Sabtu 21 Oct 2017 14:59 WIB

Reklamasi dan Nasib Nelayan

Nelayan kerang melintasi kawasan perairan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Rabu (11/10). Jumlah nelayan kerang di teluk Jakarta terus berkurang seiring semakin jauhnya jarak tempuh untuk mencari kerang di lautan. Kondisi diperparah dengan reklamasi teluk jakarta yang juga menggusur tambak kerang mereka di laut.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Nelayan kerang melintasi kawasan perairan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Rabu (11/10). Jumlah nelayan kerang di teluk Jakarta terus berkurang seiring semakin jauhnya jarak tempuh untuk mencari kerang di lautan. Kondisi diperparah dengan reklamasi teluk jakarta yang juga menggusur tambak kerang mereka di laut.

REPUBLIKA.CO.ID, Masalah reklamasi Teluk Jakarta kembali jadi perbincangan hangat. Itu terjadi setelah Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mencabut moratorium proyek reklamasi Teluk Jakarta, beberapa waktu lalu.

Luhut mengklaim telah mendapatkan restu dari pihak-pihak terkait soal keputusannya mencabut moratorium reklamasi itu. Namun, pernyataan itu justru disangkal Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menurut Susi, perihal reklamasi Teluk Jakarta harus dikonsultasikan dengan para nelayan.

Susi Pudjiastuti menegaskan, tak mau sembarangan menentukan nasib nelayan yang menggantungkan hidup di sekitar proyek reklamasi Teluk Jakarta. Sebab itu, pemerintah perlu mengajak bicara para nelayan secara langsung sebelum mengambil kebijakan untuk mereka.

Baca Juga: Warisan Reklamasi untuk Anies-Sandi

Soal Reklamasi, Susi: Tanya Nelayan Saja, Mau tidak?

Sejauh ini, Susi juga mengungkapkan, ia belum mengetahui fasilitas apa yang tengah disiapkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman untuk nelayan. Kendati begitu, Susi menegaskan, apa pun kebijakannya, semua harus berlandaskan pada aturan hukum yang berlaku.

Menurut Luhut, pihaknya tengah mempertimbangkan membangun kampung nelayan di Pulau A. Pulau yang lokasinya terluar di Teluk Jakarta tersebut dipilih karena dianggap memiliki akses yang bagus untuk nelayan.

Jika reklamasi terus berjalan, memang nelayanlah yang akan langsung terkena dampaknya. Karena itu, nasib nelayan itu seharusnya menjadi pertimbangan utama pemerintah sebelum benar-benar mengambil keputusan akhir terkait dengan reklamasi Teluk Jakarta.

Hingga kini para nelayan masih menyuarakan penolakan atas proyek reklamasi Teluk Jakarta. Kelompok Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke, misalnya, tetap konsisten berjuang menghentikan reklamasi melalui jalur hukum sejak sekitar dua tahun yang lalu. Para nelayan mengklaim, penambangan yang sempat berhenti ketika moratorium kembali dijalankan beberapa waktu lalu. Akibat penambangan pasir yang kembali berjalan, hasil tangkapan menjadi berkurang dan banyak nelayan yang menganggur.

Dalam kaitan ini kita menghargai sikap Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno

yang meminta pemerintah untuk duduk bersama membahas masalah ini. Menurut Sandi, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat bisa menghargai kewenangan masing-masing terkait reklamasi.

Dampak reklamasi akan luas. Tidak hanya pada fisik laut yang akan berubah, tapi juga akan terjadi perubahan sosial di tengah masyarakat, terutama nelayan. Pemerintah tidak bisa membiarkan nasib nelayan terpinggirkan. Mereka juga punya hak untuk mendapat penghidupan yang layak. Mereka punya hak untuk mencari nafkah sebagai nelayan. Jangan sampai reklamsi mematikan sumber hidup mereka.

Persoalan reklamasi perlu dikaji dengan serius. Silakan pemerintah pusat dan Pemprov DKI duduk bersama. Jangan hanya memikirkan soal investasi. Apalah artinya membangun jika di satu sisi kita menghancurkan rakyat sendiri.

(Tajuk Koran Republika, Sabtu, 21 Oktober).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement