Ahad 16 Jul 2017 09:26 WIB

Ada Apa dengan Pajak dan RAPBN-P 2017?

Ilustrasi Bayar Pajak Online
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Bayar Pajak Online

Oleh: Dr Fuad Bawazier MA*

A.Dalam RAPBN-P 2017 kembali pemerintah menurunkan target pencapaian (realisasi) pajak dg lebih dari Rp 50 triliun. Menilik pada pengalaman rata rata 10 th terakhir ini biasanya RAPBN-P memang menurunkan target penerimaan pajak dari APBN aslinya dan celakanya realisasi akhirnya juga akan lebih turun lagi.

Ini kebalikan dari masa Orba ketika RAPBN-P nya lebih tinggi dari target pajak dlm APBN aslinya dan realisasinyapun lebih tinggi lagi dari  RAPBN-P yg sudah dinaikkan itu. Dan ini juga bukan permainan target seperti yg sering dituduhkan bahwa target pajak dalam APBN semasa Orba dikecilkan, tetapi memang realisasi pajak dari tahun ke tahun saat itu meningkat sehingga tidak pernah menggunakan utang negara utk menutup shortfall pajak. Utang negara hanya untuk membiayai pembiayaan projek dan program.

B. Kegagalan dalam merealisasikan target pajak yang berturut turut ini bukan saja mengurangi kredibilitas keuangan negara tetapi juga menambah utang negara utk menutup defisit APBN yg membesar, bukan utk projek baru.

Meskipun rasio utang negara thdp PDB masih dibawah 30% (dari batas maksimal 60%), tetapi bila dilihat dari kekuatan likuiditas atau rasionya thdp APBN, yaitu kewajiban pembayaran cicilan utang pokok dan bunganya sudah cukup memprihatinkan. Utang negara yg akan jatuh tempo sampai dengan 2019 mencapai Rp 780 trilun. 

Utang itu mencakup, total utang Pemerintah Rp 3672T atau setara 275 Miliar Dolar AS yang terdiri dari utang dalam bentuk SBN sebanyak Rp 2.944 Triliun dan pinjaman multilateral-bilateral Rp 728 Triliun.

Terjadinya defisit keseimbangan primer APBN yang terus menerus menunjukkan bahwa Pemerintah tidak semata-mata gali lobang tutup lobang tetapi memang menggali lobang yang lebih besar sebab sebagian utang baru itu di gunakan untuk membayar bunga utang lama (tidak sekedar untuk membayar utang lama yg jatuh tempo).

C. Sementara itu Pemerintah harus terus melanjutkan  pembangunan infrastruktur yang memang sudah amat tertinggal yang mengakibatkan Indonesia selalu kalah bersaing akibat high cost economy. Dengan kata lain, sementara pengeluaran untuk belanja negara terus meningkat tetapi penerimaan pajak negara justru cenderung menurun.

Khusus dalam soal ntuk meningkatkan penerimaan negara sekarang ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak sepantasnya lagi mengulangi "nyanyian" yang sama seperti waktu beliau menjabat Menkeu periode SBY, yaitu Reformasi Administrasi Pajak sebab sudah terbukti gagal.

Sekedar mengingatkan bahaw pada waktu yang lalu Sri Mulyani dengan anggaran bertriliun rupiah dari utang Bank Dunia sudah melaksanakan berbagai reformasi  di Ditjen Pajak termasuk meningkatkan take home pay, reorganisasi, konsultan internasional dll.Hasilnya justru tax ratio turun, penerimaan pajak melemah, perkara dan tunggakan pajak meningkat tajam, kasus kasus korupsi pajak semakin menonjol dan restitusi pajak tetap saja bermasalah.

 

Pemerintah Indonesia juga jangan terlalu berharap banyak thdp AEOI (pertukaran data keuangan-perbankan) dengan pihak

Singapura mengingat ketatnya syarat dan kondisi yang belum tentu dapat dipenuhi pihak Indonesia dalam waktu dekat ini, serta adanya kepentingan yg berbeda.

Belum lagi faktor peluang WP (wajib pajak) yang dengan mudah bisa mengalihkan data keuangannya ke negara lain yang tdk terikat dg kesepakatan AEOI maupun dengan cara membungkus perusahaannya seolah-olah milik asing (bukan WNI).

Pemerintah juga tidak perlu mengambil langkah langkah yang menakutkan WP atau yg bernada mengancam WP, karena di tengah bisnis yg sedang lesu kebijakan yg tidak bisnis friendly cenderung  merugikan perekonomian.

D. Terobosan yang harus dipertimbangkan Pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak adalah:

1. Merealisasikan sesegera mungkin pembentukan Badan Penerimaan Negara sebagaimana yg telah diajukan Presiden ke DPR.

2. Tax ratio yg sekarang baru 10,3% harus bisa ditingkatkan minimal menjadi 14% PDB dalam 2-3 tahun ini. Dengan PDB yg mendekati Rp 14.000 Triliun, peningkatan per 1% berarti Rp 140 Triliun.

3. Peningkatan realisasi pajak dilakukan dengan penyederhanaan pemungutan pajak satu dan lain hal untuk mengurangi perkara perkara pajak, dan restitusi pajak yang rentan penyelewengan. Pemungutan pajak yg sederhana selain lebih mudah, murah dan praktis pelaksanaannya, juga memberikan kepastian kepada WP.

Contohnya adalah setiap penghasilan bunga dari bank dikenakan PPh Final 20%, suatu jumlah/ tarif pajak yang sebenarnya amat tinggi tetapi karena praktis dan pasti, tidak ada WP yang protes dan aparat pajak juga tdk repot (zero cost of collection) karena pemungutan nya dilaksanakan oleh perbankan.

Contoh lainnya adalah dalam soal pemungutan PPh Final atas transaksi jual beli saham di BEI yg dikenakan 0,1% yang pelaksanaannya oleh PT. BEI sehingga praktis aparat pajak tidak perlu mengeluarkan tenaga maupun biaya.

4. Pembentukan Badan Penerimaan Pajak yang langsung berada dibawah Presiden juga sebagai penegasan prinsip akuntabilitas, yakni pemisahan pengelola penerimaan negara dari pengelola pengeluaran negara.

5. Penyederhanaan pajak oleh Badan ini juga termasuk mengkaji perubahan PPN dan PPn BM (Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah) yg meski sudah diberlakukan sejak 1985 tetap saja merepotkan baik WP maupun aparat pajak sebab perhitungan dan pengadministrasian pajak keluaran dan pajak masukan yang kompleks.

 

Demikian saran dan masukan tentang peningkatan penerimaan pajak negara. Terima kasih.

Jakarta, 15 Juli 2017.

*Dr Fuad Bawazier, MA (mantan Dirjen Pajak dan menteri keuangan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement