Rabu 09 Aug 2017 04:31 WIB

Mengurai Polemik Pemanfaatan Dana Haji

Salah satu pemondokan haji yang berada di Kawasan Syisya, Makkah
Foto: nashih nashrullah/ Republika
Salah satu pemondokan haji yang berada di Kawasan Syisya, Makkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bhima Yudhistira *)

Baru-baru ini muncul polemik di tengah masyarakat tentang pemanfaatan dana haji pascadilantiknya pengurus Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Sesaat kemudian, lalu muncul wacana bahwa dana haji dapat dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur. Permasalahan ini tentu perlu diurai secara lebih mendalam dan dicari jalan keluarnya.

Sebenarnya pemanfaatan dana haji yang mencapai Rp 95,2 triliun untuk keperluan infrastruktur sudah terjadi sejak tahun 2013 lalu. Bentuknya, melalui instrumen sukuk. Misalnya, sukuk digunakan untuk pembangunan rel kereta api Cirebon-Kroya, rel kereta Manggarai, jalan, jembatan dan pembangunan asrama haji.

Per Juli 2017, total dana haji yang masuk ke instrumen Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) sudah mencapai Rp 36,69 triliun. Artinya, polemik belakangan ini lebih ke permasalahan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat khususnya umat Islam. Ini karena pemerintah terkesan ingin memanfaatkan dana haji, tapi di sisi yang lain komunikasi yang terjalin dengan umat Islam tidak kondusif.

Namun terlepas dari situasi politik, penggunaan dana haji tetap perlu dikritisi karena rentan disalahgunakan untuk tujuan jangka pendek pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah dapat membuat aturan turunan pengelolaan dana haji dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) untuk meningkatkan porsi dana haji pada instrumen sukuk.

Disaat yang bersamaan, pada tahun 2018-2019, pemerintah akan agresif menerbitkan sukuk baru untuk menutup defisit anggaran. Hal ini merupakan kecemasan yang sangat logis, mengingat 2018-2019 merupakan jatuh tempo utang pemerintah sebesar Rp 810 triliun. Sementara di sisi yang lain, tren defisit anggaran pemerintah terus melebar bahkan dalam APBN-P 2017 diproyeksi tembus 2,92  persen atau mendekati batas aman 3 persen. Pemerintah dikhawatirkan akan menggunakan sukuk dana haji untuk menutup sebagian utang jatuh tempo tersebut.

Belajar dari pengalaman di Malaysia, penggunaan dana haji untuk pembangunan bukanlah hal yang baru. Dari total jumlah dana haji Malaysia yang tercatat sebesar Rp 198,5 triliun, sebesar 9 persen masuk ke konstruksi/real estate berupa investasi langsung. Sedangkan 17 persen penempatan dana obligasi juga dimanfaatkan untuk investasi tidak langsung dalam pembangunan properti/konstruksi.

Tapi perlu dicatat, Tabung Haji Malaysia tidak membangun Infrastruktur seperti diartikan oleh Pemerintah Indonesia saat ini, melainkan membangun konstruksi/real estate dengan tingkat return atau imbal hasil yang tinggi. Tabung Haji Malaysia membangun aneka properti yang memiliki keuntungan jangka panjang, misalkan Hotel Tabung Haji di Keddah dan Bay Pavilions di Sydney. Sekali lagi bukan membangun infrastruktur, melainkan properti.

Selain itu, hasil keuntungan dari pengelolaan dana haji di Malaysia sebagian kembali lagi ke jamaah haji dalam bentuk subsidi. Data per 2015, misalnya, mengungkap bahwa total subsidi biaya haji mencapai Rp 391,9 miliar. Awalnya, jamaah haji di Malaysia membayar Rp 53,7 juta kemudian diberi subsidi hingga Rp 22,6 juta atau hampir 50 persen dari total biaya. Besarnya dana subsidi yang kembali ke jamaah haji berkaitan dengan performa manajemen investasi Tabung Haji yang mampu meraup pendapatan dari pengelolaan dana hingga Rp 40,4 triliun di 2015. Sementara asetnya terus meningkat dalam 5 tahun terakhir mencapai Rp 185 triliun.

Pengalaman negara lain seperti Malaysia, memberikan pelajaran berharga bagi pengelolaan dana haji di Indonesia. Oleh karena itu, solusinya bukan untuk membangun infrastruktur melainkan properti yang dampaknya bisa dirasakan langsung bagi kemaslahatan jamaah haji Indonesia sesuai dengan amanat UU No.34 Tahun 2014 bahwa tujuan pengelolaan keuangan Haji untuk “Penyelenggaraan Ibadah Haji yang lebih berkualitas”.

Sebagai contoh, dana haji dapat digunakan untuk membangun hotel atau apartemen di Makkah yang bisa digunakan untuk kepentingan jamaah haji sehingga biaya naik haji bisa lebih murah. Adapun saat masa Umrah, properti tersebut bisa digunakan untuk kepentingan profit atau komersil sekedar untuk menutup operasional hotel/apartemen.

Transparasi pengelolaan dana haji juga menjadi faktor yang krusial. Jangan sampai dana haji disalahgunakan oleh kepentingan politik jangka pendek. Kemudian manajemen investasi di dalam BPKH haruslah manajemen yang profesional agar tidak terulang kisah pengelolaan dana BPJS Kesehatan yang yield atau imbal hasilnya kecil dibawah 8 persen per tahun. Setidaknya dengan pengelolaan yang profesional, imbal hasil dana haji per tahunnya bisa lebih dari 15 persen.

*) Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement