Senin 14 Aug 2017 05:00 WIB

Patriotisme Berpolitik Setelah 72 Tahun Kemerdekaan

 Mobil hias KPU - Bawaslu - PKPU bersama parpol peserta Pemilu mengikuti pawai usai Deklarasi Kampanye Berintegritas (Ilustrasi)
Mobil hias KPU - Bawaslu - PKPU bersama parpol peserta Pemilu mengikuti pawai usai Deklarasi Kampanye Berintegritas (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rangga Pandu Asmara Jingga *)

Kemerdekaan Republik Indonesia 72 tahun silam diperoleh melalui sebuah perjalanan panjang yang dipenuhi tetesan-tetesan darah, keringat serta pemikiran seluruh elemen bangsa yang kala itu tumbuh jiwa patriotismenya untuk mencapai satu tujuan, mengusir penjajah dan mewujudkan kemerdekaan.

Di zaman penjajahan, patriotisme diwujudkan dalam bentuk mengangkat senjata. Seluruh rakyat, tidak peduli latar belakangnya, serta-merta berjuang mengusir penjajah. Namun kini makna patriotisme telah bertransformasi seiring perkembangan dan perubahan tantangan yang dihadapi bangsa.

Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan, patriotisme di abad ke-21 telah menemukan konteksnya secara global.  Putra Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono itu menyatakan patriotisme dapat muncul dalam upaya-upaya demi kemajuan Indonesia, salah satunya menghapuskan kemiskinan dan disintegrasi bangsa.

Bagi Agus, siapapun dia, di manapun dia berada, apapun yang dilakukannya, sejauh ditujukan untuk membela kepentingan negara dan mengharumkan nama bangsa dia adalah patriot.

Menurut Agus, pasukan perdamaian yang membela kemanusiaan, dia dapat disebut patriot. Diplomat yang berjuang di forum internasional untuk memerjuangkan kepentingan bangsa-bangsa, dia juga merupakan patriot. Termasuk para atlet, seniman, teknokrat, akademisi yang berkiprah secara global mengharumkan nama bangsa, mereka juga adalah patriot.

Pertanyaan kemudian muncul, apakah patriotisme masih ada dalam dunia politik setelah 72 tahun negera ini merdeka? Sebab jika melihat kondisi saat ini, berita-berita kegaduhan politik yang kita saksikan seolah tidak ada korelasinya sama sekali dengan praktik pratiotik yang sarat dengan upaya membangun bangsa.

Masalah dualisme kepemimpinan partai politik, proses politik di parlemen yang diwarnai perdebatan sengit bak tak berujung, kampanye hitam dalam pemilu, perebutan kekuasaan, seluruhnya tidak mencerminkan adanya patriotisme berpolitik.

Peneliti dari lembaga kajian The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono menilai, patriotisme saat ini menjadi sesuatu yang langka dalam dunia politik di Tanah Air.  Menurut Arfianto, bagaimana mungkin berbicara patriotisme berpolitik jika seringkali kepentingan individu serta kelompok berada di atas kepentingan bangsa.

Salah satu contoh yang paling mencolok ialah bagaimana minimnya kinerja anggota dewan dalam menghasilkan undang-undang. Lain ceritanya jika undang-undang yang dibahas dinilai mendesak untuk kepentingan kelompoknya, misalnya dalam peristiwa pembentukan Pansus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi. Atau dalam pembahasan Undang-Undang Pemilu yang diwarnai perdebatan panjang mengenai "tiket" pencalonan Presiden.

Arfianto menegaskan politikus seharusnya ikut bertanggung jawab bagaimana memberikan teladan kepada publik tentang semangat patriotisme. Politikus tidak boleh melupakan bahwa negara ini merdeka berkat jiwa patriotisme para pendahulu bangsa.

Arfianto berpandangan, patriotisme berpolitik kini hanya dimiliki segelintir politikus saja. Menurut dia, kita patut bertanya sampai kapan bangsa ini dapat bertahan jika mayoritas politikusnya terus memainkan politik "menang-menangan" dan tidak memberikan teladan patriotisme kepada masyarakat, khususnya generasi muda.

Dia menyarankan, para pemimpin partai politik untuk segera menata kembali pola rekrutmen serta kaderisasi di internal partai untuk memastikan patriotisme kader partai dalam berpolitik. Partai politik secara anggaran dasar dan anggaran rumah tangga juga seharusnya mampu menertibkan kader-kadernya yang hanya mengedepankan politik kepentingan.

Direktur Eksekutif VoxPol Center Pangi Syarwi Chaniago menilai, hilangnya patriotisme berpolitik disebabkan oleh banyaknya politisi belakangan ini yang terjebak pada kekuasaan pragmatisme.

Menurut Pangi, budaya materialistik dan hedonisme telah menjangkiti banyak politisi saat ini sehingga akhirnya paradigma atas keinginan menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya telah merusak pola pikir berpolitik.

Dia menekankan secara manusiawi memang kekuasaan adalah naluri atau kehendak yang tak pernah padam dalam diri manusia, namun berpolitik guna mencapai kekuasaan tidak boleh meninggalkan keberadaban politik. Jika politik tidak beradab, ujungnya Indonesia akan mengalami krisis politikus berkelas, politikua yang mengayomi, politikus yang dekat dengan rakyat, cerdas dan santun.

Pangi memandang berpolitik sejatinya merupakan pekerjaan mulia untuk menciptakan kondisi keteraturan dan mengemban amanat rakyat. Tetapi jika halaman politik suatu bangsa lebih banyak didominasi dengan politik yang menghalalkan segala cara, maka stigma publik terhadap politikus tentu akan negatif.

Dia mencontohkan, politikus yang diksi serta frasa yang diucapkan di muka publik tidak menyejukkan, serta tidak disiplin dalam bertutur kata bukan lah politikus yang patriotik.

Politikus yang enggan kerja keras, dan hanya menempuh jalur singkat dalam mendapatkan kekuasaan serta mengerogoti uang negara juga bukan lah politikus patriotik.

Kini, ujar Pangi, fatsun politik agaknya semakin terpinggirkan oleh politik kepentingan. Akibatnya bangsa ini kehilangan sosok politikus negarawan.

Lebih jauh dia menekankan, jika berbicara mengenai patriotisme berpolitik, bangsa ini sejatinya membutuhkan sosok pemimpin yang bersedia larut untuk membela kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan, berhadapan dengan kepentingan-kepentingan individual atau kelompok yang lebih kecil.

Dia memandang persoalan politikus sebetulnya sederhana, yakni kemampuan politikus dalam menahan diri sejenak dari dorongan mendapatkan materi dan kekuasaan dengan jalan pintas. Dia menekankan 72 tahun sudah Indonesia merdeka, sudah saatnya elit politik memikirkan bagaimana caranya agar rakyat betul-betul bisa merasakan dan menikmati kemerdekaan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement