Selasa 10 Oct 2017 04:35 WIB

Geliat Daya Beli dan Tantangan UMKM

William Henley
Foto: istimewa
William Henley

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley *)

Pada awal pekan ini, Badan Pusat Statistik merilis indeks harga konsumen (IHK) mengalami inflasi sebesar 0,13 persen. Dengan demikian, inflasi tahun kalender (Januari-September 2017) mencapai 2,16 persen. Sedangkan, inflasi tahunan September 3,72 persen.

Jika melihat tren yang ada, penulis meyakini target inflasi tahun ini sebesar 4,0 persen dapat tercapai. Tentu dengan catatan harga-harga, terutama kebutuhan pokok, tetap dijaga. Apalagi setiap pengujung tahun atau pada Desember, kenaikan harga kerap terjadi jelang Natal dan Tahun Baru.

Selain besaran inflasi bulanan, tahun kalender maupun tahunan yang secara umum terkendali, kita perlu pula menyikapi inflasi inti. Mengutip dari situs resmi Bank Indonesia, inflasi inti merupakan komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi. Terdapat tiga faktor fundamental yang menentukan, yaitu interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai tukar, harga komoditas internasional, inflasi mitra dagang), dan ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.

 

Inflasi inti penting lantaran menggambarkan daya beli dan permintaan masyarakat. Kita masih ingat pada masa puasa sampai Lebaran (Juni-Juli) lalu, inflasi inti hanya 0,42 persen atau terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pelemahan juga terlihat dari rilis pertumbuhan ekonomi juga oleh BPS. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga tak sampai lima persen.

BPS mencatat inflasi inti September lalu sebesar 0,35 persen. Inflasi inti tahun kalender tercatat 2,51 persen, sedangkan secara tahunan sebesar 3,0 persen. Apakah ini menjadi indikator daya beli masyarakat mulai meningkat? Waktu akan menjawabnya.

Mereka jadi korban

Berbicara ihwal penurunan daya beli masyarakat, sejatinya terdapat sejumlah pihak yang menjadi korban. Sorotan para analis kerap mengarah kepada masyarakat umum. Ini sesuatu yang wajar mengingat mereka adalah ujung tombak ekonomi negeri ini.

Dengan proporsi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto di atas kisaran 50 persen, daya beli masyarakat yang terganggu mau tidak mau menggoyahkan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah boleh berdalih hal ini disebabkan pelemahan ekonomi beberapa waktu belakangan, terutama sejak 2012. Sehingga perlahan tapi pasti, pertumbuhan ekonomi menurun hingga kisaran 5,0 persen (Semester I 2017).

Penurunan harga komoditas yang menjadi andalan ekspor dalam negeri dituding jadi penyebab. Alasan-alasan lain yang berulang kali dikemukakan pemerintah akan ada pergeseran (shifting) ke perdagangan daring (online) maupun belanja yang bersifat leisure (liburan dan hiburan). Penutupan berbagai gerai pusat perbelanjaan ternama dinilai bukan pertanda.

Langkah pemerintah yang menaikan belanja sosial, salah satunya Program Keluarga Harapan (PKH), tentu diharapkan dapat menjaga daya beli. Pada tahun depan, penerima kartu PKH ditargetkan sebanyak 10 juta keluarga. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun ini, yaitu enam juta keluarga. Setiap bulan, peserta PKH menerima Rp 1,9 juta per tahun.

Tantangan UMKM

Berkaitan dengan upaya menjaga daya beli tersebut, pemerintah tentunya harus pula meng-address isu daya beli masyarakat dari sisi usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sejauh ini telah terbukti bahwa UMKM bisa dijadikan solusi untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi sekaligus permintaan masyarakat. Fakta itu disokong pula dengan jumlah pelaku usaha UMKM yang sangat besar, yaitu lebih dari 57 juta (BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM).

Sayangnya, tantangan yang dihadapi UMKM seiring pelemahan daya beli masyarakat, masih sangat besar. Indikator sederhana bisa ditemui di warung maupun toko di pusat-pusat perbelanjaan. Di sana, mereka mengeluhkan begitu sepi masyarakat yang berbelanja.

Betul bahwa sebagian dari pelaku UMKM telah beralih ke perdagangan daring. Akan tetapi, tingkat penjualan pun tak jauh berbeda. Ditambah lagi masih ada kendala bagi mereka berupa kemampuan untuk menciptakan pemasaran efektif. Tidaklah mudah untuk beralih dari suatu platform usaha ke platform lainnya.

Sementara, dari indikator makroekonomi, data Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia baru-baru ini patut dicermati. Sampai dengan Juli 2017, pertumbuhan kredit UMKM memang mengalami perbaikan menjadi 8,3 persen dari 7,41 persen (yoy) pada bulan sebelumnya. Namun demikian, rasio nonperforming loan alias NPL alias kredit bermasalah meningkat dari 4,59 persen pada Juni 2017 menjadi 4,64 persen per Juli 2017.

Apa makna kenaikan NPL tersebut? Para pelaku UMKM mengalami kesulitan mengembalikan pinjaman yang diberikan pihak perbankan. Salah satu penyebab tentu adalah penurunan daya beli. Faktor lain adalah kesalahan bank penyalur kredit memilih nasabah. Mengutamakan debitur lama sebagai penerima pinjaman akan dikedepankan pihak bank ke depan sehingga menyulitkan pelaku UMKM baru.

Sejauh ini, penulis mencatat insentif yang hendak diberikan pemerintah kepada perbankan baru berupa rencana penurunan pajak UMKM. Para pejabat di Kemenkop dan UKM maupun Kementerian Keuangan memastikan besaran pajak final akan diturunkan dari 1 persen terhadap omzet tidak lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi 0,25 persen

Kebijakan ini termasuk ke dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Selain perihal tarif, pemerintah juga akan memperjelas definisi peredaran bruto serta kemudahan peraturan terkait pajak pertambahan nilai (PPN).

Sementara, paket kebijakan tentang kemudahan memulai usaha bagi UMKM yang diluncurkan tahun lalu masih menuai keluhan. Padahal, melalui kebijakan yang termasuk Paket XII ini, pemerintah berkomitmen mengupayakan penyederhanaan prosedur, penurunan biaya dan percepatan waktu penyelesaian atas beberapa aspek di antaranya memulai bisnis, izin mendirikan bangunan, pendaftaran properti, sumbangan listrik, mendapat akses kredit dan sebagainya.

Kebijakan itu memang sudah berdampak pada perbaikan kemudahan berusaha menurut World Economic Forum (WEF) yang bertajuk Global Competitiveness Index 2017-2018 edition. Indonesia berada di peringkat ke-36 atau naik lima peringkat dibandingkan tahun lalu. Akan tetapi patut dicatat juga bahwa survei hanya dilakukan di Jakarta dan Surabaya.

Namun, realisasi di kalangan pelaku UMKM tak seindah di atas kertas. Kerap ditemukan masyarakat yang mengalami kesulitan ketika mendaftar. Pendaftaran pelaku UMKM melalui daring ke Kemenkop dan UKM juga harus digencarkan sosialisasinya.

Akhir kata, penulis hanya bisa berharap agar pemerintah terus menerus menghadirkan insentif bagi pelaku UMKM di tengah pelemahan ekonomi seperti sekarang. Seriuslah memperhatikan mereka. Tahun politik yang semakin dekat dan mulai terasa hawanya jangan sampai meninabobokan. Ingatlah selalu bahwa sektor ini merupakan tulang punggung perekonomian saat krisis ekonomi dahsyat menghantam pada 1997-1998 lalu.

*) Founder Indosterling Capital

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement