Senin 10 Jul 2017 01:00 WIB

Keuangan Keluarga Poligami

Murniati Mukhlisin
Foto: istimewa
Murniati Mukhlisin

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Murniati Mukhlisin MAcc *)

Mengenai topik Sakinah Finance kali ini, sebagian ibu-ibu mungkin sudah pasang wajah sewot, tapi mungkin sebagian menanti-nanti karena mungkin ada manfaatnya untuk dibaca. Mari kita lihat di bawah ini.

Keuangan dan poligami

Di dalam QS An-Nisa (4): 3, Allah memberikan izin bagi kaum Adam untuk menikahi istri lebih dari satu, bisa beristri dua, tiga atau empat dengan tujuan supaya tidak menyimpang dari kebenaran (Tafsir Al-Munir hal 571). Dalam tafsir tersebut, dijelaskan bahwa pada saat yang bersamaan Allah memberikan wanti-wanti bagi yang tidak bisa bersikap adil kepada istri-istrinya dari segi nafkah, giliran, mempergauli, dan meladeni, maka dari itu Allah perintahkan untuk beristri satu saja. Dari pesan-pesan dalam ayat itu, tampak jelas bahwa poligami berkaitan erat dengan berbagai kesiapan termasuk keuangan.

Ada beberapa kewajiban keuangan bagi suami baik yang memilih jalan monogami atau poligami. Yang pertama adalah pemberian mahar kawin dengan dasar ikhlas dan tulus, yang bersifat haniian mariian (enak dan berakibat baik). Dari ayat ini saja sudah timbul satu kewajiban keuangan bagi laki-laki ketika menikahi perempuan, baik pernikahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat kalinya.

Rasulullah SAW mencontohkan pemberian mahar dalam bentuk barang yang bernilai uang (sejumlah unta sebagai mahar kepada Khadijah istri pertamanya, ada yang menyebutnya 20 dan 100) atau uang dirham kepada istri-istri lainnya. Begitu juga yang diberikan Ali bin Abi Thalib kepada Fatimah Az-Zahra putri Rasululllah SAW adalah 12 uqiyah (HR Darimi No. 2103; Ibnu Majah No. 1877), atau sekitar 500 dirham, Rp 30 juta nilai sekarang.

Walau demikian, ada pengecualian bagi lelaki yang tidak mampu dari sisi keuangan, tapi sudah wajib menikah dari sisi syariah, yang kemudian diperbolehkan Rasulullah SAW untuk memberikan mahar hafalan Qur’an, karena sang lelaki hanya punya sehelai sarung, tidak mampu mencari walau sebuah cincin besi (lihat HR Bukhari No. 5422; HR Nasa’i No. 3287; HR Darimi No. 2104).

Model keuangan keluarga poligami

Di dalam Tafsir Al-Munir mengenai QS An-Nisa (4): 3 dan 129, Syaikh Wahbah az-Zuhaili menekankan keadilan dalam bentuk nafkah ekonomi seperti makanan, minumun, pakaian dan tempat tinggal (Ayat 3) dengan pengecualian dalam pengertian makna adil yang tidak dibebankan kepada para suami yang berupa rasa cinta, hasrat, dan berbagai naluri alamiah, karena hal-hal tersebut adalah diluar batas kemampuan manusia (Ayat 129). 

Dari hasil diskusi dengan Ustaz Abdul Mughni dan Ustaz Shaifurrokhman Mahfudz dari STEI Tazkia, ada beberapa rujukan yang dapat kita pelajari mengenai model keuangan keluarga, sebagai berikut:

Rasullah SAW pernah memberikan contoh bagaimana hidup mandiri kepada seseorang yang tidak dapat memberikan nafkah kepada keluarganya. Rasulullah SAW menyuruhnya untuk mengambil sesuatu yang berharga di rumahnya. Kemudian dia mengambilnya dan menyerahkannya kepada Rasulullah SAW, yaitu selembar selimut dan sebuah cangkir.

Rasulullah kemudian menjualnya melalu proses lelang yang akhirnya seorang pembeli membayarknya dengan 2 dirham. Lalu Rasulullah SAW memberikan hasil lelang itu kepada laki-laki tersebut. Setelah itu, menyuruhnya untuk membelikan makanan untuk keluarganya serta membeli sebuah kapak untuk mencari kayu bakar dengan kapak itu. Beberapa hari kemudian, laki-laki itu kembali menghadap Rasulullah SAW dan melaporkan bahwa ia telah mendapatkan 10 dirham dari usahanya (HR. Ibnu Majah).

Seorang lelaki yang memiliki 2 dinar datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya apa yang harus dia buat dengan uang tersebut kemudian dia diberikan nasihat untuk menginfaqkan satu dinar untuk dirinya sendiri dan satu dinar lagi untuk istri, anak, dan pembantunya (HR Abu Dawud Ibnu Hibban).

Rasulullah SAW bersabda: suatu waktu ketika seorang di tanah luas mendengar suara awan di langit "siramilah kebun fulan" dan awan tersbut bergerak menuju kebun yang dimaksud dan menyiraminya. Ketika ditanya apa yang menyebabkan awan menyirami kebunnya sang lelaki menjawab: setiap panen dari kebun ini aku jadikan tiga bagian 1/3 disedekahkan, 1/3 dikonsumsi untuk pribadi, dan keluarga 1/3 dikembalikan untuk perawatan (HR Muslim).

Dari contoh-contoh di atas, Rasulullah SAW sangat jelas menekankan pentingnya memberi nafkah yang berkesinambungan untuk keluarga dan membiasakan hidup mandiri serta memiliki harta dan pada saat yang bersamaan gemar bersedekah walau sedang dalam keadaan sulit. Bagi keluarga poligami, nasihat-nasihat tersebut di atas dapat menjadi rujukan dalam praktik keuangan keluarga.

Tips

Ada tips lain dari ilmu manajemen keuangan modern yang juga dapat membantu pengelolaan keuangan keluarga poligami yaitu dengan cara membuat perencanaan yang tercatat rapi per keluarga, yang dipegang oleh setiap istri.

Contohnya anggaran belanja tahunan, impian keluarga, arus kas lengkap dengan prioritas pengeluaran, daftar utang piutang, perhitungan zakat, daftar harta terpisah antara suami dan istri, serta edukasi perhitungan harta waris. Tentu saja dalam perencanaan ini, semuanya harus dibahas dalam keluarga masing-masing.

Dalam kesempatan ini, ada satu ilustrasi perhitungan harta waris dalam keadaan jika suami meninggal dunia. Misalnya, si mayit meninggalkan orangtua kandung, empat istri, dua anak laki-laki dari istri pertama dan satu anak perempuan dari istri keempat.

Dari pemahaman QS  An-Nisa (4): 11-12 perhitungannya adalah sebagai berikut: katakanlah harta bersih setelah dikurangi utang dan wasiat adalah Rp 100 juta, maka pembagiannya adalah 1/6 bagian untuk ayah kandunag mayit (sekitar Rp 16,6 juta), 1/6 untuk ibu kandung mayit (sekitar Rp 16,6 juta), 1/8 untuk para istri yang ditinggal (Rp 12,5 juta atau Rp 3.125.000 per istri), dan sisanya sekitar Rp 54,1 juta dibagikan untuk dua anak laki-laki  (masing-masing mendapatkan sekitar Rp 21,6 juta) dan satu anak perempuan (Rp 10,8 juta). Beberapa perhitungan di atas adalah pembulatan.

Siapkah berpoligami?

Rasulullah SAW memutuskan menikah lagi setelah ditinggal mati oleh Khadijah, istri pertama dan satu-satunya. Saat itu, usia Rasulullah SAW adalah 54 tahun dimana ketika kebutuhan atau hasrat biologis pada usia ini biasanya menurun (Tafsir Al-Munir). Yang dinikahi Rasulullah SAW pun adalah umumnya janda. Artinya, tujuan Rasulullah SAW berpoligami adalah tujuan kemanusiaan, sosial, dan ke-Islaman, dan cobaan hidup bagi Rasulullah SAW tidaklah mulus ketika berpoligami. Hal ini adalah contoh bagi kita semua dimana orang mulia seperti Rasulullah SAW dan para istri-istrinya yang digelar ummul mu’minin pernah berselisih karena rasa cemburu dan hak menuntut keadilan.

Masalah keuangan juga harus dipikirkan oleh suami bukan hanya ketika di awal menikah, tetapi ketika sudah menikah, ketika masing-masing istri mempunyai anak dan ketika ajal datang dimana urusan harta waris untuk kecukupan dan kemandirian para keluarga yang ditinggalkan. Tentu saja pemahaman soal harta perlu ditanamkan dengan menekankan faktor tarbiyah ruhiyah dalam jiwa istri dan anak-anak. 

Misalnya, dalam buku Alfu Qishshoh wa Qishshoh oleh Hani Al Hajj dibandingkan tentang dua khalifah di jaman Dinasti Bani Umayyah: Hisyam bin Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz masing-masing memiliki 11 anak. Hisyam meninggalkan warisan kepada masing-masing anak lelakinya sebesar 1 juta dinar sedangkan Umar hanya mewarisi setengah dinar. Ternyata putra Umar yang lebih sukses dalam bidang keuangan dibandingkan putra Hisyam.

Urusan poligami adalah sesuatu yang syar’i, tapi tentu harus banyak ilmu yang harus dipelajari yang salah satunya adalah bab keuangan keluarga Islami. Wallahu a'lam bis-shawaab. Salam Sakinah!

*) Motivator Sakinah Finance/Wakil Ketua STEI Tazkia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement