Selasa 27 Jun 2017 17:28 WIB

Pengamat Apresiasi Pertemuan GNPF-MUI dengan Presiden

Rep: Dessy Suciati/ Red: Andri Saubani
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Bachtiar Nasir (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua GNPF-MUI Zaitun Rasmin (kedua kanan) meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan usai bertemu Presiden Joko Widodo di Jakarta, Ahad (25/6).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Bachtiar Nasir (ketiga kiri) bersama Wakil Ketua GNPF-MUI Zaitun Rasmin (kedua kanan) meninggalkan Kompleks Istana Kepresidenan usai bertemu Presiden Joko Widodo di Jakarta, Ahad (25/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengapresiasi pertemuan perwakilan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara pada Ahad (25/6) kemarin. Pertemuan tersebut, kata dia, memang wajar dilakukan antara Presiden dengan rakyat yang dipimpinnya.

“Pertemuan itu harus diapresiasi sebagai pertemuan Presiden dengan rakyat yang dipimpinnya. Seharusnya dengan siapa pun Presiden harus menerima permintaan silaturahim,” kata Abdul Fickar saat dihubungi Republika, Selasa (27/6). Saat konferensi pers yang digelar siang ini, Ketua GNPF-MUI Bachtiar Nasir menyampaikan isi pembahasan saat pertemuan dengan Presiden, salah satunya yakni terkait diskriminasi terhadap Islam dan kriminalisasi ulama.

Bachtiar menilai pemerintah saat ini tidak merasa melakukan diskriminasi terhadap Islam. “Kami menyadari bahwa Presiden tidak merasa ada kriminalisasi ulama,” ujar Bachtiar. Kendati demikian, dalam pertemuan tersebut, GNPF MUI tidak membahas rekonsiliasi terhadap kasus penahanan aktivis aksi 313.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement