Rabu 18 Oct 2017 04:07 WIB

Ketika (Ada) Doa Nabi tidak Dikabulkan

Salamun
Foto: dok. Pribadi
Salamun

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Salamun *)

Amir bin Said dari bapaknya meriwayatkan: Satu hari Rasulullah SAW datang dari daerah berbukit. Setelah Rasulullah SAW sampai di masjid Bani Mu'awiyah, beliau masuk kedalam masjid dan menunaikan shalat dua rakaat. Kami pun turut shalat bersama dengan Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW berdoa dengan agak panjang kepada Allah SWT.

Setelah selesai berdoa, Rasulullah SAW pun berpaling kepada kami lalu berkata: "Aku telah memohon kepada Allah SWT tiga hal. Dari tiga hal itu, hanya dua hal yang Dia kabulkan sementara yang satu lagi ditolak. Tiga hal itu adalah: Pertama, Aku memohon kepada Allah SWT agar Dia tidak membinasakan umatku dengan musim susah (paceklik) yang berkepanjangan. Permohonanku ini dikabulkan oleh Allah SWT.

Kedua, Aku memohon kepada Allah SWT agar umatku ini jangan dibinasakan dengan bencana tenggelam (seperti banjir besar yang telah melanda umat Nabi Nuh as). Permohonanku yang ini pun dikabulkan oleh-Nya. Ketiga, Aku memohon kepada Allah SWT agar umatku terbebas dari pertikaian sesama mereka (peperangan, percekcokan antara sesama umat Islam). Tetapi permohonanku yang ini tidak dikabulkan (telah ditolak) oleh-Nya."

Meskipun ada kalangan yang meragukan tentang keshahihan hadits tersebut, tentu apa yang terjadi dikalangan ummat Islam saat ini--bahkan sejak sepeninggal Nabi SAW-- mengkonfirmasi kebenaran apa yang disampaikan Baginda Rasulullah SAW karena sejatinya tidak ada yang keluar dari perkataan Nabi kecuali yang diwahyukan kepadanya (QS.53. An-Najm:3-4).

Perbedaan dan keberagaman adalah sebuah keniscayaan yang iyanya juga merupakan karunia dari Allah SWT, bahkan Nabi SAW bersabda bahwa perbedaan di antara ummatku adalah rahmat (al-Hadits).

Yang kemudian menjadi persoalan ialah ketika perbedaan pemikiran, pandangan dan sikap keagamaan antara satu dengan yang lain sudah memasuki zona merah dimana yang dianggap benar ialah pendapat golongannya masing-masing dan yang krusial ialah memandang salah terhadap yang lainnya.

Dilarang saling menghina

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh Jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lainnya, (karena) boleh Jadi wanita-wanita (yang diolok-olokkan) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). (QS.49.Al-Hujurat:11).

Syaikh Muhammad Basyir ath-Thahlawi (2006) secara eksplisit dalam Ensiklopedi Larangan dalam Syari’at Islam menyebut perbuatan menghina dan atau mengolok-olok kaum atau orang lain sebagai perbuatan haram.

Kita sering mendapati  ungkapan-ungkapan secara terbuka terutama di media sosial tentang cara berpakaian ummat Islam saja menjadi topik pergunjingan, mengatakan Islam bukan arab maka tidak harus bergamis yang notabene ke arab-araban, padahal kalau pake pantalon dan berjas yang nota bene kebarat-baratan dianggap lumrah?, kalau mau Indonesia banget ya sarungan dan berpeci hitam ala Soekarno yang terkenal hingga jazirah Arab?. Celana cingkrang dan memanjangkan janggut juga tidak luput dari pembicaraan padahal ianya adalah merupakan sunnah yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW.

Kita seharusnya lebih risau dengan orang yang berpakaian tapi telanjang daripada sibuk menyoal orang yang sudah menutup aurat secara syar’i, mengenakan cadar, bergamis, bahkan orang yang berdahi hitam juga tidak luput jadi persoalan.

Biarkan saja orang berdahi hitam sebagai tanda bekas sujud toh yang bersangkutan juga tidak berbuat destruktif kepada ummat Islam yang tidak memiliki ciri yang sama dengan mereka? Meskipun dalam hal ini terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Ketika Ibnu Umar bertemu dengan seseorang yang memiliki tanda hitam di dahi, ia pun mengingatkan. “Bekas apa yang ada di dahimu? Sungguh aku telah lama bersahabat dengan Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?”

Tentu yang tidak kalah penting dari makna bekas sujud sebagaimana yang secara tekstual tertuang dalam QS.48.Al-Fath:29 ialah dampak positif secara personal maupun sosial dari dikerjakannya shalat itu sendiri yaitu mencegah dari perbuatan keji dan munkar (QS.29. Al-Ankabut:45).

Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Zhilalil Quran menegaskan bahwa “Siimaahum fii wujuuhihim min atsaris sujuud (tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud), ialah tanda yang tampak pada wajah mereka yaitu keelokan, cahaya, kecerahan dan keramahan”.

Jika ada orang yang melaksanakan shalat namun moral individu maupun moral sosialnya belum sesuai dengan akhlak yang diajarkan oleh baginda Rasulullah SAW maka dapat dipastikan shalatnya belum benar dan dengan demikian shalatnya belum dapat mengontrol prilakunya.

Pernyataan-pernyataan yang cukup menggelitik juga misalnya menyematkan identitas kepada kelompok, komunitas bahkan negara tertentu sebagai wahabi, syi’i, salafiy dan sebagainya yang mengidentikkan mereka dengan Islam garis keras atau ekstrim. Barat dengan sekutu-sekutunya yang anti Islam atau setidaknya Islamophobia telah dengan nyata mengadu domba antar potensi kekuatan ummat Islam dan sepertinya sadar atau tidak kita telah latah dan larut dalam skenario adu domba mereka.

Kita sepertinya begitu risau dan terganggu dengan keberadaan faham yang begitu mudah mengkafirkan orang lain, padahal jika yang dituduhkan itu tidak benar maka tuduhannya itu (takfirisasinya) justru kembali kepada mereka. Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa berkata kepada saudaranya ‘hai kafir’, maka kembalilah ia (kalimat itu) kepada salah satunya. Jika benar seperti yang dikatakan, maka benarlah ia. Tapi jika tidak, maka ia kembali pada dirinya sendiri (penuduh)” (HR. Muslim no.60 dan at-Tirmidzi).

Menjadi Ahlussunnah

Pertentangan antar ummat juga tidak lepas dari sebuah hadits nabi yang sesungguhnya justru memberikan keterangan dan kesimpulan final yang mantap. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh akan terjadi  pada ummatku, apa yang telah terjadi  pada ummat bani Israil  sedikit demi sedikit, sehingga jika ada diantara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani  Israil  berpecah menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka kecuali satu millah’. (para Shahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Beliau SAW menjawab, ‘Apa yang aku dan para Shahabatku berada diatasnya.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi  no. 2641).

Dengan demikian keselamatan ummat ini tidak semata-mata ditentukan karena bergabung atau tidaknya seseorang dalam suatu organisasi massa keagamaan misalnya, namun lebih kepada ketaatannya dalam menjalankan sunnah Baginda Rasulullah SAW dan para shahabat beliau, tentu perintah berjamaah--berorganisasi dan mengorganisir--dalam berbagai amal kebaikan menjadi satu hal yang sangat diperintahkan oleh Beliau SAW.

Jika seseorang ingin diakui oleh Baginda Rasulullah SAW sebagai ahlussunnah maka hendaknya ia berkomitmen untuk senantiasa menjalankan sunnah-sunnah Baginda Rasulullah SAW dan para shahabat Beliau. Secara sederhana mulailah dengan membuat daftar sunnah-sunnah Beliau sehari-hari kemudian apa saja yang sudah dan bisa diamalkan, dari shalat fardhu berjamaah, memperbanyak puasa, bertutur kata yang baik hingga memberi makan (peduli) terhadap fakir miskin dan orang-orang yang tertindas secara sistemik (mustadzafiin). Dari ratusan kebiasaan dan sunnah Nabi berapa banyakkah yang sudah kita tiru dan amalkan??.

Saatnya kita menyempurnakan keberadaan kita dari posisi ahlussunnah organisatoris formalistik kepada ahlussunnah substantif. Apapun latar belakang organisasi dan aliran pemahamannya (mazhab) hendaklah meminimalisir—dan idealnya menzerokan—konflik pemikiran yang tidak produktif, karena kebenaran yang hakiki hanyalah milik Allah SWT dan kebenaran yang manusia rumuskan bersifat relatif. Sepanjang syahadat dan kitab sucinya sama hendaklah jangan saling mencela. Terhadap yang berbeda keyakinan agama saja kita harus toleran (lihat QS.109.Al-Kafirun:6) apalagi terhadap sesama muslim.

Meyakini sesuatu sebagai sebuah kebenaran dan kebaikan tentu merupakan suatu keharusan agar kita bersemangat dan istiqamah dalam mengamalkannya, namun menganggap salah dan apalagi memusuhi orang lain yang tidak satu model keyakinan dengan kita tentu merupakan kekeliruan yang hanya memperdalam jurang permusuhan yang mestinya kita hindari. Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. Email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement