Jumat 13 Oct 2017 01:00 WIB

Munas FLP, tentang Cinta

Gedung Merdeka, Jl Asia Afrika, Kota Bandung. Kota Bandung pada awal November nanti akan disemarakan dengan Munas FLP (Ilustrasi)
Foto: Republika/Edi Yusuf
Gedung Merdeka, Jl Asia Afrika, Kota Bandung. Kota Bandung pada awal November nanti akan disemarakan dengan Munas FLP (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fahruddin Achmad *)

Buat memenuhi cinta, setidaknya ada tiga jurus yang patut dikuasai. Pertama; Mendekat. Tak mungkin ada cinta bila jauh. Mungkin saja jauh di mata, tentu dekat di hati. Tapi, bisakah kita mengukur dalam sebuah hati? Kedua; Merapat. Dekat tak cukup sebagai bukti cinta. Betapa banyak sesuatu yang dekat, tapi oportunis, ada kepentingan, dan ingin pragmatis. Ketiga; Mengikat. Maka, mengikat penyempurna setelah mendekat dan merapat. Keberanian mengikat diri pada satu janji, jelas itu bukti cinta tanpa pamrih.

Tahun 90-an, semakin banyak mahasiswa galau pada keberagaman bacaan dan tulisan menimpuk generasi muda dengan tema yang justru seragam; pergaulan bebas, pacaran tanpa batas, dan seks. Pelajar khususnya, perlu bacaan seimbang dan pembenteng, butuh edukasi nilai-nilai lewat bacaan gaya anak muda. Cerpen islami dan esai islami menjadi pilihan meramaikan belantara literasi Indonesia. Dari sekian banyak kumpulan manusia galau itu, tahun 1997 berdiri Forum Lingkar Pena di Musola Sastra UI, dimotori Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Maimon Herawati. Semua tentu saja karena satu hal; cinta.

Bentangan waktu menguji cinta FLP pada tekad menumbuhkembangan literasi islami sekaligus edukatif. Lahir banyak penulis baru, meski masih lebih banyak penulis setengah jadi, hampir jadi, dan tidak jadi. Tumbuh banyak penerbit baru, meski tak sedikit tambal sulam modal menjaga asap dapur percetakan. Pada akhirnya seperti kata orang bijak, “Juara sejati itu yang bertahan, bukan sekedar masuk finis.” Tahun 2017, pengurus wilayah FLP telah berdiri hampir di seluruh propinsi, cabang di banyak kabupaten, ranting di banyak perguruan tinggi dan beberapa sekolah menengah atas, serta cabang khusus di beberapa negara.

Soal karya bolehlah FLP berbangga, meski sebagian tentu saja beraroma klaim. Toh sah saja. Semakin banyak karya anak FLP dibuat jadi film. 10 novel best seller Asma Nadia sudah ditonton di bioskop, dari Cinta 2 Kodi, Love Parks in Korea, Cinta Laki-Laki Biasa, Assalamu Alaikum Beijing, Rumah Tanpa Jendela, Amina, Emak Naik Haji, Pesantren Impian, hingga yang cukup heboh di kalangan ibu-ibu, soal poligami dalam Syurga yang Dirindukan I dan II.

Karya lain punya kakak kandungnya, Helvy Tiana Rosa. Dari cerpen epik sangat terkenal, Ketika Mas Gagah Pergi dan Duka Sedalam Cinta. Sebelumnya itu didahului dari novel best seller Ayat Ayat CInta racikan Habiburrahman El Shirazy dan 3 novel lainnya yang difilmkan, Ketika Cinta Bertasbih I dan II, Dalam Mihrab Cinta, dan Cinta Suci Zahrana. Mereka semua anak FLP lho. Lainnya itu, rak rak toko buku raksasa pun diisi bejibun karya karya anak FLP. Tak ketinggalan penjualan sistem online atau berbagi gratis dengan e-book. FLP memang top, bermetamorfosisi dengan zaman, tanpa mencerabut isi hati di awal cerita; karena cinta.

Insya Allah, Forum Lingkar Pena diusianya Dua Puluh Tahun (1997-2017), akan melaksanakan Musyawarah Nasional keempat, tepatnya tanggal 3-5 November 2017 di Kota Bandung. Kenapa Bandung? Lagi-lagi karena cinta. Kata Wali Kota-nya, Ridwan Kamil -yang rencana akan buka acara ini- “Bandung Diciptakan Ketika Tuhan Tersenyum”. Senyum itu bagian paling awal sesudah niat, buat meniti anak tangga cinta. Hebat kan? Tapi yang paling pasti, karena FLP se-Indonesia sepakat lokasi kali ini di Kota Kembang yang selalu optimis dengan jargonnya; Bandung Juara!

Pe-er literasi Indonesia amat sangat banyak. Khususnya lagi menumbuhkan sastra. Pascaditutupnya Majalah Horison, gerak sastra melambat dua dekade. Banyak karya buku yang muncul, tapi sentuhan sastra amat minim. Era 80-an hingga akhir 90-an, bahkan banyak lagu dari berbagai aliran tak hanya menampilkan musik yang enak dinikmati, juga lirik menyentuh dan kaya makna, karena sastra ada di sana.

Pun pementasan teater, panggung sandiwara, hingga drama satu babak di banyak even lokal bahkan hingga tingkat kecamatan, kita akan temukan dawai-dawai gitar mengantar seni peran dan puitisasi yang mendalam. Hari ini, generasi lagi-lagi disuguhi banyak cerita kosong dan omong kosong di novel beraroma seks, sinetron picisan, hingga film murahan hantu gentayangan.

Munas FLP mencoba menapak jalan terjal sastra islami itu, sebagai bagian fastabiqul khairat, menata bangsa, memperbaiki generasi. Tentu saja, karena cinta.

Makassar, 11 Oktober 2017

*) Ketua Forum Lingkar Pena Sulsel

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement