Jumat 28 Jul 2017 04:19 WIB

Upaya Kudeta 15 Juli: People Power dan Erdogan

Herri Cahyadi, mahasiswa doktoral Istanbul University
Foto: Dokpri
Herri Cahyadi, mahasiswa doktoral Istanbul University

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Herri Cahyadi *)

Tepat setahun yang lalu, 15 Juli 2016, Turki mengalami upaya kudeta militer berdarah yang berakhir dengan kegagalan total. Rakyat dan demokrasi memenangi pertarungan klasik politik antara sipil dan militer di Turki semenjak republik ini berdiri. Kudeta kali ini termasuk yang paling mengerikan sepanjang intervensi militer terhadap perpolitikan Turki.

Tidak kurang dari 290 orang tewas dan 2.194 terluka, gedung parlemen dan bangunan vital lainnya rusak berat. Berkat perlawanan rakyat yang didorong oleh seruan Presiden sah saat itu, upaya ini, hanya berlangsung selama semalam. Inilah momentum pertama kali upaya kudeta takluk di bawah kekuatan people power.

Upaya kudeta 15 Juli: mengerikan sepanjang sejarah Turki modern

Setelah pengumuman sepihak oleh komplotan pro-kudeta melalui siaran langsung televisi pemerintah, TRT, yang menyatakan pemerintahan saat itu tidak lagi terlegitimasi dan diambil paksa oleh militer, suasana di Istanbul dan Ankara menjadi mencekam. Jembatan Bosphorus ditutup, kantor berita dipaksa off air, tank-tank bergerak menguasai bandara Ataturk, gedung pemerintah, dan titik-titik vital seperti Taksim (Istanbul) dan Kızılay (Ankara), jet tempur melintas sangat dekat dengan tanah sehingga membuat orang-orang terhempas, masyarakat kebingungan dengan apa yang terjadi. Siaran televisi yang masih tayang pun tidak memunculkan suara; hanya gambar statis di titik-titik tertentu. Media sosial sulit diakses.

Sekitar dua jam setelah tentara memulai upaya kudeta, CNN Turk menayangkan siaran eksklusif secara live FaceTime seruan Erdogan agar masyarakat “menjawab” kudeta dengan membanjiri meydan (lapangan terbuka pusat aktivitas), masyarakat Turki pun merespons dengan cepat. Tentara berbalik panik saat masyarakat melakukan konfrontasi langsung dengan mereka, sehingga kontak fisik seperti mobil dan sipil yang dilindas tank, rebutan senjata, dan tembakan senjata terjadi di beberapa titik.

Saat FaceTime ini berlangsung diketahui bahwa Erdogan aman di Grand Hotel Marmaris, salah satu lokasi liburan di Turki, dan segera terbang ke Istanbul. Selang 1,5 jam setelah kepergian Erdogan, komplotan pro-kudeta menyerang hotel tersebut.

Kondisi berbalik setelah masyarakat, dibantu polisi dan tentara yang loyal terhadap pemerintah, mengepung dan melucuti tentara pro-kudeta. Di beberapa tempat sempat terjadi kontak senjata fatal yang mengakibatnya personel keamanan tewas. Gedung parlemen dibom berulang kali, gedung MIT (biro intelijen Turki) ditembaki. Setelah kedatangan Erdogan di bandara Ataturk, kekalahan pihak pro-kudeta tidak bisa dielakkan lagi.

Pagi menjelang siang, PM Binalı Yıldırım mengeluarkan rilis menyatakan pemerintahan tetap utuh, keamanan berhasil direbut, dan proses pelucutan senjata tentara pro-kudeta sedang berlangsung. Ini adalah akhir dari “malam panjang” percobaan kudeta terhadap pemerintahan demokratis di Turki.

Babak baru perpolitikan Turki

Ini merupakan babak baru dalam politik domestik Turki yang relatif memunculkan banyak spekulasi. Setidaknya ada dua hal yang bisa diambil sebagai bahan diskusi. Pertama, konsolidasi demokrasi pasca upaya kudeta 15 Juli menjadi momentum penegasan “kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat”. Tradisi kudeta militer yang menjadi jalan akhir penyelesaian masalah ekonomi dan politik di Turki besar kemungkinan akan berhadapan dengan people power.

Masyarakat yang semakin cerdas ditambah perilaku komunikasi yang tak terbatas, membuat gerakan massal mudah untuk terjadi. Dalam kasus 15 Juli, respons masyarakat Turki yang begitu cepat juga tidak lepas dari teknologi informasi dan sosial media yang telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. People power adalah jawaban untuk moncong senjata.

Kedua, Erdogan secara aklamatif disebut sebagai pahlawan setelah kegagalan upaya kudeta 15 Juli berkat seruannya. Pascakudeta, ia menerapkan state of emergency selama tiga bulan dan memulai pembersihan terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam FETÖ (Fethullahçı Terör Örgütü) atau Fetullah Terrorist Organization—tertuduh utama otak di balik upaya kudeta. Tidak kurang dari 50.000 orang ditangkap dan 170.000 diinvestigasi.

Banyak spekulasi yang menyatakan momen ini dimanfaatkan oleh Erdogan untuk bermanuver meraup dukungan pada referendum tahun berikutnya, sekaligus memberangus lawan politik. Kecemasan orang-orang liberal, sekuler, dan kiri yang frustasi menghadapi rivalitas Erdogan dan AKP di tiap pemilihan makin menjadi-jadi. Isu autoritarianisme dan diktaktorisme menjadi alat utama dalam menggembosi pamor Erdogan. Namun, apakah ini mempengaruhi preferensi rakyat di referendum April 2017?

Preventif peluang kudeta di masa depan

Inilah momen kebersamaan rakyat Turki dari segala golongan, parpol, ideologi, dan jemaat turun ke jalan menolak kudeta. Diperkuat dengan Deklarasi Bersama penolakan terhadap kudeta dari tokoh-tokoh oposisi utama seperti Kemal Kılıçdaroğlu dari CHP, Devlet Bahçeli dari MHP, dan tokoh-tokoh HDP. Di meydan-meydan, selama seminggu semenjak seruan Erdogan melalui FaceTime, mereka berkumpul melakukan nöbet (jaga).

Banyak masyarakat yang menyumbang makanan, minuman, teh, simit dan lain-lain secara gratis. Semua transportasi gratis selama seminggu. Operator seluler pun menghadiahi paket internet, SMS, dan bicara gratis. Momen yang kemudian dijadikan sebagai hari libur 15 Temmuz Demokrasi ve Milli Birlik Günü atau Hari Demokrasi dan Persatuan Bangsa.

Pesan dari momen ini adalah mengecilnya peluang militer untuk melakukan intervensi terhadap perpolitikan Turki di masa mendatang. Komplotan pro-kudeta selalu mengeksploitasi prinsip “militer adalah penjaga demokrasi dan sekulerisme” yang menjadi dasar dari sekian banyak kudeta di Turki. CHP pun yang berhaluan sekuler dan garis keras Kemalist, tidak menginginkan sekulerisme ada di tangan militer; tapi rakyat. Mental kekerasan via kudeta yang masih tersisa di kepala oknum militer harus dieliminasi. Ini adalah pandangan umum partai-partai politik di Turki, sekalipun mereka adalah oposisi keras AKP.

Erdogan dan AKP yang secara kontinyu mendoktrin “hakimiyet milletindir” atau “kedaulatan adalah milik rakyat” kepada publik sebagai bagian dari strategi mereduksi pengaruh militer dalam demokrasi Turki semenjak 2003 tentu semakin sukses. Perlu diketahui bahwa semenjak berkuasa, Erdogan melakukan purifikasi jenderal-jenderal yang secara frontal adalah sekuler. Pembersihan ini dibantu oleh Gulenist—yang kemudian justru menjadi musuh utama Erdogan—dengan menempatkan anggota Gulen di posisi-posisi strategis sebagai transaksi politik.

Lepas dari militer sekuler tidak berarti aman dari kelompok Gulenist yang ternyata tidak jauh berbeda. Meski demikian, demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat semakin populer. Dan jika rakyat Turki pada akhirnya benar-benar memahami arti hakimiyet milletindir, mungkin inilah puncak dari campur tangan militer di perpolitikan Turki. Sebab, rakyat telah berpengalaman bahwa people power mampu mengalahkan moncong senjata.

Dalam peringatan satu tahun percobaan kudeta 15 Juli kemarin, di jembatan Bosphorus, Erdogan lagi-lagi bernada persuasif dengan menyatakan, “Mereka menggunakan senjata berat. Sedangkan rakyat hanya memiliki bendera dan keimanan.” Dia menegaskan, “Orang beriman tidak akan jatuh ke dalam lubang untuk yang kedua kalinya.” Sebuah pesan eksplisit yang mudah dibaca.

Kemana arah preferensi politik rakyat Turki pasca kudeta?

Lalu, apakah ini berpengaruh terhadap preferensi politik publik? Meski lagi-lagi Erdogan muncul sebagai pahlawan pascakudeta, di mana momen ini sangat diharapkan dapat memberikan dampak signifikan terhadap referendum yang akan diadakan pada 16 April 2017, nyatanya tidak demikian. Pada referendum—yang mengubah sistem pemerintahan Turki dari parlementer ke presidensial—AKP hanya menang tipis dari kelompok oposisi, yaitu sebesar 51.41 persen. Angka yang identik dengan pilpres 2014 yang memenangkan Erdogan sebagai presiden (51.79 persen). AKP kehilangan suara di tiga kota besar; Istanbul, Ankara, dan Izmir.

Bahkan persentase ini di luar prediksi sebab MHP berada dalam satu barisan dengan AKP yang diharapkan dapat mendongkrak suara “EVET”. Fenomena ini kemungkinan disebabkan kelompok rasional dari pemilih AKP yang tidak mau perubahan sistem pemerintahan terjadi (sebagai contoh Istanbul yang sebelumnya merupakan basis utama AKP, ini adalah kekalahan Erdogan pertama semenjak 1994 saat ia menjabat sebagai walikota) atau mayoritas suara MHP (11.9 persen, berdasarkan pemilu November 2015) hanyalah fantasi kalkulasi di atas kertas. Ini berarti peluang Erdogan untuk memenangi Pilpres 2019 adalah 50:50, dengan catatan oposisi wajib mengajukan satu figur tunggal yang populer dan diterima segala kalangan. Dan jelas, ini adalah problem utama kelompok oposisi. 

Narasi demonisasi media Barat terhadap Erdogan dengan isu autoritarianisme dan diktaktorisme tidak cukup adil sebab kenyataannya Erdogan mendapatkan segala kekuasaan berdasarkan prosedur konstitusional. Sebagai contoh kesesatan opini media, jika hasil EVET memenangi referendum, maka seolah otomatis Erdogan akan menjadi presiden Turki selama dua periode hingga 2029.

Erdogan akan memiliki power eksekutif yang lebih dari sistem pemerintahan sebelumnya. Ini tentu sesat pikir yang menegasikan rasionalisme pemilih Turki. Media Barat terlalu fokus kepada personal Erdogan dan sedikit memberikan perhatian kepada mayoritas rakyat yang memilihnya. Stabilitas ekonomi, peningkatan taraf hidup, fasilitas publik yang memuaskan, menjadi faktor mengapa Erdogan dan AKP disukai oleh rakyat kebanyakan. Bila mayoritas rakyat menginginkan demikian, apakah mereka salah?

Erdogan masih harus bertarung di Pilpres jika ingin menjadi presiden di konstitusi yang baru. Dan, melihat hasil referendum kemarin, AKP cukup kecewa. Angin segar justru berhembus ke arah oposisi, di mana hampir separuh penduduk Turki tidak mendukung AKP dan Erdogan. Bukan jumlah yang kecil, sebab artinya Turki “terbelah” menjadi dua. Momen 15 Juli, yang secara aklamatif menjadikan Erdogan sebagai jagoan utama, tidak bisa mengubah preferensi pemilih Turki yang cenderung semakin rasional. Meski memiliki pemilih loyal di sekitar 51 persen, tidak menjamin kekuasaan Erdogan akan bertahan lama.

Dari sini bisa diambil kesimpulan bawah benar bahwa demokrasi memenangi pertarungan melawan militer. Jutaan rakyat Turki yang membanjiri meydan, jalan-jalan protokol, dan gedung-gedung vital pemerintahan menyambut seruan Erdogan agar melakukan perlawanan terhadap upaya kudeta menjadi bukti militer tidak lagi memiliki pengaruh di perpolitikan domestik. Seluruh partai baik incumbent dan oposisi bersatu, media yang notabene berseberangan dengan Erdogan justru menjadi sumber pemberitaan antikudeta. Kudeta adalah musuh demokrasi dan rakyat Turki mulai memahami ini sebagai sebuah hal yang prinsipil.

Darah sipil yang tertumpah dalam membentengi demokrasi menjadi momen berharga perpolitikan Turki. Tradisi kudeta militer dalam “mengamankan” situasi politik tidak bisa lagi dibenarkan atas nama apapun. Erdogan bisa jadi gagal dalam pemilihan presiden 2019, tapi legasi demokrasi yang ia tancapkan dalam sendi-sendi perpolitikan Turki akan dikenang sebagai titik balik supremasi sipil.

*) Mahasiswa doktoral Istanbul University.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement