Sabtu 30 Sep 2017 01:00 WIB

Demokrasi Pancasila dan PKI

Salamun
Foto: dok. Pribadi
Salamun

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Salamun *)

Ketika kita bersepakat menegakkan dan membangun bangsa dan negara ini dengan Demokrasi Pancasila, maka kita harus bersedia hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam keberagaman yang sejatinya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Apapun dan siapapun boleh hidup di negeri tercinta ini dengan syarat mengakui dan sekaligus bersedia mengamalkan Pancasila bahkan termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI) sekalipun?.

Tentu pernyataan terahir ini menjadi kontroversial. Sebab, dalam perjalanan sejarahnya secara faktual, PKI telah berkali-kali mengkhianati Pancasila. Pemberontakan PKI Muso 1948 dan peristiwa G30S/PKI tahun 1965 merupakan fakta sejarah yang tidak mungkin dihapus dan dilupakan. Ada syarat dan ketentuan PKI boleh hidup kembali misalnya bertransformasi menjadi 'Partai Kiri Indonesia' dan menerima Pancasila serta ber-Tuhan, mungkinkah?.

Jika mencermati yang berlaku di Partai Komunis Cina, jangankan beragama, membantu kegiatan keagamaan saja bisa diberikan sanksi. (baca Anggota Partai Komunis Cina dijatuhi sanksi jika memeluk agama, http://internasional.kompas.com. Rabu, 19 Juli 2017). Bahkan Wang Zuoan, direktur Badan Negara Urusan Keagamaan menegaskan bahwa “Anggota Partai haruslah seorang Marxis ateis”. Bagaimana dengan PKI?.

PKI sebagai organisasi boleh saja dibubarkan, akan tetapi kita harus tetap memberikan ruang dan waktu kepada para bekas anggotanya--apalagi anak cucunya-- sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa untuk bertaubat dengan menerima Pancasila dan sekaligus ber-Tuhan. Meskipun agak sulit bagi negara memastikan seseorang ber-Tuhan atau tidak karena urusan ber-Tuhan dan sejauhmana mengamalkan ajaran Tuhan tentu sudah memasuki ruang privat, hanya dirinya dan Tuhanlah yang mengetahui. Kita barangkali hanya bisa mengukur dari hal-hal yang formalistik, kartu identitas, melaksanakan shalat, sembahyang, ibadat kebaktian dan lain sebagainya atau tidak.

Hari ini barangkali menjadi hari-hari yang sangat ‘tegang’ dan boleh jadi merupakan perdebatan dan polemik paling terbuka tentang gerakan PKI dan atau peristiwa G30S, bahkan Presiden Jokowi juga ikut menghangatkan suasana dengan sikap dan pernyataan yang “kontroversial”. Dengan sempat menyatakan keinginan minta maaf kepada PKI --meskipun ahirnya diklarifikasi bahwa issue tersebut tidak benar--dan mewacanakan supaya dibuat Film G30S/PKI yang ‘baru’ untuk generasi milenial tentu menimbulkan polemik tersendiri tentang sebuah fakta sejarah.

Saat ini eks-PKI dan para penyokongnya berusaha dan sudah hampir berhasil memutar balikkan fakta sejarah dari sebagai pelaku kebtrutalan dan kebiadaban yang dialamatkan kepada para ulama, pejabat pemerintah, dan TNI, menjadi seolah-olah mereka adalah korban kekerasan yang melibatkan aparat dan negara.

Adapun fakta sejarah kemudian banyak kader dan anggota PKI yang diburu dan dibunuh, hal itu adalah risiko dan konsekuensi yang harus dihadapi akibat kebiadaban yang mereka rencanakan dan lakukan.

Mengapa memusuhi agama?

Bagian penting dari agenda PKI dalam menegakkan ideologi komunisme barangkali adalah menempatkan agama dan Tuhan sebagai penghambat kemajuan dan kebebasan bagi mereka. Karena lazimnya negara dengan ideologi komunisme adalah atheis yang menolak agama. Oleh sebab itulah, maka mereka memerangi para ulama dan santri serta Jenderal ‘hijau’ yang notabene menjadi kekuatan utama dalam mendakwahkan agama dan ajaran Tuhan serta penjaga benteng Pancasila.

Menghidupkan dan mengembangkan paham komunisme di belahan bumi manapun--apalagi di Indonesia--sama halnya membangun sebuah istana dari bongkahan es di tengah padang pasir yang panas, sesuatu yang sia-sia. Kehadiran kita dimuka bumi ialah atas kehendak dan kuasa Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa yang telah menyiapkan paket sistem untuk membangun peradaban dimuka bumi ialah dengan agama.

Jika ingin membangun negara dengan sistem komunisme yang atheis, maka carilah suatu negeri atau alam yang merupakan bukan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, tentulah menjadi sesuatu yang mustahil. Jika membuat sehelai rambut yang bisa tumbuh saja tidak mampu, mengapakah mesti sombong dan pongah dengan meyakini sebuah ideologi buatan makhluk yang lemah menjadi sesuatu yang dianggap sebagai satu-satunya “kebenaran” sehingga harus membunuh orang lain yang tidak satu ideologi??.

 

Menarik sekali dan cukup memberikan pencerahan apa yang ditulis Asma Nadia dalam kolom harian Republika yang berjudul “Jika PKI Bangkit, Memangnya Kenapa? yang secara gamblang dan runut mengungkap rangkaian kebrutalan PKI sejak Oktober 1945 ketika kelompok pemuda PKI membantai pejabat pemerintahan di kota Tegal, Pemberontakan PKI Muso 1948 yang merasa diatas angin ketika tokoh PKI Amir Syarifudin Harahap berhasil menjadi Perdana Menteri tahun 1948, hingga pemberontakan G30S/1965 bahkan kekejaman rezim komunis di Uni Sovyet dan Cina (http://Republika.co.id. Sabtu, 23 September 2017).

Kini saatnya kita merenung sejenak untuk berpikir secara jernih, bahwa apa yang terjadi pada masa lalu tentulah merupakan rangkaian proses sejarah sebagai sebuah bangsa yang majemuk dan pastilah sangat dinamis dalam konteks pertarungan ideologi, gagasan dan politik.

Rangkain peristiwa yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa manusia tentu saja meninggalkan kenangan duka yang mendalam dari semua pihak, keluarga para kiai dan ulama, pejabat pemerintah, TNI, Pahlawan revolusi dan tentu saja keluarga PKI di pihak yang lain. Jarum jam sejarah bangsa ini janganlah kita tarik kebelakang kembali dengan berbagai tuntutan yang akan membuat luka lama sakit kembali.

Insya Allah Keluarga para kiai, ulama, dan pembela agama, NKRI dan Pancasila telah tenang dialam ahirat yang gugur sebagai syuhada, harapan kita hendaknya saudara-saudara yang masih bermimpi untuk membangun peradaban dengan ideologi komunisme yang atheis segeralah kembali kejalan yang benar.

Selagi Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa masih memberi kesempatan hidup, segeralah bertaubat menuju jalan ampunan-Nya sebelum ajal menjemput sehingga menjadi penyesalan tidak berguna diahir hayat dalam tarikan nafas terahir dan terutama di alam ahirat kelak. Wallahu A’lam bish-shawab.

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML.email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement