Selasa 11 Jul 2017 04:36 WIB

Pangsa Pasar Syariah yang Mana Lagi?

Murniati Mukhlisin
Foto: istimewa
Murniati Mukhlisin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Murniati Mukhlisin MAcc *)

Setiap bicara soal perkembangan keuangan syariah terutama perbankan syariah, yang menjadi fokus utama adalah pangsa pasar. Pangsa pasar perbankan syariah yang besar berarti penerimaan masyarakat makin tinggi. Saat ini, pangsa pasar perbankan syariah berada pada kisaran 5,13 persen. Angka yang cukup meresahkan baik bagi regulator perbankan syariah maupun bagi yang aktif di industry perbankan syariah. Betapa tidak, negara tetangga paling dekat yaitu Malaysia yang hanya punya angka penduduk 10 persen dari jumlah penduduk Indonesia telah melejit mencapai pangsa pasar perbankan syariah di angka 28 persen pada akhir tahun 2016 yang lalu.

Maka dari itu, Kementerian BUMN bertekad mengembangkan perbankan syariah agar pangsa pasarnya bisa mencapai angka 10 persen pada 2017 ini. Caranya adalah bank induk syariah BUMN akan mencari mitra dari pihak luar untuk menambah ekuitas bank syariah, seperti yang dikatakan oleh Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Konstruksi dan Jasa Lain, Gatot Trihargo di swamedium.com belum lama ini.

Selain industri keuangan syariah, Otoritas Jasa Keuangan mentargetkan pangsa pasar industri keuangan non-bank (IKNB) syariah bisa mencapai kisaran lima persen pada 2017 ini. Direktur IKNB Syarih Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Moch Muchlasin di bisnis.com beberapa waktu yang lalu menyatakan optimis akan kenaikan pangsa pasar industri keuangan non-bank syariah yang saat ini umumnya paling besar disumbangkan oleh industri asuransi syariah.

Pangsa pasar yang terlupakan

Luqyan Tamanni, dosen STEI Tazkia membentangkan riset inklusi keuangan baru-baru ini. Luqyan mengatakan, bahwa sekitar 40 persen masyarakat Indonesia belum mempunyai akses langsung ke sektor keuangan termasuk perbankan. Padahal, King & Levine (1993) menyebutkan peran penting perkembangan sektor keuangan dengan pertumbuhan ekonomi maka dari itu perlu jangkauan yang intensif kepada 40 persen kelompok ini.

Para penggerak industri perbankan syariah dan non bank syariah harusnya melirik tajam pangsa pasar yang belum terjamah ini bukan terus-terusan merebut pangsa pasar yang berjumlah hanya berjumlah 60 persen dari lingkaran perbankan konvensional.

Gerakan 212, contohnya, memiliki semangat untuk “Rush Money” dari pemilik dana bank konvensional yang ribawi ke rekening syariah. Pada saat gerakan itu terjadi Desember 2016 yang lalu, prediksi industri keuangan syariah “Rush Money” betul-betul akan terjadi secara besar–besaran.

Tetapi ketika dikonfirmasi oleh penulis, ternyata gerakan tersebut tidak berpengaruh besar. Bank Jabar Banten Syariah yang berlokasi di Jawa Barat, contohnya, mengatakan, bahwa tidak ada dampak apapun di kwartal pertama tahun 2017 tentang isyu “Rush Money”. Hanya Bank Syariah Mandiri yang merupakan bank syariah terbesar di Indonesia yang mengatakan bahwa ada sedikit dampak setelah gerakan 212, namun tetap tidak signifikan.

Ternyata tantangan terbesar adalah pada literasi keuangan syariah yang masih 10 persen, sementara literasi keuangan secara umum masih 30 persen. Sehingga, jangkaun nasabah baru harus diimbangi edukasi besar-besaran dan terukur terhadap masyarakat yang masih “belum melek” produk atau risiko keuangan.

Siapakah pangsa pasar 40 persen ini?

Umumnya mereka yang berada dalam kelompok ini adalah masyarakat kelas bawah, walaupun tidak mempunyai banyak dana segar untuk disalurkan namun berpotensi tinggi untuk menjadi mitra industri perbankan syariah atau keuangan syariah. Kalaupun mereka mempunyai kesiapan bermitra, tetapi tidak mempunyai cukup akses ke perbankan syariah.

Maka dari itu, pemerintah mencanangkan keuangan inklusif yang bertujuan untuk merangkul masyarakat dari kalangan bawah ini untuk berpartisipasi aktif dalam kancah keuangan nasional.

Peraturan Presiden no. 82 tahun 2016 telah mencantumkan strategi nasional untuk hal ini yang berbunyi: Strategi Nasional Keungan Inklusif atau SNKI adalah strategi yang dituangkan dalam dokumen yang memuat visi, misi, dan kebijakan keuangan inlusif dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antar individu dan antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Disebutkan juga paling tidak ada 6 Pilar Strategi Nasional Keuangan Inklusif yaitu edukasi keuangan, fasilitas keuangan publik, pemetaan informasi keuangan, kebijakan yang mendukung, fasilitas intermediasi dan saluran distribusi, dan perlindungan konsumen.

Intinya, keuangan inklusif ini seharusnya dijadikan strategi bersama bagaimana supaya pangsa pasar yang “buta huruf tentang keuangan” ini dapat dirangkul yang kelak dapat menambah pangsa pasar industri perbankan syariah dan keuangan syariah secara keseluruhan. Umumnya mereka adalah kaum lemah yang disebut di dalam Alquran Surah An-Nisa (4): 98 “mustad’afiin” yang dari pemahaman Tafsir Ibnu Katsir, 6 pilar di atas secara eksplisit telah merespon seruan ayat ini.

 

Siapakah mustad’afiin ini?

Alquran membentangkan ayat-ayat yang yang berpihak kepada kaum lemah yang seharusnya hijrah dari tempat yang tidak baik ke tempat yang dapat merubah nasibnya untuk menjadi lebih baik (QS An-Nisa (4): 97-100). Ayat 98 menegaskan kaum lemah yang tertindas (mustad’afiin) itu adalah laki – laki atau perempuan dan anak – anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah.

Pemberdayaan bagi kaum ini tentu saja sangat mulia, seperti memberikan edukasi tentang keuangan seperti salah satunya adalah bagaimana dapat meningkatkan produktifitas ekonomi keluarga termasuk mengatur keuangannya. Yang kelak hijrah ke tempat yang lebih baik inilah akan mendapatkan “wasa’ah” atau rezeki yang berlimpah (Ayat 100).

Salah satu peserta pemberdayaan ekonomi di daerah Bogor pernah menyampaikan rasa syukurnya saat penulis berkunjung. Dia mengatakan bahwa seumur hidup selalu terjerat utang dan tidak tahu bagaimana berdikari namun setelah mengikuti program pemberdayaan ekonomi dhuafa, sang ibu mengatakan bahwa dia sudah melunasi semua utangnya, bahkan sekarang sudah memiliki tabungan masa depan sebesar Rp 2.5 juta. 

Inilah salah satu bentuk keuangan inklusif yang seharusnya dapat menjaring kelompok pangsa pasar 40 persen yang buta huruf keuangan ini. Sudah saatnya segenap penggerak perbankan syariah ikhlas untuk “bekerja keras” sehingga dapat menggaet kelompok mustad’afiin ini. Bukan hanya target kinerja (Key Performance Indicators) tapi target amal jariah juga inshaaAllah akan tercapai. Wallahu a'lam bis-shawaab. Salam Sakinah!

*) Sakinah Finance/STEI Tazkia/Ikatan Akuntan Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement