Sabtu 21 Oct 2017 01:00 WIB

Pribumi, Kolonialisme, dan Hilangnya Bangsa Indonesia Asli

Salamun
Foto: dok. Pribadi
Salamun

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Salamun *)

Pidato perdana Gubernur Jakarta Anies Baswedan pada 16 Oktober 2017 di Balai Kota, menjadi pidato yang sangat monumental dengan resonansi yang sangat maksimal hingga membahana keseluruh bumi pertiwi Indonesia dan terutama menggetarkan jagad dunia maya. Pidato Gubernur Anies menjadi semacam pidato seorang “Presiden” yang cukup paripurna, Ini karena, tidak saja secara apik mengutip ungkapan-ungkapan bijak berbagai daerah dari Aceh, Medan, Minang, Madura, Banjar, sampai Minahasa, namun yang tidak kalah penting ialah mengingatkan betapa pentingnya secara bersama-sama mencapai suatu arah kehidupan bernegara ialah membangun bangsa dan daerah yang berkeadilan sosial dengan bersendikan kelima sila dari Pancasila.

Untuk membangun semangat warga Jakarta (Batavia) sebagai pusat sumbu kekuasaan dari sejak era penjajahan, tentu beliau kemudian mengingatkan akan sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini dimana dalam konteks paling dekat dan merasakan pedih perihnya kolonialisme (penjajahan) terhadap negeri ini, untuk itu maka dipilihlah diksi tentang perjuangan kaum pribumi yang berhadapan dengan kolonialisme (tidak disebut dengan non pribumi).

Kemudian penggalan kalimat pidato Anies itupun dianggap bermuatan ungkapan diskriminasi ras dan etnis, sehingga dijadikan bahan laporan oleh seorang warga dengan mengadukannya kepada aparat penegak hukum (Bareskrim POLRI).

Sejatinya persoalan pribumi yang dimaknai sebagai warga negara Indonesia asli telah menjadi diskursus yang sangat serius pada saat Bangsa dan Negara ini akan dilahirkan. Ialah AR Baswedan (kakek dari Anies Baswedan) sebagai satu-satunya perwakilan golongan Arab dalam rapat besar Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada tanggal 11 Juli 1945 mengemukakan bahwa golongan keturunan Arab, bahkan totoknya, minta supaya mereka secara otomatis dimasukkan menjadi warga negara Indonesia.

Perwakilan Tionghoa Liem Koen Hian mengajukan permintaan agar UUD menetapkan semua orang Tionghoa menjadi warga negara Indonesia dengan memberi kemerdekaan bagi siapa saja yang tidak berkenan untuk dapat menolak (recht van repudiatie). Sementara Oey Tiang Tjoei berpendapat bahwa orang-orang Tionghoa harus diberikan kemerdekaan untuk memilih kewarganegaraan, apakah menjadi warga negara Indonesia atau Tiongkok.

Pada Rapat Besar BPUPK 15 Juli 1945, Yamin berpendapat bahwa rakyat Indonesia asli menjadi pusat warga negara. Selain itu, segala penduduk tanah Indonesia dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia namun diberi hak repudiatie, artinya boleh menolak menjadi warga negara Indonesia. Sedangkan Soepomo berpendapat bahwa sebaiknya soal  persyaratan warga negara akan lebih supel jika diatur  dalam Undang-Undang saja.

Setelah melalui perdebatan yang cukup dinamis ahirnya disepakati  bahwa pasal 26 dalam rumusan ahir rancangan UUD 1945 disebutkan: (1) yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara, (2) syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-undang. Demikianlah sejarah munculnya sebutan orang Indonesia asli yang ditulis secara runut oleh Yudi Latif (2011) dalam Negara Paripurna Historitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila.

Hilangnya sebutan bangsa Indonesia asli

Lahirnya Instruksi Presiden Nomor 26 tahun 1998 pada tanggal 16 September 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi, secara psikologis memang sangat relevan dengan menguat dan memanasnya istilah pribumi dan non pribumi yang berpotensi memantik konflik sosial saat itu.

Dalam perjalanan sejarahnya, pasal 26 tentang warga negara dan penduduk ini menjadi bagian dari yang diamandemen (18 Agustus 2000) sehingga kalimat bangsa Indonesia asli tidak disebutkan lagi. Pasal 26 UUD 1945 menjadi: (1) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. (2) Setiap warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.

Ada yang lebih penting dari sekedar melarang penggunaan istilah pribumi dan non pribumi ialah memberikan dan menciptakan keadilan sosial baik keadilan ekonomi, keadilan politik dan keadilan hukum dalam konteks regulasi dan berbagai kebijakan Pemerintah maupun Negara.

Gubernur Anies sama sekali tidak menghadap-hadapkan pribumi dengan non pribumi, namun beliau menghadapkan dengan kolonialisme yang sejatinya mental dan praktik kolonialisme itu selalu hadir dalam setiap ruang dan waktu yang entah sampai kapan. Tentu dalam konteks kekinian lebih dikenal dengan neo-kolonialisme yang bentuknya bermacam-macam dari penjajahan pemikiran dan mental hingga perebutan pasar dan berbagai sumberdaya kehidupan.

Meskipun kosa katanya tidak boleh digunakan, namun keberadaan pribumi sampai dunia ini berahir secara faktual tentulah tetap ada hingga Tuhan Yang Maha Esa membuat babak baru dari kehidupan semesta ini. Tugas kita bersama ialah membuat kalangan pribumi menjadi lebih percaya diri untuk terus bangkit dan berkarya, namun demikian hendaklah para pendatangnya juga harus tahu diri.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan eksistensi kedua sumber warga negara bangsa Indonesia tercinta. Terlebih lagi jika kita belajar dari agama (Islam) yang mengajarkan “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari ahir maka muliakanlah tamu” (al-hadis), dengan demikian penghormatan seseorang terhadap tamunya menentukan kadar keimanannya, meskipun dalam konteks kekinian (ahir zaman) ini banyak yang bertamu dengan berbagai modus--penipuan dan berbagai kriminalitas lainnya-- yang menuntut tuan rumahnya juga waspada.

Tamu yang baik tentulah harus dimuliakan, dan saya belum menemukan bagaimana memperlakukan tamu yang tidak baik?? Karena Rasul Yang Agung Nabi Muhammad SAW hanya mengajarkan kepada kita memperlakukan orang lain (termasuk tamu) dengan baik bahkan terhadap orang-orang yang menebar kebencian kepada Beliau sekalipun. Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. Email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement