Selasa 05 Sep 2017 06:00 WIB

Semangat Berkorban Tahun 1438 di Desa Nogotirto

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Luas Desa Nogotirto dalam wilayah Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, hanyalah 3,49 km2 dengan jumlah penduduk 14.916. Kepadatan penduduknya adalah 4.274 jiwa/km. Jumlah tempat ibadah: masjid 20, gereja Kristen 1; gereja Katolik, pura, dan wihara belum ada. Dulu sebelum G30S/PKI/1965, beberapa dusun di desa ini didominasi oleh kelompok merah sebagai tandingan dari Desa Mlangi, tempat konsentrasi kaum santri.

Saya mulai tinggal di desa ini sejak bulan Agustus 1985 dan tidak pernah pindah lagi. Sebagian kawasan persawahan di desa ini telah berubah jadi perumahan rakyat yang dulunya adalah tanah kas desa yang kemudian dilakukan tukar guling. Akibatnya lahan sawah menjadi sangat berkurang, sebagaimana juga berlaku di beberapa desa di Nusantara. Ini adalah sebuah dilemma. Luas tanah tidak pernah bertambah, sedangkan jumlah penduduk sejak Proklamasi Kemerdekaan telah membengkak hampir 400%.

Desa Nogotirto adalah salah satu dari 74.954 desa di seluruh Indonesia tahun 2017 ini. Tahun 2016 jumlah desa itu baru 74.754, ada sebanyak 200 desa baru tahun ini. Kabupaten Sleman sendiri masih menyisakan penduduk miskin sekitar 10% dari 1.079.053 (semester 1 2016) keseluruhan penduduk kabupaten ini.

Sekalipun angka kemiskinan masih cukup tinggi, semangat berkorban Desa Nogotirto tahun 2017 ini cukup menggembirakan: 102 sapi dan lebih dari 100 kambing.

Jika diterjemahkan ke dalam kg, maka menurut hitungan kasar saya, tidak kurang dari 12.800 kg daging yang dibagikan selama Hari Raya ‘Idul Adhha 1438 hijriah tahun ini. Tidak saja bagi konsumsi penduduk desa itu, tetapi juga ada yang dikirim ke desa lain di luar Kabupaten Sleman. Karena hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka sebagian umat Muslim baru menyembelih korban pada Sabtu, 11 Dzulhijjah, hari tasyrik pertama.

Suasana penyembelihan demikian bergembira dan bersemangat. Setelah salat Zuhur, ditingkahi pula oleh makan bersama buat semua yang hadir. Semua wajah tampak segar. Orang tua dan anak muda terlibat aktif dalam pesta hari raya korban ini. Ada yang berlangsung sampai sore baru rampung. Untuk proses penyembelihan di lingkungan sekitar Masjid Nogotirto,  pembagian daging sudah rampung saat salat ‘Asar tiba. Tahun ini lebih cepat, karena ada yang menggunakan mesin potong tulang yang sangat menolong percepatan prosesnya. Alunan kalimat takbir, tahmid, tahlil, dan tasbih yang dimulai sejak 9 Dzulhijjah berlangsung terus sampai hari tasyrik ketiga. Jika ritual ini dihayati agak sedikit mendalam, pengaruhnya terhadap suasana kejiwaan kita pun terasa.

Barangkali sudah hampir seluruh desa di Indonesia yang melakukan penyembelihan korban. Sayang saya tidak punya data statistik untuk itu. Pendek kata, tentu jutaan hewan telah dikorbankan pada setiap Hari Raya ‘Idul Adhha di Indonesia. Untuk seluruh dunia, angkanya bisa miliaran hewan yang disembelih saban tahun. Sekiranya tidak diperintahkan agama, tentu ada perasaan iba terhadap ternak yang dikorbankan itu. Maka demi syi’ar agama, perasaan iba itu tidak dirasakan benar, karena memang ternak itu diciptakan Allah untuk kepentingan manusia. Dalam kasus ini tidak berlaku ungkapan bahwa manusia itu kejam.

Sekarang kita tengok ke peruhaman Nogotirto dan perumahan Trihanggo, desa tetangga. Di sekitar masjid Yayasan Amal-Bhakti Muslim Pancasila Nogotirto ada tiga tempat penyembelihan hewan korban: 19 ekor sapi dan beberapa ekor kambing. Jika kita baca dalam rupiah, lebih dari Rp 200 juta peserta korban mengeluarkan dana untuk tahun ini. Padahal rata-rata penduduk di perumahan ini adalah pegawai dan pensiunan, tetapi semangatnya untuk berkorban cukup tinggi. Ada yang dengan cara menabung saban bulan di Masjid Nogotirto, sehingga saat bulan Dzulhijjah datang, pengeluaran dana untuk korban dirasakan lebih ringan.

Bagi saya suasana keagamaan semacam ini sungguh membahagiakan. Anak-anak muda dengan ceria dan cekatan terlibat penuh dalam proses penyembelihan dan pembagian daging. Saya sendiri sudah lebih 30 tahun jadi kordinator pembelian dan penyembelihan hewan untuk lingkungan Perumahan Nogotirto Elok 2, sekalipun yang lebih banyak bekerja adalah mereka dalam usia muda. Inilah warisan mulia dari nabi Ibrahim dan anaknya nabi Ismail yang diabadikan oleh umat Muslim di seantero jagat sampai dunia ini berakhir pada saatnya, entah kapan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement