Kamis 29 Jun 2017 08:56 WIB

Kau adalah Aku Yang Lain: Batas Fiksi dan Provokasi

Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto (kedua kanan) bersama Ketua Panitia Police Movie Festival 4 AKP Ardila Amri (kanan), Dewan Juri Police Movie Festival 4 Renny Djayusman (kiri), produser animasi Wahyu Aditya (kedua kiri), dan penulis cerita Upi Avianto (tengah) menjawab pertanyaan wartawan jelang penganugerahan Police Movie Festival 4 di Jakarta, Sabtu (10/6).
Foto: Republika/Puspa Perwitasari
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto (kedua kanan) bersama Ketua Panitia Police Movie Festival 4 AKP Ardila Amri (kanan), Dewan Juri Police Movie Festival 4 Renny Djayusman (kiri), produser animasi Wahyu Aditya (kedua kiri), dan penulis cerita Upi Avianto (tengah) menjawab pertanyaan wartawan jelang penganugerahan Police Movie Festival 4 di Jakarta, Sabtu (10/6).

Oleh DR Iswandi Syahputra

Apakah benar dalam realitasnya Muslim Indonesia atau Muslim nusantara ada yang menolak mobil ambulans melintas saat mengangkut korban dari umat non-Muslim karena alasan sedang menggelar pengajian seperti yang digambarkan dalam film Kau adalah Aku yang Lain?

Mungkin ADA, mungkin juga TIDAK ADA...

JIKA ADA, dan itu hendak diangkat dalam sebuah film maka ada 2 alasannya:

1). Itu merupakan common sense. Walau jarang terjadi, memungkinkan terjadi dan pernah beberapa kali terjadi sehingga khalayak bisa menerimanya. Kecuali khalayak berkebutuhan khusus. Misalnya, film yang berkisah tentang poligami (Film Ayat-Ayat Cinta). Film ini--kendati poligami bukan hal yang dilarang dalam agama Islam--dikritik oleh aktivis gender dan ditolak oleh emak-emak yang keberatan suami mereka berbagi bantal dan kasur dengan perempuan lain.

Biarin aja, sebab memang terbuka atau diam-diam poligami itu ada faktanya dan boleh sebagai ajaran agama. Kalau ada yang menolak, biarin aja. Wong itu ajaran agama, kok ditolak. Daripada menolak filmnya, lebih baik jaga suami di rumah agar tidak poligami. Bagi suami yang berniat poligami, untuk diketahui poligami itu juga tidak mudah ya...

2). Itu bukan merupakan common sense. Walau jarang terjadi tapi memungkinkan pernah sesekali terjadi, tapi khalayak umum tidak bisa menerimanya karena memang tidak umum terjadi. Dan yang paling amat terpenting tidak ada landasan sosiologis, yuridis, bahkan filosofisnya. Beda dengan film tentang poligami yang saya contohkan sebelumnya.

Misalnya, film yang berkisah tentang seorang Muslim berpindah agama (Film ?), kebetulan saya pernah menjadi pembedah film ini bersama sutradara dan pemainnya saat gala premier di sejumlah kota. Atau film yang berkisah tentang seorang gadis Minang yang masyarakatnya sangat religius dan dikenal sebagai masyarakat Muslim, tapi justru digambarkan sebagai penganut Katolik (Film Cinta Tapi Beda).

Kedua film tersebut walaupun mungkin faktanya ada dalam realitas, muncul sebagai arus utama dalam berkisah. Lantas untuk apa dimunculkan? Mungkin saja karena ingin mempromosikan suatu nilai baru, misalnya, tentang toleransi dan harmoni atau pluralisme dalam agama. Ada misi yang hendak disampaikan.

Dalam film ? saya melihat misi kehidupan harmoni antarumat beragama. Dalam film Cinta Tapi Beda, saya tidak ingin memberi komentar. Bukan karena sutradaranya sahabat baik saya, tapi saya pernah nyantri di Padang Panjang. Jadi sedikit banyak merasakan suasana kebatinan urang awak dan paham kultur religi di Minangkabau. Selain itu film ini kan juga sudah ditarik dari peredaran karena ditolak keras oleh masyarakat Minangkabau.

JIKA TIDAK ADA, dan itu hendak diangkat dalam sebuah film maka ada 2 alasannya:

1) Merupakan film fiksi yang ingin menghibur penonton. Misalnya, film Superman, Batman, dll.

Pertanyaannya, apakah film tentang umat muslim menolak ambulance yang mengangkut pasien/korban non-Muslim dalam film Kau adalah Aku yang Lain itu menghibur? Jika ini dinilai menghibur, saya pastikan ada saraf humoris Anda yang rusak oleh Islamofobia.

2) Merupakan film fiksi yang ingin mencerahkan penonton. Misalnya film Transcendence atau film The Way; A Journey to Find YOU.

Kalau isi film tersebut tidak sesuai fakta, biarin aja. Namanya juga fiksi...

Yang menjadi masalah kemudian adalah, sebuah film bukan kategori fiksi (dalam arti kisah dalam film tersebut ada dasar realitasnya), tapi menyangkut identitas religius yang dinarasikan sebagai hal negatif.

Simpelnya begini.

Mencuri itu fakta (IYA), bersifat umum (IYA), ajaran agama (TIDAK). Jika ada film tentang pencurian, bahkan berkisah tentang teknik mencuri, penonton akan menikmatinya...

Poligami itu fakta (IYA), bersifat umum (TIDAK), ajaran agama (IYA). Jika ada film tentang poligami, bahkan berkisah tentang teknik poligami, penonton akan menikmatinya...

Umat Islam menolak ambulans yang mengangkut korban non-Muslim itu fakta (mungkin IYA, mungkin TIDAK), bersifat umum (TIDAK), ajaran agama (TIDAK).

Jika fakta sebagai dasar realitasnya masih kabur, tidak berlaku umum, dan bertentangan dengan ajaran agama tapi dijadikan film dan dipilih sebagai pemenang dalam sebuah kompetisi maka dia identik dengan provokasi karena mengandung suatu misi. Dan ini hal biasa dalam dunia rimba persilatan. Dalam hukum rimba persilatan, pendekar yang memegang kitab silat dan memiliki senjata saktilah yang berkuasa...

Kita saat ini hidup di dunia lain. Suatu dunia yang diisi oleh orang-orang yang mengidap kelainan. Atau mereka ingin membentuk Indonesia dengan cita rasa yang lain. Inilah kehidupan dunia lain...

Jadi nggak usah ribut, pasang lagi tendanya, gelar tikarnya mari lanjutkan lagi pengajian. Kalau ada ambulans lewat, beri jalan karena kita manusia Indonesia asli, bukan manusia Indonesia yang lain.

 

*Iswandi Syahputra, pengamat komunikasi dan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement