Kamis 06 Jul 2017 05:00 WIB

Pemilu Serentak dan Stabilitas Pemerintahan

Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy (Kana) dan Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis (kiri), saat menjadi pembicara pada dikusi dengan tema 'Menuju Pemilu Serentak 2019' di Media Center Kompleks Parlemen (Ilustrasi)
Foto: Republika/Ali Mansur
Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Edy (Kana) dan Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis (kiri), saat menjadi pembicara pada dikusi dengan tema 'Menuju Pemilu Serentak 2019' di Media Center Kompleks Parlemen (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Catur Alfath Satriya *)

 

Pembahasan RUU Pemilu sepertinya akan berlangsung dengan alot. Pemerintah melalui Mendagri masih bersikeras untuk tetap memasukan pengaturan mengenai Presidential Threshold di dalam RUU Pemilu. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah yang dilakukan oleh Pemerintah bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan secara serentak. Setidaknya ada dua pertimbangan mengapa Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pemilu harus dilakukan secara serentak.

Pertama, terkait dengan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”

Menurut Mahkamah Konstitusi pasal tersebut menjelaskan bahwa Pemilihan Umum DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD tidak boleh dilaksanakan secara terpisah. Hal ini dikarenakan secara gramatikal pasal tersebut diucapkan dalam satu tarikan napas.

Kedua, terkait dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Menurut Mahkamah Konstitusi pasal tersebut menjelaskan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Pemilu yangt dimaksud adalah sebagaimana yang dijelaskan di Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD.

Oleh sebab itu, apabila ditafsirkan secara sistematis maka Pemilu yang dilaksanakan di Indonesia seharusnya hanyalah satu kali yaitu Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD yang dilakukan secara serentak.

 

Pemilu serentak dan stabilitas pemerintahan

Menurut Fitra Arsil (2015) salah satu cara yang dapat digunakan agar terciptanya stabilitas pemerintahan di dalam sistem pemerintahan presidensial adalah dengan menerapkan pemilu serentak antara legislatif dan eksekutif. Hal ini didasarkan pada dua alasan yaitu pertama pemilu serentak antara legislatif dan eksekutif dapat menghasilkan apa yang disebut sebagai coattail effect.

Coattail effect yaitu efek yang timbul yang mana preferensi pemilih akan dipengaruhi oleh kandidat presiden. Dengan adanya coattail effect ini diharapkan partai pendukung Presiden yang terpilih juga merupakan mayoritas di parlemen sehingga tercipta komposisi politik yang kongruen antara eksekutif dengan legislatif.

Kedua, dengan adanya pemilu serentak diharapkan tidak terjadi fenomena multipartism atau fragmentasi politik yang terlalu tinggi karena diharapkan partai pendukung Presiden menjadi mayoritas atau mendekati mayoritas. Oleh sebab itu, agar pemilu serentak dapat terlaksana dengan baik dan demokratis pengaturan mengenai Presidential Threshold harus dihapuskan.

Hal ini dikarenakan adanya pengaturan Presidential Threshold tidak sesuai dengan semangat pelaksanaan pemilu serentak. Pemilu serentak memberikan kesempatan kepada partai politik baik yang lama maupun yang baru untuk berkontestasi dalam kedudukan yang sama (same level of playing field).

Selain itu, adanya pengaturan mengenai Presidential Threshold membuat coattail effect tidak akan terjadi dan semakin memicu terjadinya multipartism atau fragmentasi politik di parlemen. Fragmentasi politik yang semakin banyak di parlemen akan membuat terciptanya minority government yang justru akan memperlemah bargaining position eksekutif terhadap legislatif.

Hal ini dapat dilihat bagaimana di awal periode pemerintahan Jokowi-JK harus menambah “anggota” Koalisi Indonesia Hebat yang awalnya secara jumlah kalah dengan Koalisi Merah Putih. Hal ini bertujuan agar hubungan eksekutif dan legislatif bisa berjalan dengan baik dan tidak terjadi deadlock dalam pengambilan keputusan politik.

  

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa keinginan pemerintah untuk memasukan lagi pengaturan mengenai Presidential Threshold tidak lain dan tidak bukan bahwa pemerintah ingin status quo dan mengamankan kursi di tahun 2019. 

*) Asisten peneliti di Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement