Senin 19 Jun 2017 01:00 WIB

Komunikasi Kaum Gay dan Teori Imitasi

Tolak LGBT/Ilustrasi
Tolak LGBT/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Kun Wazis *)

 

Langkah Direktur Asia Human Right Watch (HRW) Brad Adams, yang berkirim surat kepada Kapolri Jenderal Tito Karnavian tentang perlakuan diskriminasi terhadap kelompok LGBT (Republika.co.id, 02 Juni 2017) menarik untuk disikapi secara kritis. Dalam suratnya HRW menyebut, “kekhawatiran kami atas langkah kepolisian Indonesia terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang diskriminatif dan merusak hak fundamental pribadi.” Sebagai bentuk protes atas langkah kasus penggerebakan kaum gay di Jakarta dan Surabaya.   

Protes lembaga tersebut dapat dinyatakan sebagai bentuk perlindungan yang sangat kuat atas kehadiran kaum gay sebagai realitas sosial di Indonesia. Sebuah realitas yang menjadi fenomena puncak gunung es di negeri berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.

Realitas “ortodoks” yang disebut menyimpang di zaman nabi Luth yang kini tumbuh dan berulang kembali. Melalui teori imitasi (imitation theory) kita dapat membaca realitas tersebut lebih kritis. Mendasarkan teori imitasi, lahirnya kaum homo sebagai fenomena peniruan atas realitas menyimpang yang terjadi sebelumnya meskipun semua ajaran agama di dunia melarang perbuatan seks bebas sesama jenis.

  

Dalam konteks teori ini, manusia secara alamiah melakukan perilaku berdasarkan realitas yang disaksikan, dipikirkan, dan ditirukan setiap harinya. Realitas kejahatan seksual yang mendominasi pikirannya dapat membangkitkan ekspresi dirinya untuk berbuat serupa dalam saat dan kondisi tertentu. Tidak hanya realitas kehidupan nyata, realitas tampilan media dapat juga menjadi inspirasi seseorang untuk meniru (imitasi) apa yang diserap dalam benaknya.

Sejumlah kasus pesta seks kaum gay yang diungkapkan Republika.co.id (klik #pesta seks gaya) menjadi salah satu bukti empiris bahwa kejahatan seperti itu terjadi melalui proses komunikasi yang berlangsung lama untuk menjadi sebuah “tindakan” imitasi. Mulai dari sisi ide (gagasan, pemikiran), modus operandi, tempat operasi, hingga jaringan komunikasi terhadap khalayak (sasaran komunitas) mengalami metamorfosis sedemikian rupa.

  

Marakanya perilaku seks menyimpang yang dilakukan kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) berdasarkan teori imitasi tersebut tidak serta merta terjadi dengan sendirinya. Adanya realitas ideologi kebebasan seksual yang terlahir dari paradigma sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) di sekitar mereka yang setiap hari dicermati, dirasakan, pada perkembangannya dapat ditiru sebagai sebuah pilihan tindakan.

Berbagai argumentasi bagi penganut kebebasan seksual ini beragam; mulai dari ekspresi kebebasan berperilaku (termasuk pilihan jenis pemenuhan hasrat seksualitas), hak asasi manusia, hingga rasionalitas kebebasan berpendapat dalam mengampanyekan hak-hak mereka sebagai manusia. Atas dasar inilah, perkembangan perilaku seksual kaum homo ini terus mengalami evolusi atas nama imitasi dari generasi ke generasi. Sejak Nabi Luth hingga era modern seperti sekarang ini.

Realitas simbolik homoseksual

Fenomena berlimpahnya paham kebebasan seksual sesama jenis yang berkembang selama ini, melalui berbagai media komunikasi, telah memenuhi ruang otak masyarakat Indonesia. Sebagai pesan komunikasi, pertarungan makna---antara perilaku homoseksual dan tindakan seks beda jenis yang wajar---terus terjadi dalam ruang publik. Pesan-pesan simbolik berupa gaya seks kaum homo dan penyebarluasannya melalui beragam media komunikasi dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan orang lain.

Digunakannya media sosial, komunitas gay, sebagai sarana komunikasi mereka merupakan proses transformasi “nilai” untuk ‘mengimitasikan’ paham dan perilakunya kepada masyarakat. Dalam ruang inilah, berdasarkan teori imitasi tersebut, manusia sebagai makhluk “imitasi” dapat saja terpengaruh pikiran dan tindakannya untuk melakukan peniruan terhadap orang lain, meskipun itu berupa kejahatan.

Sebagai contoh, misalnya berulangnya kasus kekerasan geng motor, peredaran narkoba yang silih berganti, pembunuhan yang berulang (seperti yang terjadi di SMA Taruna Nusantara yang tersangkanya terinspirasi meniru adegan film kekerasan), tindakan aborsi berulang kali, pencabulan, perkosaan, dan beragam tindakan kriminalitas lainnya---meskipun lokasi, jumlah pelaku, waktu, latar belakang pendidikan, dan motifnya berbeda-beda---tetapi aspek “imitasi” sangat kuat mempengaruhi pikiran dan tindakan para pelaku tersebut. Realitas yang menjadi aspek peniruan bisa jadi berbeda, tetapi hakikatnya mereka meniru sesuatu untuk menentukan pilihan tindakannya. Sebagai makhluk komunikasi, perilaku kejahatan seksual dapat dipengaruhi dan terdorong oleh realitas lain yang mengajarkan (pesan) perilaku seksual menyimpang.

  

Kontra antisejenis dan solusi kontemporer

Realitas kehidupan kaum gay yang saat ini menjadi “peniruan” bagi orang lain adalah seperangkat pesan komunikasi yang menjadi produk berfikir seseorang untuk bertindak. Untuk itu, mengkomunikasikan realitas kehidupan seks yang sehat merupakan solusi komunikatif yang penting “diimitasikan” di tengah-tengah masyarakat agar dapat melawan penyebarluasan paham seks menyimpang tersebut dengan memperhatikan dua hal.

 

Pertama, tindakan seksual menyimpang bisa disadari sebagai kesalahan dan dipilih karena dipengaruhi realitas lain yang ditiru untuk menyelesaikan masalah atau memuaskan keinginan diri. Apa yang dilakukan 141 pria dalam pesta seks gay yang digerebek Resmob Polres Jakarta Utara tersebut adalah “peniruan” terhadap realitas yang selama ini terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik meniru dari perilaku seks menyimpang di negeri-negeri Barat atau bergesernya pola pikir terhadap makna seks yang sehat dalam dirinya.

Dalam konteks ini, proses peniruan bisa berlangsung melalui lingkungan komunikasi yang terbuka maupun tertutup dalam jangka waktu yang lama dapat berubah menjadi kebiasaan (habit). Ketika ada kesempatan dan ruang terbuka, maka ekspresi pesan “seks gay” tersebut diwujudkan dalam tindakan yang lebih vulgar. Untuk itu, perilaku tersebut dapat ditiru oleh orang lain, mulai anak-anak hingga orang dewasa melalui beragam media komunikasi.

Khusus terhadap anak-anak, untuk mengatasi problematika tersebut, fungsi komunikasi keluarga menjadi sangat penting ketika mendidik, mengajari, dan memberi teladan kepada anak-anak untuk berperilaku seks yang wajar (naluriah manusia menyukai beda jenis, bukan sesama jenis), sesuai dengan fitrah, dan menenteramkan jiwa dapat dicontohkan dalam lingkungan keluarganya. Untuk itu, proses pembelajaran untuk dapat memilih mana yang baik dan buruk harus diterus dikomunikasi para orang tua sejak dini dari dalam rumah.

Keluarga adalah “potret” utama yang akan “dimitasi” oleh anak-anaknya. Peran lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat sekitar menjadi pendukung  penting dalam mengkomunikasikan pesan-pesan perilaku seks yang diajarkan agama dalam membentuk kesadaran pemikiran dan tindakannya.

Kedua, perilaku seks gay--maupun seks menyimpang lainnya--bisa berubah tidak disadari sebagai kesalahan karena merebaknya tindakan seks “terlarang” tersebut yang bermetamorfosa menjadi realitas sosial. Berulangnya berbagai kasus penyimpangan seksual di Indonesia yang pelakunya tidak dihukum berat merupakan cermin yang dapat ditiru oleh orang lain.

Hal ini bisa disamakan dengan kasus korupsi yang berulang kali terjadi karena rendahnya hukuman bagi koruptor sehingga dapat “di imitasi” bagi koruptor lainnya. Kasus pelaku kriminal yang dipenjara dan setelah keluar berbuat kekerasan lagi adalah realitas sosial yang dapat ditiru oleh orang lain.

Untuk itu, sanksi keras dan tegas terhadap pelaku seks tidak wajar tersebut harus setimpal agar hak-hak orang lain dalam menjalani seks “yang benar” tidak lagi diganggu. Tentu saja, sebelumnya, Negara harus melakukan proses penyadaran dan pemahaman terhadap mereka yang “menyimpang” tersebut melalui berbagai langkah strategis: pendidikan keluarga, pendidikan social, hingga pendidikan agama yang memadai sehingga tertanam aqidah yang kokoh dalam diri individu dalam melawan perilaku buruk tersebut.

Dimensi tersebut tampaknya penting menjadi cara pandang dan tindakan dalam mengantisipasi penyebaran perilaku seks menyimpang di masa-masa mendatang.  Kuncinya, moralitas individu (keluarga), kontrol sosial masyarakat, dan tindakan tegas negara harus disinergikan.

 

 

*) Dosen IAIN Jember, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement