Rabu 13 Sep 2017 04:25 WIB

Ketika Sudah Berhaji

Salamun
Foto: dok. Pribadi
Salamun

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Salamun *)

Pada saat walimah safar untuk berangkat berhaji, ketika Pak Kiai bertanya kepada seorang sahabat yang akan berangkat haji, mau wafat di Tanah Suci atau pulang ke Tanah Air dengan selamat? Maka yang saya lihat dan dengar tak terucap kata darinya meskipun yang sesungguhnya di dalam hati ada kecenderungan dari opsi yang sama-sama beratnya untuk dijawab (diaminkan). Ketika memang spiritualnya sudah mantap, maka jika dibolehkan meminta tentu wafat di Tanah Suci lebih mulia karena tidak terjamah dajjal. Wafat dimanapun itu merupakan rahasia dan otoritas tunggal Allah SWT, yang pasti kita hanya selalu meminta agar diwafatkan dalam kebaikan (husnul khatimah).

Hal inilah yang harus sangat diluruskan niat seseorang yang akan melakukan suatu ibadah termasuk haji. Shalat saja akan bernilai sebagai mendustakan agama ketika dilakukan ada motiv selain karena dan untuk Allah, bahkan jika dilakukan dengan lalai (lihat QS. 107. Al-Ma’un). Maka, sejatinya semua ibadah juga memiliki parameter yang sama, yaitu harus dilakukan semata-mata karena dan untuk Allah SWT.

Ikhlas meskipun kita bisa mengukur dari hal-hal yang tampak dari indikator yang tercermin dari aspek sosialnya, ianya adalah hanya diri sang hamba atau bahkan persisnya Allah SWT yang tahu. Seseorang bisa mengatakan ikhlas, namun karena ikhlas adalah urusan hati, maka sejatinya yang dapat menilai ikhlas atau tidak hanyalah Allah SWT. Kita tidak perlu sibuk menilai apakah seseorang melakukan dengan ikhlas atau tidak karena hal tersebut merupakan urusan pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan.

Bagi penerima sedekah, nilai manfaatnya akan tetap ada meskipun sang pemberi tidak ikhlas, dan biarlah hal tersebut terjadi. Awal melakukan tidak ikhlas tidak mengapa toh pada suatu titik ketika seseorang sudah sampai kepada maqamnya (pencapaian spritual), maka keikhlasan akan mewujud dan tentu saja yang bersangkutan akan merasa sayang terhadap dirinya sendiri ketika melakukan suatu ibadah tidak ikhlas misalnya.

Sebagai sebuah proses, maka ibadah apapun tidak masalah jika awalnya dilakukan dengan bil-paksa. Jika sudah bisa memaknai nilai ibadah tersebut, maka dianya akan merasakan suatu kenikmatan ibadah. Dan lagi-lagi soal kenikmatan adalah soal rasa dan perasaan yang bersifat sangat pribadi. Peristiwa yang sama (musibah misalnya) sudah barang tentu akan disikapi dan dirasakan secara berbeda antara satu orang dengan yang lain tergantung tingkat keimanan dan ketaqwaannya.

Haji mabrur, maqbul, dan mardud

Kembali kepada pertanyaan dan doa Sang Kiai, ketika bersafar untuk haji mana yang lebih baik wafat di Tanah Suci atau pulang ke Tanah Air dengan selamat, maka jawabannya sangat tergantung dengan keadaan. Dan hal inilah yang kita kenal dalam ibadah haji dengan apa yang disebut dengan haji mabrur (baik), haji maqbul (diterima), dan haji mardud (ditolak).

Rasulullah SAW bersabda  “Ibadah umrah sampai umrah berikutnya sebagai kafarat untuk dosa diantara keduanya dan haji yang  mabrur tidak ada balasannya kecuali surga”. (HR Bukhari dan Muslim). Terkait hal ini, Imam An Nawawi menjelaskan, bahwa haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya, bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.

Tentu saja untuk sampai kepada kemabruran membutuhkan suatu rangkaian proses yang saling berpaut antara satu dengan lainnya. Kemabruran harus dijemput dengan bekal finansial yang halal dan baik, pelaksanaan sesuai ajaran Rasulullah SAW serta komitmen yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai spiritual dan sosial ibadah haji.

Ihram adalah pelajaran terbaik dalam memberikan kesadaran sosial bagi ummat manusia, bahwa di hadapan Allah SWT semua manusia adalah sama dan sederajat. Martabat seseorang tidak ditentukan apakah ia kopral atau jendral. Bukan karena ia rakyat maupun pejabat (raja), bukan pula diukur dengan ukuran finansial kaya atau miskin.

Ketika berihram juga dilarang untuk jidal (berdebat), fasiq dan rafats (cabul) --pornografi maupun pornoaksi-- bahkan hal ini berlaku juga bagi pasangan sah suami istri sekalipun (lihat QS.2.Al-Baqarah:196). Hal tersebut memberikan pelajaran bagi kita untuk menjalani kehidupan dengan baik dan disiplin. Tidak merasa superior dan jumawa dengan alasan apapun.

Yang kemudian membedakan martabat kemanusiaan seseorang ialah ketaqwaannya (QS.49. Al- Hujurat:13). Karena itu, maka kita diperintah Allah SWT untuk membekali diri ketika akan berjuang dalam konteks ibadah mahdoh maupun ibadah secara universal dengan bekal yang cukup, dan sebaik baik bekal ialah taqwa (QS.2.Al-Baqarah:197).

Dan ketaqwaan seseorang ditentukan tidak saja diukur dari bilangan rakaat dan dari praktik cara shalatnya. Ketika shalatnya tidak bisa mengantarkan dirinya kepada kecerdasan sosial yaitu mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar (QS.29. Al-Ankabut: 45), maka ianya dapat dipastikan belum benar shalatnya.

Begitu juga haji, ritual ibadah haji adalah merupakan kurikulum pendidikan atau sebagai madrasah bahkan merupakan kawah candradimuka penggemblengan mental spiritual dan sosial sekaligus. Hal itulah yang menjadi tolok ukur dari ibadah haji dan bahkan semua aktivitas ibadah pastilah memiliki dimensi spiritual, emosional, dan sosial sekaligus. Kesalihan individunya dapat diukur dari kesalihan sosialnya. Jika yang tampak hanyalah kesalihan individunya saja tapi secara sosial tidak nampak, maka dapat dipastikan ada sesuatu yang harus diperbaiki dari praktik ibadah individualnya.

Dengan demikian, pulang ke Tanah Air dengan selamat tentu sesuatu yang harus disyukuri, namun demikian masih menyisakan suatu komitmen untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan semua amal ibadahnya. Ketika hal tersebut tidak bisa dilakukan, maka diwafatkan ketika sejak proses rangkaian keberangkatan dan apalagi di Tanah Suci menjadi lebih mulia.

Itulah di antara indikator hajinya diterima (maqbul). Tentu proses meninggalnya juga sesuai dengan kaidah-kaidah syariat. Bila meninggalnya karena sebuah pertengkaran dan perkelahian yang sudah menyatakan akan saling membunuh sesama Muslim dan tidak ada argumentasi yang dibenarkan syariat, maka yang membunuh dan dibunuh masuk neraka (al hadis).

Untuk itu, maka musibah (wafat) yang terjadi atas saudara-saudara kita di Tanah Suci tentulah menjadi sesuatu yang insya Allah terhormat dan mulia di hadapan Allah SWT. Termasuk bahkan yang sudah berniat haji ditandai dengan setoran awal dana haji, meskipun belum diberi kesempatan berangkat berhaji oleh Allah dengan diwafatkan, maka hal tersebut sudah merupakan bentuk ketaatannya kepada Allah SWT dan tidak dihukumi sebagai hamba yang mengingkari perintah Allah SWT--yang mohon maaf dalam bahasa agama--disebut sebagai kafir (periksa QS.3. Ali Imron:97).

Nah, yang kemudian krusial adalah ketika pulang ke Tanah Air dengan selamat, namun tidak dapat meningkatkan amal ibadahnya apakah yang berdimensi individual maupun sosial. Itulah kemudian yang menjadi suatu bahan evaluasi. Sangat boleh jadi bekal berhajinya bercampur subhat atau bahkan haram, mengandung riba, korupsi dan tipu-tipu misalnya, tidak bisa menjiwai aspek-aspek pesan spiritual dan sosial ibadah haji dan lain sebagainya.

Jika kita jumpai haji yang keshalihan individunya atau keshalihan sosialnya tidak meningkat, makin pelit misalnya. Kemudian, shalatnya bolong-bolong bahkan tidak shalat Jumat dan atau kurang berkomitmen untuk menegakkan shalat dengan berjamah lantaran keliru memahami karena sudah shalat di Masjidil Haram yang nilai kebaikannya dilipatgandakan menjadi 100 ribu misalnya, maka itulah suatu keadaan yang kita harus berlindung kepada Allah SWT. Jangan sampai terjangkiti hal yang demikian, karena bisa dapat dipastikan hajinya tertolak (mardud), na’udzubillah min dzalik.

Atau tetap bermaksiat dan korupsi dengan dalih nanti bisa haji lagi yang barangkali secara finansial merasa memiliki kemampuan untuk itu, maka dianya telah mempermainkan ibadah (agama). Siapa yang berani menjamin bahwa jangankan kesempatan haji berikutnya. Bahkan, apa yang akan terjadi atas diri kita esok hari atau lima menit ke depan saja tidak tahu? Soal haji berkali-kali juga menjadi debatable ketika ternyata Rasulullah SAW berhaji hanya sekali dan itulah haji wada (perpisahan).

Untuk itulah, maka bagi siapa saja yang telah memiliki kemampuan (istitha’ah) untuk berhaji segeralah mendaftar dan tidak perlu berpikir yang terlalu sempurna, merasa masih muda dan potensial berbuat maksiat dan sebagainya. Lho maksiat kok direncanakan? Hehehe. Bahwa menjadi baik itu adalah merupakan sebuah proses, jejak-jejak kebaikan itu terbentuk ketika seseorang bertekad dan secara istiqamah melakukan perjalanan menuju kebaikan tersebut dan harus disegerakan ketika Allah SWT telah memberikan kesempatan untuk melakukannya. Wallahu a’lam bish-shawab.

*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML. Email: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement