Ahad 22 Oct 2017 01:00 WIB

Gubernur Baru dan Gagal “Move On“

Ihshan Gumilar
Foto: ist
Ihshan Gumilar

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ihshan Gumilar *)

Jakarta mengalami euforia, banyak orang bersukaria. Dilain sisi masih banyak orang yang justru mengalami kesedihan bahkan kekesalan yang tak berkesudahan. Itu hal yang biasa ketika dalam sebuah kontestasi kekuasaan ada yang menang dan ada pula yang kalah. Tapi yang tidak biasa adalah ketika yang kalah tidak mampu melapangkan hati seluas langit dan bumi untuk menerima kekalahannya. Atau setidaknya menerima dengan hati yang ikhlas serta mengucapkan kata selamat secara offline pada saat sang “lawan” dilantik secara sah oleh presiden.

Pendukung dan yang didukung biasanya mempunyai kondisi psikologis yang sama. Jika yang didukung tidak memiliki jiwa kenegarawanan, maka pendukungnya juga tidak jauh-jauh dari itu.

Tak lama berselang setelah gubernur DKI memberikan sambutannya, para netizen pun langsung menuai beragam kritikan tajam dan keras kepada sang gubernur baru DKI. Hal ini dikarenakan pak gubernur, Anies Baswedan, menggunakan kata-kata “pribumi”. Sebenarnya Jokowi, Megawati juga menggunakan kata-kata tersebut sebelumnya. Cuma entah kenapa kali ini menjadi begitu heboh dan tampak ada luapan emosi yang selama ini terpendam.

Dalam konsep psikologi, dikenal dengan istilah frustation leads to agression (Frustasi menuntun kepada agresif). Ini merupakan rumus psikologi yang banyak berlaku di lintas benua dan budaya. Coba perhatikan bagaimana orang-orang yang merasa aspirasinya tidak terpenuhi, seperti ketika “jagoan”nya tidak menjadi pemimpin, tak sedikit dari mereka yang bertransformasi menjadi orang-orang yang penuh dengan agresifitas.

Masih ingat beberapa minggu lalu bagaimana pendukung yang frustasi dari tolikara melakukan tindakan agresif secara fisik di mendagri?

Lalu bagaimana dengan pendukung yang frustasi di ibu kota karena jagoannya tidak memimpin jakarta lagi ? Sepertinya mereka mulai menunjukan agresifitasnya secara verbal (kata-kata ) di media sosial. Secara psikologis hal ini merupakan hal yang “wajar”, tapi tidak bagi norma masyarakat Indonesia yang beradil dan beradab.

Lalu apa solusinya bagi mereka yang masih frustasi?

Tenang, bagi Anda warga Jakarta, tidak perlu takut sekalipun pendukung yang frustasi tersebut masih “nyinyir“ di media sosial. Tempo hari ketika berkampanye, Sandiaga Uno mengutarakan akan memperhatikan kesehatan jiwa masyarakat Jakarta. Salah satunya adalah mendirikan Jakarta Mental Health Center (JMHC). Tentunya kehadiran JMHC amatlah penting dan sangat dielu-elukan oleh warga jakarta, khususnya pemerhati kesehatan mental.

Terlalu banyak orang-orang Jakarta mengalami stres yang berkepanjangan selama tinggal di jakarta. Bayangkan saja, pergi dikawal kemacetan dan pulang ke rumah juga diantar oleh kemacetan. Mau sampai kapan hidup dalam kemacetan? Kemacetan mungkin akan tetap ada di ibu kota, tapi kondisi kejiwaan warga jakarta tidak boleh mengalami kemacetan.

Jika psikologi warganya macet, maka percuma saja segala infrastruktur yang disediakan oleh pemerintah. Kalau manusianya tidak sehat, sudah barang tentu infrastruktur tidak akan dirasakan manfaatnya untuk manusia itu sendiri. Kesehatan mental tidak kelihatan kasat mata, tapi ia akan terasa kalau sudah hilang. Seperti ketika orang mulai merasa cemas, suntuk, sumpek, banyak pikiran, tidur tidak nyenyak, bosan dengan rutinitas, dan stres.

Jadi, kehadiran JMHC sangatlah dinantikan oleh warga jakarta. Bang Anies dan Bang Sandi, kami tunggu langkah nyatanya untuk membangun kesehatan jiwa warga jakarta. Ini juga merupakan solusi bagi mereka yang masih merasa kesehatan jiwanya jadi terganggu oleh rasa frustasi yang tak berkesudahan di dalam pikirannya.

Jika masih ada para netizen yang masih belum bisa “move on” dengan kehadiran pemimpin baru di Jakarta, kelak mereka dapat berkonsultasi psikologi secara gratis di JMHC. Dengan harapan mereka dapat mengontrol kondisi frustasi yang selama ini masih terpendam seperti bara api yang diselimuti gambut.

Ingat, keberhasilan gubernur dan wakil gubernur bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah infrastruktur yang berhasil di bangun, tapi seberapa banyak warga jakarta yang merasa bahwa beban psikologisnya berkurang. Ini merupakan hal penting! Dan ini yang sepatutnya menjadi tolak ukur anies-sandi atas slogannya “Maju Kotanya, Bahagia Warganya”.

Semoga hal itu bukan hanya slogan, tapi kenyataan!

*) Penggiat Gerakan Indonesia Beradab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement