jauh diatas harga nasional khususnya Jayapura, Manokwari, dan Kupang (http://ews.kemendag.go.id/).

Kondisi ini menunjukkan belum efektifnya pelaksanaan program pemerintah dalam mereduksi harga antar daerah khususnya harga pangan seperti yang telah diklaim selama ini. Selain itu, penulis melihat, ada yang keliru dalam pola pembangunan infrastruktur yang dalam tiga tahun terakhir masa pemerintahan Presiden Jokowi terutama jika dikaitkan dengan visi dan misi menjadikan Indonesia sebagai Poros maritim dunia, bisa dikatakan pemerintah memasang target pembangunan maritim yang terlalu tinggi namun tidak diikuti dengan realisasinya di lapangan. Sebagai contoh, kebijakan mengenai anggaran pembangunan sektor maritim, menurut perhitungan tim transisi presiden jokowi pembangunan sektor maritim membutuhkan dana sekitar 2000 Triliun dalam 5 tahun dengan alokasinya diutamakan dalam membangun dan mengembangkan 24 pelabuhan tol laut serta 84 pelabuhan perintis di Indonesia timur.

Baca Juga: http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis-global/14/10/22/ndu0k4-butuh-rp-2000-triliun-untuk-pembangunan-tol-laut.

Akan tetapi seiring berjalannya waktu program pembangunan pelabuhan utama jumlahnya terus menurun menjadi 7 pelabuhan sampai dengan saat ini pemerintah justru hanya fokus membangun pelabuhan Kuala tanjung (Rp 30 triliun) dan Bitung (Rp 34 triliun) itupun perkembangannya terkesan sangat lambat dikarenakan penganggaran pembangunan pelabuhan baru masuk pada APBN 2016 sedangkan pada APBN 2017 pemerintah memprogramkan membangun 61 pelabuhan yang realisasinya masih sangat rendah hal ini belum termasuk dengan pengadaan kapal dan sarana prasarana logistik lainnya.

Performa infrastruktur maritim terus menurun

Selain belum dapat menekan harga komoditas secara konsisten performa logistik Indonesia juga mengalami penurunan yang cukup tajam. Menurut data Bank Dunia melalui Logistic Performance Index (LPI) tahun 2014, Indonesia menempati urutan 53, Vietnam 48, Thailand 35, Malaysia 25 dan Singapura 5 sedangkan  pada tahun 2016 posisi Indonesia melorot diposisi ke 63 atau turun 10 peringkat. Artinya selama dua tahun terakhir, belum banyak perubahan yang dilakukan untuk membenahi struktur logistik nasional.

Perlu diketahui bahwa penempatan urutan LPI tersebut berdasarkan 6 kategori utama yaitu 1) kepabeanan (Custom), 2) Infrastruktur, 3) kemudahan mengatur pengapalan internasional, 4) kompetensi logistik dari pelaku dan penyedia jasa lokal, 5) pelacakan (tracking and tracing), dan 6) biaya logistik dalam negeri dan waktu antar. Dari data Bank Dunia menunjukan kelemahan Indonesia terletak pada performa logistik yaitu Customs (bea dan Cukai), Infrastruktur, dan International Shipments. Sedangkan untuk logistics competence, tracking & tracing serta timeliness performanya sudah cukup membaik.

Maka, untuk meningkatkan performa tersebut diperlukan grand design dan aksi nyata pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan bertaraf internasional yang terintegrasi dengan fasilitas jalan raya, rel kereta api bahkan terintegrasi dengan bandara. Namun sekali lagi sampai 2016 pemerintah belum menyelesaikan pembangunan satu pelabuhan pun. Sehingga, penurunan performa logistik nasional dinilai cukup beralasan.

Hal ini juga terlihat pada quick win pembangunan infrastruktur dalam APBN 2016, meskipun infrastruktur menempati urutan pertama dalam pagu APBN. Namun, sangat disayangkan pembangunan infrastruktur maritim belum menjadi perhatian utama dalam porsi pembangunan infrastruktur  justru pembangunan infrastruktur darat tetap menjadi primadona pemerintah.

Penutup

Sudah saatnya pemerintah membangun infrastruktur maritim secara konsisten dan terencana dengan baik, seperti halnya yang dilakukan dibeberapa negara maju seperti Jepang dan Norwegia dengan tingkat pemanfataan transportasi lautnya lebih dari 48 persen. Sebagai gambaran pembandingnya antara Jakarta-Surabaya 90 persen moda transportasi yang digunakan adalah transportasi darat dan hanya 9 persen menggunakan transportasi laut. Implikasinya, terlihat jelas pada pola pengakutan barang dan orang lebih dari 70 persen dilakukan menggunakan transportasi darat sehingga dengan masih lemahnya infrastruktur jalan di Indonesia dipastikan efektivitas distribusi barang dan pengangkutan orang masih akan terganggu. Sebagai penutup penulis mengutip ungkapan presiden Soekarno dalam National maritime convention I tahun 1963, "National Building To build Indonesia becomes A great nation, a powerful nation, a wealthy nation and a tranquil nation, Nation can be powerful, only if it controls the ocean: “ To control the ocean, we must control sufficient fleet”.

Salam Maritim

*) Dosen Universitas Muhammdadiya Sukabumi, Kandidat Doktor di Institut Pertanian Bogor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement