Jumat 27 Oct 2017 01:00 WIB

Kisah Ibrahim di Persoalan UU Ormas

Sebelas Ormas Islam Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Kerjasama Ormas-Ormas Islam (Formasi) menyayangkan disahkannya perppu ormas oleh DPR RI.
Foto: Republika/Djoko Suceno
Sebelas Ormas Islam Jawa Barat yang tergabung dalam Forum Kerjasama Ormas-Ormas Islam (Formasi) menyayangkan disahkannya perppu ormas oleh DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yuli Isnadi *)

Pengesahan UU Ormas telah membawa imajinasi surut jauh ke masa lalu. Penulis seolah tengah berdiri menyaksikan sepotong kejadian di negeri Ur, di mana Naram Sim atau Namrud tengah mengadili Nabi Ibrahim. Seorang pemuda, sekira 14-16 tahun, pengkritik pemberhalaan patung, dihukum langsung oleh raja tanpa proses peradilan.

Episode yang dikisahkan Alquran itu tengah terjadi di negeri ini. Bedanya hanyalah satu, mayoritas penduduk kali ini bukanlah penyembah berhala. Selain dari itu, relatif sama. Penguasa yang telah lama akrab dengan berhala-berhala pembangunan yang menindas mampu menghukum pejuang-pejuang yang memiliki semangat Nabi Ibrahim yang anti akan hal itu.

Dulu Namrud tentu tidak membutuhkan semacam Perppu atau UU untuk menghukum yang tidak sesuai dengan seleranya. Tapi, di zaman modern ini, sudah barang tentu penguasa membutuhkan semacam legitimasi konstitusi, meski esensinya adalah tetap sama. Maka inilah UU Ormas, sebuah produk hukum yang memungkinkan penguasa dapat membubarkan ormas secara sepihak, tanpa peradilan, dan disertai ancaman penjara.

UU Ormas adalah pertempuran antara ketauhidan dan pemberhalaan, sekaligus mengguratkan rasa takut penguasa atas ketidakmampuan dalam membuktikan keberanaran atas perilaku pemberhalaan yang telah lama dirawat dan dijaga. Ketika berwujud Perppu, produk hukum ini lahir dalam suasana penertiban ormas-ormas yang dituduh hendak mengganti dasar negara Pancasila.

Sesuatu yang sangat mustahil terjadi. Hal yang senyatanya ada ialah ormas-ormas tersebut menggunakan kerangka analisa kritis untuk mengungkap ketidakadilan pembangunan. Penindasan yang diderita masyarakat akibat program reklamasi, pembangunan pabrik dan bandara, hingga alih fungsi lahan, adalah kasus-kasus pembangunan yang diungkap dan dipersoalkan. Ormas-ormas hadir untuk mengingatkan pesan ketauhidan yang sarat akan nilai keadilan ketika penguasa memberhalakan sejumlah program-program pembangunan yang menindas.

Perppu ormas sebagai embrio UU Ormas, juga lahir dari rasa takut penguasa akan ketidakmampuannya dalam mengendalikan dan melawan gerakan antipembangunan yang menindas. Berbeda dengan kota Ur, di negeri ini ada banyak calon ‘Nabi Ibrahim’. Aksi jutaan Muslim menuntut keadilan terhadap pengganggu kehidupan multikultural sudah dapat dipahami sebagai potensi besar dalam menciptakan ‘Nabi Ibrahim-Nabi Ibrahim’ tangguh.

Sejumlah aktivis yang telah bernalar dan berhati Nabi Ibrahim mulai gesit untuk mentransformasi potensi tersebut menjadi Islam yang progresif. Ini merupakan cara berislam di mana pemeluknya tidak lagi dapat dipisahkan dari realitas sosial. Mereka adalah yang sadar bahwa penindasan atas nama pembangunan bertentangan dengan Alquran, dan diam bukanlah sebuah anjuran. Kerenanya pula, ini merupakan ancaman terbesar bagi keberlangsungan pembangunan yang tidak berkeadilan.

Dalam konteks yang demikian, UU Ormas adalah puzzle terakhir dalam melengkapi kontrol penguasa. Kendali sosial telah dipasang dengan cara sowan sebanyak mungkin ke pondok pesantren berpengaruh. Islam yang mulai beralih menjadi progresif dan sadar akan realitas sosial didorong kembali untuk menjadi pasif dan acuh terhadap ketidakadilan pembangunan. Kontrol keamanan telah pula disiagakan dengan mengunjungi markas militer, memberi pesan singkat akan keharusan siaga terhadap setiap gerakan yang mengancam pembangunan.

Maka, UU Ormas adalah tali kekang politik di mana ormas akan dihadapkan kepada dua pilihan: kritis terhadap pemberhalaan pembangunan yang tidak berkeadilan, tetapi akan berakhir pada pembubaran dan penjara atau kembali menjadi jinak. Kendali sosial adalah upaya preventif agar tidak ada gerakan besar anti penindasan yang muncul. Jikalau tidak berhasil, kekerasan dapat diambil sebagai opsi, sekaligus dengan pembubaran dan hukuman pidana.

Namun UU Ormas bukanlah sebuah narasi keputusasaan dan menyerah kalah. Nabi Ibrahim terselamatkan dari hukuman bakar, dan dari keturunannya pula lahir sejumlah nabi. Ini merupakan pesan yang relevan pada saat ini. UU Ormas hendaklah dilawan secara makruf karena pertolongan yang tidak terduga bukanlah ilusi. Dan demikian pula, merupakan sebuah kepastian bahwa pewaris semangat Nabi Ibrahim akan segera terlahir, mereka adalah para pejuang bernalar dan berhati Ibrahim yang anti terhadap penindasan.

*) Dosen JMKP UGM, Mahasiswa PhD Ekopol, NCKU, Taiwan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement